Bagi peternak di Blitar, Jatim, berita tentang penyakit avian influenza (AI) atau flu burung lebih menakutkan ketimbang penyakitnya itu sendiri. Walau demikian, secara teknis mereka bisa menanggulangi penyakit meskipun hasilnya si ayam tidak bisa mencapai produksi 90% kembali.
“Flu burung memang harus benar-benar diwaspadai. Syaratnya satu, hanya biosekuriti yang tertib dan vaksinasi. Kalau dua ini diterapkan dengan bagus, manajemen bagus, saya pikir sampai hari ini insya Allah saya masih aman-aman saja,” ujar H. Masngut Imam Santoso, peternak pemilik Santoso Farm di Srengat, Blitar.
Dalam wadah Himpunan Perunggasan Blitar (HPB), mereka bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat mengatasi flu burung. Peternak anggota HPB diminta untuk ikut menangani lingkungannya masing-masing walaupun pemda Blitar juga menyediakan vaksinator sebanyak 60 orang. Umumnya peternak mempunyai vaksinator sendiri–sendiri. “Yang paling sulit pada ternak rakyat ayam buras. Inilah yang seharusnya ditangani pemerintah. Sekarang sudah aman tapi kami tetap memberi masukan,” lanjut Masngut.
Santoso Farm sendiri menyemprotkan disinfektan 3 kali sehari, pagi-siang-sore, pada waktu belum ada vaksinasi saat gencar-gencarnya flu burung. Benar-benar hati-hati, selama 3 bulan orangnya capai hampir tidak terusik dari kandang. Begitu ada vaksinasi, penyemprotan dilakukan 2 kali untuk idealnya supaya aman.
Udaranya juga diberi disinfektan. Hal serupa dilakukan para peternak lainnya di seluruh Blitar. Alhasil, dengan populasi ayam 15 juta ekor, peternak di sana kembali mampu menyediakan 400 ton telur per hari bagi masyarakat.
Masngut sendiri, kini mengirim telur ke Jakarta sebanyak 4 ton/hari. Telur masuk ke pasar Jakarta, Bekasi, dan Cirebon. Kondisi pasar, menurutnya, sedang-sedang saja. Orang sudah mulai luntur. Bicara tentang flu burung, tapi masih banyak orang yang makan telur dan daging ayam.
Membaik
“Selain perlakuan teknis, kebersamaan dalam berorganisasi termasuk kunci dalam keberhasilan Blitar menghindari AI,” papar Hidayatur Rahman, aktivis HPB muda, di Kecamatan Jatinom. Soal vaksinasi, HPB berinisiatif melakukan gebrakan bersama-sama dengan didampingi orang dinas. Hasilnya, dalam seminggu bisa menuntaskan vaksinasi ayam di satu kampung.
Perkembangan hasil vaksinasi terus dimonitor. Para pengurus HPB tidak lelah untuk mendatangi setiap peternak. “Dengan berbagai upaya penanganan, para peternak mengaku kondisi peternakanannya sudah membaik,” urai Hidayatur Rahman. Melalui terobosan itu, peternak Blitar ingin membuktikan apa yang dilakukan mereka selama ini telah mampu menuntaskan persoalan flu burung.
Posisi Tawar
Menurut Hidayatur Rahman, organisasi bermanfaat pula dalam meningkatkan posisi tawar peternak. “Untuk mendapatkan sarana produksi dengan harga bagus jadi gampang. Soalnya, dengan bersatu mampu memotong rantai perdagangan sehingga terjadi efisiensi yang luar biasa,” akunya. Kini, para peternak yang tergabung dalam wadah HPB mampu membeli vaksin, vitamin, antibiotik, jagung, maupun pakan dengan harga murah.
Di samping itu, HPB terus berjuang dalam menuntaskan hambatan pengembangan agribisnis peternakan. Soal retribusi misalnya, para pengurus terus melakukan lobi kepada pemerintah daerah.
Saat ini, HPB sedang berupaya untuk mampu mengangkat harga telur. Para pengurusnya mencoba mengajak para peternak besar yang mempunyai ayam 100.000 ekor ke atas untuk bersatu. Menurut perhitungan Hidayatur Rahman, bila ada 50 peternak besar bersatu, akan mampu menentukan harga. Akhirnya para peternak ayam petelur bisa menikmati harga jual telur yang tinggi. Perhitungan Hidayatur Rahman berdasar pada asumsi, setiap kali pasar Jakarta diserbu telur dari Blitar, dipastikan harganya turun.
Keseriusan HPB untuk memperjuangkan kesejahteraan peternak bukan sekadar basa-basi. Oleh sebab itu, bila ada anggota tidak hadir dalam sebuah rapat akan didenda Rp1 juta/orang. “Karena anggota menyadari pentingnya arti sebuah organisasi, mereka setuju dengan keputusan itu,” ucap Hidayatur Rahman.
Upie