Memasuki Desa Sisalam, Kecamatan Warnasari, Brebes, Jawa Tengah, mata seolah-olah dimanjakan oleh pemandangan langka sekaligus menakjubkan. Tanaman bawang merah terhampar sejauh mata memandang. Di sisi lain, kesibukan pascapanen bawang berlangsung di sepanjang tepi jalan desa.
Ibu-ibu paruh baya, orang tua, apalagi laki-laki usia produktif asyik dengan kesibukannya masing-masing. Memanen, menjemur, menyortir, sampai mengemas bawang dikerjakan dari pagi hingga sore sehingga cukup sulit menemukan penduduk yang tak bekerja di desa ini.
Pengaruh Musim
Warnasari merupakan salah satu kecamatan penghasil bawang merah terbesar di Kabupaten Brebes. Luas tanam bawang merah di kecamatan ini mencapai 4.886 ha dan produksi rata-rata dalam lima tahun ini mencapai 31.819,8 ton/tahun.
Dul Hadi adalah generasi kedua warga kecamatan ini yang berprofesi sebagai petani bawang merah. Di lahan seluas satu hektar, sudah puluhan tahun lamanya ia mengadu peruntungan di usaha tani bawang. “Produksi bawang tahun lalu, sekitar 18 ton dan harga saat itu rata-rata Rp 4.000,00/kg,” kata Dul Hadi.
Dengan hasil itu, ia mengantongi sekitar Rp72 juta. Dipotong biaya produksi sebesar Rp40 juta (meliputi tenaga kerja, bibit, pupuk, dan pestisida), dalam satu kali musim tanam (55—60 hari), keuntungan petani bawang ini tak kurang dari Rp32 juta.
Namun, tak sepanjang tahun alam bermurah hati. “Produksi bawang merah sangat bergantung pada musim,” ungkap H. Darma, petani bawang di Cirebon timur. Menurutnya, produksi bawang saat musim kemarau (Juni-Agustus) 18—10 ton/ha, pas musim penghujan (Oktober-Januari) 15—16 ton, dan musim peralihan (Maret-Mei) 10—12 ton.
Bergantungnya produktivitas bawang pada kondisi iklim menyebabkan pola pertanaman di kawasan ini pun beragam. Sewaktu musim hujan dan peralihan, banyak petani yang bertanam padi untuk menghindari kerugian akibat anjloknya produksi. Kalaupun ada, biasanya petani hanya menanam bawang untuk kebutuhan benih yang akan ditanam pada musim kemarau.
“Pola tanam bawang di Brebes terdiri dari beberapa jenis. Yang paling umum adalah pola padi - bawang – bawang, kemudian padi – kedelai – bawang, atau padi – bawang dan tumpangsari cabai,” papar Gatot Rudiono, Kepala Seksi Agribinis Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Brebes.
Panen raya bawang merah di Brebes jatuh pada Juli—Agustus, bersamaan dengan bertiupnya angin kumbang dari kaki Gunung Slamet di wilayah tersebut. “Walau belum ada penelitian, namun data di lapangan menunjukkan pada bulan tersebut tanaman bawang tumbuh dengan baik,” jelas Gatot. Hama dan penyakit juga berkurang, sehingga produktivitas pun meningkat.
Produktivitas
Peningkatan produktivitas memang menjadi salah satu program yang tengah digarap Dinas Pertanian dan Kehutanan Brebes. Salah satunya dengan mencanangkan penggunaan pupuk organik. “Produktivitas tanah mulai menurun sehingga perlu peremajaan melalui penggunaan pupuk organik,” Gatot beralasan. Pemberian pupuk organik gratis ini sudah memasuki tahun ketiga, jumlahnya 400—500 ton/tahun.
Penurunan produktivitas juga dialami Mulyadi, petani bawang di Losari, Cirebon timur, Jawa Barat. Menurut pengalamannya, walaupun pupuk kimia ditambahkan sampai 1,2 ton/ha, tapi produksinya menurun sampai tinggal 8 ton/ha. Dengan biaya produksi Rp40 juta/ha dan harga bawang Rp4.000,00/kg, kerugianlah yang ia terima.
“Akhirnya, saya coba menggunakan kompos. Ternyata hasilnya bagus sekali, rata-rata 13 ton/ha,” tutur Mulyadi. Selain itu, penggunaan kompos juga menghemat pemakaian pupuk kimia hingga 40% atau Rp3 juta—Rp4 juta/ha. Meski total biaya produksi per hektar relatif sama, tapi dengan naiknya produktivitas akan menurunkan biaya per kilo.
Memang, Dinas Pertanian dan Kehutanan Brebes mempunyai program menurunkan biaya produksi sampai sekitar Rp2.000,00/kg. “Tujuannya, agar bawang impor tidak bisa masuk (Brebes) karena kalah bersaing,” lanjut Gatot Rudiono.
Menyiasati Harga
Meski pasarnya berbeda, keberadaan bawang impor di sentra produksi bawang merah seperti Brebes cukup mengganggu. Begitu bawang impor datang, secara psikologis harga bawang lokal tertekan. “Pedagang besar yang punya duit akan membeli dengan harga murah dan menyimpannya di gudang untuk dijual saat harga bawang bagus,” ungkap Gatot.
Menurut Sokaji, bawang impor hanya berani masuk kalau harga bawang lokal lagi tinggi. Selain itu, bawang impor digunakan sebagai bahan baku bawang goreng. Setiap bulan, pedagang bawang impor di Pasar Klampok, Brebes, ini berhasil menjual 250 ton bawang asal Pakistan ke pelanggannya di Semarang, Surabaya, dan Kuningan.
Fluktuasi harga bawang akibat kelebihan produksi atau masuknya bawang impor disiasati H. Darma dengan menyimpan stoknya di gudang. Meski menyusut 20—25% selama disimpan 2—3 bulan, ia tetap untung. Ia akan melepas bawangnya kalau harganya di atas Rp5.000,00/kg. “Jika dijual dengan harga Rp5.000,00/kg, kita akan rugi tenaga,” katanya.
Di Brebes, pada 2005, luas lahan bawang merah tercatat sekitar 24.381 ha dengan total produksi sekitar 231.497 ton. Jika harga bawang merah Rp6.000/kg, berarti omzet bawang merah di “kota telur asin” ini mencapai Rp1,39 triliun/tahun. Jangan heran, kalau banyak petani, pedagang, dan pekerja yang menikmati keuntungan dari bisnis bawang merah ini.
Enny Purbani