Hal itu diakui Menteri Perikanan dan Kelautan Freddy Numberi. ”Selama ini, pembangunan sektor kelautan atau kemaritiman masih terkesan sektoral. Belum terintegrasi dengan sektor terkait lainnya sehingga belum tercipta visi dan persepsi yang sama di antara para pengambil kebijakan. Hal itu ditunjukkan dengan saling tumpang-tindihnya regulasi dan kebijakan, sehingga implementasi program pembangunan belum sinergis,” tegasnya. Namun, menteri menjanjikan, pencarian solusi bagi semua kendala, baik regulasi maupun di lapangan.
Kepastian Aplikasi Perpres
Permasalahan yang paling memprihatinkan para petambak dewasa ini adalah BBM (solar). Dampak dari kenaikan harga solar, langsung dipikul para petambak. Nefo Ng, petambak di Bali dan Lombok menghitung pertambahan biaya produksi sebesar 16,3%. ”Sebelum ada kenaikan solar, biaya produksi udang Vaname ukuran 50 ekor/kg sekitar Rp30.020. Setelah terjadi kenaikan solar, menjadi Rp34.930,” katanya.
Kebutuhan solar untuk budidaya udang intensif di Indonesia rata-rata 1,5—2 liter/kg udang. Para petambak mengharapkan kebijakan pemerintah tentang solar lebih berpihak kepada mereka. “Udang adalah komoditas strategis dan solar/istrik adalah ‘nafas’ bagi budidaya udang yang harus tersedia secara kontinu selama masa budidaya. Makin intensif budidaya, makin tinggi produksi dan kebutuhan energinya,” ujar Hardi Pitoyo, petambak di Banyuwangi.
Kebijakan pemerintah melalui Peraturan Presiden No 9/2006 yang mengatur distribusi bahan bakar minyak (BBM) untuk perikanan tampaknya belum berpihak kepada petambak. Dalam PP tersebut, alokasi solar untuk budidaya udang belum diatur secara jelas.
Menyikapi hal itu, DKP c.q. Dirjen Budidaya telah mengirimkan surat ke Pertamina agar memberi kemudahan untuk memperoleh solar di SPBU terdekat. “Para petambak perlu kepastian agar alokasi BBM untuk budidaya masuk dalam peraturan pemerintah melalui surat edaran yang dikeluarkan Pertamina,” tegas Iwan Sutanto, Ketua Shrimp Club Indonesia (SCI).
Perpres tersebut masih memunculkan interpretasi yang berbeda sehingga menimbulkan permasalahan baru. Saat ini, di beberapa sentra budidaya udang para petambak mengalami kesulitan mendapatkan pasokan solar. “Kami ini beli untuk tambak, untuk budidaya. Bukan mencuri. Tapi malah dikejar-kejar dan ditangkap,” keluh seorang petambak dari Sumbawa.
Di daerah lain juga muncul tuduhan penyalahgunaan solar bersubsidi bagi petambak sehingga mereka harus berurusan dengan pihak berwajib. Alasannya, aturan yang ada hanya menyebut usaha perikanan, dan pertambakan udang dianggap bukan perikanan.
Good Aquaculture Practices
Seiring program revitalisasi, tahun ini produksi udang ditargetkan mencapai 350.000 ton, 2007 sebanyak 410.000 ton, 2008 sebesar 470.000 ton, dan 2009 bisa mencapai sekitar 540.000 ton. Menurut Dirjen Perikanan Budidaya, Made L. Nurdjana, jika usaha revitasasi budidaya berkembang sesuai skenario, maka akan terjadi kenaikan volume produksi sekitar 17,6%, peningkatan konsumsi 16,66%, peningkatan volume ekspor 16,74%, dan penyerapan tenaga kerja meningkat rata-rata 18,51%.
Ambisi pemerintah itu, kata Iwan Sutanto, bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dicapai. Berkaitan dengan tuntutan traceability, para petambak mulai membuat action plan yang jelas dan terukur melalui upaya sertifikasi untuk tambak. Peningkatan mutu benur diupayakan dengan hanya mengambil dari hatchery bersertifikat. Mereka sama sekali tidak menggunakan antibiotik dalam proses budidaya.
Petambak berusaha mengaplikasikan prinsip good aquaculture practices - from farm to table. “Kami sepenuhnya memahami persyaratan pasar internasional yang semakin ketat. Teknis, sanitasi, dan higiene yang mempersyaratkan pengawasan dan pengendalian mutu sejak pra-produksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran,” kata Iwan.
Iffa