Senin, 14 Agustus 2006

Tarik Ulur Izin Padi Hibrida

Menurut Elda Adiningrat, Ketua Umum Asosiasi Benih Indonesia (Asbenindo), diperlukan enterpreneur government yang dapat memahami proses pengembangan industri benih padi di dalam negeri. Pemerintah penting memberikan dukungan dalam bentuk regulasi yang kondusif bagi investasi di bidang ini karena sifatnya jangka panjang.

Met Kurniawan, Humas PT Sumber Alam Sultra (SAS), pemain baru benih padi yang sedang uji lokasi benih hibrida asal China, menekankan revitalisasi itu mulai dari perizinan. “Produsen benih butuh waktu lebih dari 2 tahun untuk pengembangan benih. Apalagi proses sinkronisasi atau pembungaan sangat membutuhkan waktu,” dalihnya.  Sidi Asmono, Business Development Manager-Rice Bayer CropScience juga berpendapat,  target waktu untuk mampu memproduksi benih hibrida sendiri dalam jangka waktu 2 tahun tidak masuk akal. “Yang masuk akal adalah 5 tahun,” tandasnya. Kabarnya, ketentuan jangka waktu dua tahun ini sedang digodok Deptan.

Alasan keberatan para calon produsen benih itu dibenarkan Achmad Fagi, anggota Dewan Kehormatan International Rice Research Institute.  Waktu dua tahun memang tidak cukup untuk dapat mengembangkan benih padi hibrida di Indonesia. “Berbeda dengan di India bagian utara, waktu 2 tahun cukup untuk mengembangkan padi hibrida. Untuk mencapai sinkronisasi bunga jantan dan betina lebih mudah karena India utara memiliki suhu subtropis,” urainya. Di daerah tropis seperti Indonesia, suhu udara terlalu fluktuatif sehingga menyulitkan sinkronisasi.

                                                                               

Pemerintah Ngotot

Deptan menyatakan mendukung dan serius untuk mengembangkan padi hibrida di Indonesia. Bukti keseriusannya diutarakan Achmad Suryana, Kepala Badan Litbang Pertanian melalui riset padi hibrida. Pada tataran penelitian, Badan Litbang mengeluarkan 4 varietas yang merupakan aset dan sudah melepas 17 varietas baru yang 11 di antaranya varietas introduksi.

Achmad menerangkan, ada 3 syarat utama dalam mengembangkan padi hibrida. Pertama, benih yang dikembangkan harus memberikan tambahan produksi yang nyata.  Produksinya di lapangan minimal 8 ton/ha.

Kedua, benih harus diproduksi di dalam negeri. Achmad Suryana menegaskan, pengembang benih hibrida harus memiliki rencana pengembangan untuk diproduksi di dalam negeri, setidaknya dalam waktu 2 tahun dapat dicapai.  Jadi, tidak semua padi hibrida boleh dikembangkan di Indonesia melainkan hanya jenis hibrida yang benar-benar memberikan keunggulan saja. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi petani.

Ketiga, pihak swasta yang masuk ke industri benih padi hibrida harus memiliki divisi pemasaran kuat sehingga bisa ikut mensosialisasikan pengembangan padi hibrida. Deptan tampaknya sedikit kapok karena pernah memberikan lisensi padi hibrida Rokan dan Maro kepada pihak swasta tapi tidak berkembang lantaran divisi pemasarannya kurang berpromosi.

 

Upaya Pihak Swasta

Ekspresi ketidakpuasan pihak swasta terhadap ketetapan lama waktu pengembangan terlihat nyata.  Met Kurniawan misalnya, berkomentar, “Kami diberi waktu untuk impor F1 adalah selama 2 tahun, dan setelah itu harus mengembangkan sendiri. Oleh karena itu proses transfer teknologi harus segera dituntaskan sebelum itu.” SAS sendiri melaksanakan alih teknologi dengan mendatangkan Prof. Zhang Hong Gui dari Guo Hao Seed Industry, China.  China termasuk pengguna padi hibrida pertama di dunia.

SAS memiliki lahan pengembangan di Lampung dan Kendari.  Saat ini mereka sedang melaksanakan uji adaptasi untuk musim hujan. Sementara pada musim kemarau, padi yang akan diberi sebutan SAS2, SAS3, SAS4, SAS5, SAS6, SAS7  sudah berhasil diujicobakan di 10 lokasi di  Jawa dan Sumatera.

Uji tanam yang sama dilakukan pihak Bayer dan respon petani cukup tinggi. Sayang, perusahaan multinasional ini tidak mampu memenuhi kebutuhan petani tersebut. Pasalnya, mereka belum mampu memproduksi di dalam negeri dan impor pun tidak diizinkan pemerintah.

Keunggulan padi hibrida ini, kata Met, mempunyai potensi produksi sebanyak 9—11 ton/ha gabah kering giling (GKG), toleran terhadap hama penyakit, kebutuhan benih/ha lebih kecil, yaitu 15 kg/ha, ditanam satu butir per lubang, jumlah anakan per rumpun sekitar 24 batang, toleran terhadap tanah asam. Umur panen juga lebih singkat, 105—115 hari.

Ditambahkan Sidi Asmono, biaya produksi budidaya padi dengan benih hibrida tidak jauh berbeda dengan padi inbrida. Bayer sendiri menjual benih padi hibrida ini seharga Rp30.000,00/kg, sementara SAS berencana akan menjual benih hibridanya dengan harga sekitar Rp25.000,00—Rp35.000,00/kg.

Diyan J.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain