Menurut Dirjen Peternakan Mathur Riady, pangan asal hewan merupakan sumber asam amino esensial yang tidak tergantikan. Dalam pemenuhan protein ini, lanjut dia, peternakan banyak memberikan kontribusi. “Sebenarnya, Indonesia sangat potensial sebagai penghasil telur dan daging yang besar. Namun, satu hal yang masih memprihatinkan adalah tingkat konsumsinya masih rendah,” ungkap Mathur ketika membuka seminar bertema “Membangun kesehatan dan Kecerdasan Bangsa Melalui Pangan Asal Hewan”, di ajang pameran Indolivestock 2006, beberapa waktu lalu.
Akibat kekurangan protein hewani, menurut Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia dr. Farid Anfasa Moeloek, peringkat Indonesia juga turun dalam Human Development Index (HDI) dari peringkat 95 pada 1995 ke peringkat 110 pada 2004. Sebenarnya, lanjut dia, ada tiga kriteria untuk menentukan peringkat HDI, yaitu tingkat kesehatan, pendidikan, dan pendapatan keluarga. Berkaitan dengan itu Farid menjelaskan, berarti masyarakat kita tambah tahun bukan tambah sehat tapi tambah sakit-sakitan. Pendidikan di negara kita bukan tambah pandai tapi tambah bodoh. Begitu juga pendapatannya, bukan tambah naik tapi tambah menurun atau miskin. “Jadi sudah lengkaplah bangsa kita ini sudah miskin, bodoh, dan sakit-sakitan. Inilah cerminan dari etalase bangsa kita,” tandasnya.
Farid menambahkan, kemiskinan dan kebodohan inilah penyebab kita kurang pangan dan gizi sehingga kita jadi sakit-sakitan. Oleh karena itu harus diubah paradigmanya dari paradigma sakit jadi paradigma hidup sehat. Tiga dari sepuluh indikator penting dalam hidup sehat, menurut mantan menteri kesehatan itu, adalah pola hidup sehat, berperilaku sehat, dan tidak mengonsumsi rokok apalagi narkoba.
Sementara menurut ahli gizi dari IPB, Dr. Hardinsyah, menurunnya HDI Indonesia lebih banyak disebabkan oleh rendahnya konsumsi protein hewani. Sehingga berdampak pada tingkat kualitas hidup dan tingkat kecerdasan masyarakat. “Protein merupakan zat gizi yang sangat dibutuhkan manusia bagi pertumbuhan dan perkembangan. Karena protein berperan penting dalam pembentukan sel-sel dan jaringan baru tubuh serta memelihara pertumbuhan dan perbaikan jaringan yang rusak. Protein juga bisa menjadi bahan untuk energi bila keperluan tubuh akan karbohidrat dan lemak tidak terpenuhi,” jelasnya.
Kaitannya dengan membangun kecerdasan bangsa, peran protein hewani sangat diperlukan karena memiliki keunggulan tersendiri, yaitu asam folat dan kaya dengan Vitamin B12 yang tidak ditemui dalam protein nabati. “Asam folat dan Vitamin B12 berguna bagi optimalisasi fungsi syaraf sehingga menyebabkan kemampuan memorinya lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak mengkonsumsi pangan hewani terutama dari susu dan telur,” jelas Hardinsyah.
Salah satu peserta, Rahmat, mempertanyakan mahalnya harga telur dan daging sehingga masyarakat tidak mampu untuk membeli. Achmad Dawami, moderator seminar menanggapi, “Itu merupakan pendapat yang sementara ini digembar-gemborkan tapi keliru,” ujarnya menyakinkan. Ia pun mengungkap lebih jauh, selama ini banyak kepala keluarga yang lebih senang membeli rokok daripada membeli telur buat keluarganya.
Padahal harga satu bungkus rokok hampir sama dengan harga satu kilogram telur. Sehingga kalau mau menjalankan pola hidup sehat, mulai kurangi membeli rokok dan uang untuk beli rokok sebaiknya dibelikan telur bagi keluarga. “Telur itu merupakan pangan yang bergizi dan bermanfaat bagi anak-anak yang membutuhkan protein tinggi untuk pertumbuhannya,” jelasnya.
Achmad Dawami juga mengingatkan pada peserta, untuk menularkan ilmu yang didapat saat ini agar bisa bermanfaat bagi masyarakat lain. Sehinggga tidak ada keraguan lagi untuk mengkonsumsi pangan asal hewan untuk menjadi lebih sehat dan cerdas.
Tri Mardi