Pada pameran peternakan Indolivestock 2006 di Jakarta, Juli lalu, PT Great Giant Livestock Coy (GGLC) dinobatkan menjadi salah satu penerima penghargaan “Nastiti Budidaya Satwa Nugraha”.
Wajar saja, perusahaan di bilangan Terbanggi Besar, Lampung Tengah, ini telah lama menerapkan pengelolaan sapi berdasarkan prinsip-prinsip pengembangan komoditas ramah lingkungan. Selain itu, GGLC menitikberatkan optimalisasi sumberdaya atau peningkatan nilai tambah dalam mewujudkan usaha yang produktivitas dan efisiensinya tinggi.
Secara kontinu, GGLC mampu mengembangkan sarana dan prasarana peternakan, seperti bibit sapi, pakan, dan obat-obatan. Untuk memenuhi pakan ternak sapi misalnya, GGLC memanfaatkan kulit nenas dan onggok singkong dari perusahaan satu grup, PT Great Giant Pineapple.
Sebelumnya, kulit nenas dan onggok singkong itu hanya merupakan limbah dari industri pengalengan nenas dan tepung tapioka. Namun, dengan kemampuan penguasaan teknologi dan kreativitas yang tinggi, limbah industri itu diolah menjadi pakan ternak sapi berkualitas baik.
Berlimpah
Didiek Purwanto, Direktur Produksi GGLC, mengungkap, untuk mendapatkan sapi berkualitas, sejak awal pihaknya sudah berkomitmen terhadap produksi yang lebih baik. Kualitas, bagi Didik, merupakan harga mati yang harus diterapkan. “Soalnya, apa yang kita produksi harus bisa menjembatani kebutuhan pelanggan dengan kualitas yang baik.
Itulah muatan yang wajib dan harus dilakukan perusahaan ini,” tandasnya.
Apalagi, lanjut dia, saat ini siapa yang terbaik akan menjadi pemenang. GGLC mempunyai visi menjadi produsen daging maupun sapi berkualitas dan berdaya saing tinggi. GGLC juga berusaha mendayagunakan potensi yang ada menjadi produk berkualitas sehingga perusahaan mempunyai daya saing tinggi di negeri ini.
GGLC sadar, dalam usaha peternakan sapi potong, pakan merupakan komponen produksi tertinggi. Karena itu, dengan memanfaatkan kulit nenas dan onggok singkong sebagai bahan baku pakan, biaya pakan dapat ditekan.
Menurut Didiek, sumber pakan sapi di Lampung sangat berlimpah, terutama dari limbah industri. Soalnya, Lampung termasuk sentra agroindustri. “Dengan demikian, secara geografis dan keragaman potensi alam, Lampung bisa unggul dari daerah lain,” urainya.
Selain limbah nenas dan onggok singkong, di wilayah tersebut banyak tersedia limbah bungkil kopra, bungkil kelapa sawit, dan dedak. Bahan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber protein sebagai penyeimbang kebutuhan sapi dalam memproduksi daging. Oleh karena itu, GGLC pun memanfaatkan limbah tersebut dalam membuat formulasi pakan sapi.
Bermitra
Dalam pengembangan budidaya sapi potong, GGLC bermitra dengan masyarakat setempat. “Pola kemitraan merupakan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat sekitar,” ujar Didiek.
Pola kemitraan dikembangkan sejak 1990 dengan melibatkan 10 peternak plasma. Sampai tahun lalu, jumlah peternak plasma berkembang menjadi 2.423 orang dengan populasi 7.648 ekor. Kemitraan ini dikembangkan di 102 desa yang berada di 40 kecamatan.
Pembinaan kepada peternak terus dilakukan sampai mereka mempunyai kemampuan dan posisi tawar. Pihak inti pun membantu meyakinkan pihak perbankan agar memberikan pinjaman modal usaha bagi plasma.
Bagi petani mitra yang telah mampu, diharapkan bisa berusaha secara swadana. Artinya, sapi disediakan petani, sementara inti membantu menyediakan pakan dan supervisi. Dengan begitu, dana yang ada bisa digulirkan kepada petani lain.
Saat ini GGLC sedang berupaya agar peternak mampu membuat industri pakan sendiri di lingkungan mereka. “Mereka kita bimbing dalam memanfaatkan sumber bahan baku pakan. Harapannya, mereka tidak terus menerus bergantung pada perusahaan,” tandas Didiek.
Supriyanto