Munculnya berbagai penyakit udang membuat luka berkepanjangan bagi para petambak. Mereka terpaksa membiarkan pertambakannya terbengkalai hingga bertahun-tahun. Paling tidak, itulah yang terjadi di pantai utara Jawa, seperti di kawasan Jepara, Jateng.
“Sampai saat ini, beberapa petani, termasuk saya, masih was-was untuk kembali bertambak udang,” ungkap Sumardi, mantan petambak udang di Jepara. Kekawatiran dia sangat beralasan karena begitu besar biaya produksi yang harus ia keluarkan, sementara hasilnya tidak dapat diandalkan.
Bayangan itulah yang juga dirasakan banyak petambak di daerah lain. Wajar bila di antara mereka beralih ke budidaya komoditas lain, seperti bandeng. Komoditas ini masih punya peluang besar untuk dipanen dan menguntungkan.
Sumardi sedikit terobati, saat mendengar ada program revitalisasi perudangan yang dicanangkan pemerintah. Terlebih ada informasi akan ada penyediaan benur berkualitas oleh Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara. Apalagi sudah dilengkapi alat pendeteksi virus penyebab penyakit yang modern seperti polymerase chain reaction (PCR). “Kami berharap pemerintah juga memikirkan kami, sehingga kami dapat bangkit lagi,” ujar Sumardi.
Sistem Baru
Saat ini, di Jepara nyaris tidak ada aktivitas budidaya udang yang dilakukan petambak. Hanya ada seorang pelaku, Muh. Saeri. Ia bukan petambak mandiri tapi mengelola tambak program BBPBAP.
Saeri mengelola tambak seluas 1.000 m2 dengan padat tebar 35 ekor/m2. Saat kontributor AGRINA, Agus Triono, berkunjung ke sana, umur udang windu sudah mencapai 107 hari dengan size 50. Menurut Muhammad Syahrul Latief, Koordinator Budidaya BBPBAP, setelah umur maksimal 120 hari, udang akan dipanen agar biaya pemeliharaan tidak terlalu besar.
Syahrul menambahkan, program tersebut sudah dilaksanakan dua periode dengan hasil panen lumayan besar. Sistem budidaya yang diterapkan adalah intensif. “Hasil ini akan kami sosialisasikan kepada petani dan pelaku usaha udang, bahwa ada bukti budidaya udang telah memulai babak baru,” tegasnya. Ia menilai, trauma petambak yang berkepanjangan harus ditepis dengan budidaya sistem baru. Apalagi kini telah ada tahapan dan solusi dalam mengatasi berbagai penyakit yang menyerang udang.
Muhammad Murdjani, Kepala BBPBAP Jepara, mengatakan, pihaknya telah mengambil langkah-langkah untuk memberi solusi dalam rangka membangkitkan budidaya udang. “Kami telah menyiapkan langkah konkret untuk meningkatkan produktivitas. Tapi perlu dukungan dari banyak pihak agar semua berjalan lancar,” tuturnya.
Benur Bermutu
Orientasi pertama yang dilakukan BBPBAP adalah menyiapkan benur bermutu sebagai bahan dasar keberhasilan budidaya. “Memang kita tidak bisa menghindar, masih banyak benur yang tidak bebas penyakit. Apalagi, pengaruh lingkungan mempunyai dampak luar biasa terhadap perkembangan udang,” tambahnya.
Menurut Murdjani, kendala yang dihadapi dalam pengembangan budidaya udang saat ini adalah penyediaan benur bermutu. Untuk menghasilkan benur bermutu tentu harus bermula dari induk yang bermutu pula. Sejak dua tahun lalu, BBPBAP ditunjuk Ditjen Perikanan Budidaya sebagai pusat penyedia benih induk udang berkualitas. Intinya, BBPBAP dibentuk menjadi National Shrimp Broodstock Centre (NSBC).
Riset murni yang dilakukan mitra kerja, Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol (Bali), Balai Budidaya Air Payau Takalar (Sulsel), dan Loka Budidaya Air Payau Ujung Batee (Aceh), diharapkan memberi kontribusi besar dalam menciptakan inovasi. Sementara, BBPBAP lebih banyak bergerak dalam bentuk riset terapan yang berhubungan langsung dengan stakeholder dan pembudidaya di lapangan.
BBPBAP optimis mampu menghasilkan benur sesuai yang diharapkan. Sejak 2003, BBPBAP sudah menghasilkan benur udang windu dan udang biru (rostris) sebanyak 4,36 juta ekor. Setahun kemudian produksinya meningkat menjadi 4,976 juta ekor berupa benur windu, rostris, dan merguiensis (udang putih). Tahun lalu, produksinya lebih besar lagi, menjadi 7,224 juta (windu dan udang putih vanname). Sementara tahun ini (Januari—Mei), sudah diproduksi 1,82 juta ekor, benur windu dan merguensis.
Pada 2002 lalu, Indonesia mengintroduksi dua jenis udang dari luar, vanname dan rostris. Namun dalam perkembangannya, vanname lebih dominan sehingga menggeser windu yang sebelumnya menjadi primadona petambak.
Menurut BBPBAP, vanname bukan jenis udang yang tahan penyakit. Tapi dia mempunyai kekebalan tinggi sehingga mampu dibudidayakan dengan kepadatan tinggi. “Walaupun vanname sudah mempunyai label dan sertifikat dari negara pengekspor, tapi setelah ditelusuri tidak semua seperti diharapkan,” aku Murdjani. Ia mencontohkan di Hawaii dan Florida saja, perlu waktu 27 tahun untuk mampu membudidayakan secara berkelanjutan.
Bambang Sumartono, Koordinator Divisi Penyedia Induk BBPBAP Jepara, menyebutkan, meskipun pemerintah telah mengeluarkan sertifikasi untuk beberapa hatchery, hal itu belum menjamin benurnya bebas penyakit. “Semua itu harus melalui tahapan dan metode yang tepat termasuk tahap PCR,” tandasnya.
Untuk menanggulangi berbagai hambatan yang dihadapi para pelaku usaha, menurut Murdjani, salah satunya dengan melakukan penyebaran informasi melalui pendampingan. Dengan cara itu diharapkan target produksi udang 540.000 ton pada 2009 terealisasi. Kita tunggu hasilnya.
AGRINA