Senin, 24 Juli 2006

Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan

Kebijakan pembatasan impor, termasuk pelarangan impor produk pertanian, seperti gula dan beras, bukan satu-satunya instrumen dan solusi untuk melakukan revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan. Revitalisasi justru harus didukung oleh pengembangan pertanian di sektor hulu.

Indonesia yang konon terkenal akan kekayaannya dalam bidang agraris dan maritim memiliki potensi luar biasa dalam sektor pertanian. China dan India yang memiliki jumlah penduduk di atas 1 miliar jiwa telah melakukan prioritas pembangunannya pada sektor pertanian. Indonesia pun, dengan jumlah penduduk sebanyak 220 juta jiwa, sudah saatnya berpegang pada aturan logis itu.

Instrumen yang digunakan dalam revitalisasi pertanian memerlukan pertimbangan yang sangat matang. Instrumen tersebut harus menyentuh semua sendi perekonomian yang ada di dalam sektor pertanian.

 

Penggerak Ekonomi

Pemberlakuan kebijakan pertanian tidak bisa terus-menerus diaplikasikan pada ruang lingkup makro, seperti perdagangan luar negeri, pembatasan impor, dan pemberlakuan pajak ekspor. Namun, kebijakan ini harus pula diberlakukan pada seluruh mata rantai produksi dari hulu sampai hilir.

Kebijakan yang menyeluruh tersebut harus berupa kebijakan dalam jangka panjang dan tidak bersifat sementara. Kebijakan-kebijakan yang bersifat temporer masih tersirat dalam beberapa peraturan perundangan. Contohnya, Instruksi Presiden (Inpres) No. 2/2005 mengenai harga beli gabah pemerintah yang diperlukan revisi karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan pasar. Inpres tersebut sangat mempengaruhi proses produksi di sektor hulu. Harga pembelian gabah kering giling (GKG) oleh pemerintah dapat memberi pengaruh signifikan pada posisi tawar petani.

Pelarangan terhadap impor beras oleh otoritas pemerintah yang akan berakhir pada penghujung Juni 2005 lalu perlu ditinjau ulang. Kebijakan impor beras sangat dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat dan produksi padi di dalam negeri. Pada kenyataannya, produksi padi 2005 masih sebesar 53,11 juta ton atau turun 1,8% dibanding 2004 sebesar 54,06%. Di lain pihak, produktivitas padi justru mengalami peningkatan dari 45,40 kuintal menjadi 45,58 atau naik sebesar 0,40%.

Kebijakan impor beras membutuhkan keterlibatan dari berbagai instansi yang terkait dengan masalah tersebut. Sehingga, kebijakan yang dihasilkan dapat berpengaruh dalam jangka panjang dan tidak untuk memenuhi target produksi semata. Indonesia memang pernah berswasembada beras di bawah pemerintahan Presiden Soeharto pada 1984. Namun, kondisi tersebut tidak bertahan lama karena dilakukan tanpa target jangka panjang.

Selain itu, ekspansi dalam pemasaran produk-produk pertanian memerlukan campur tangan dari pemerintah. Kebijakan pemberlakuan pajak ekspor pada produk pertanian dapat menghambat daya saing pertanian Indonesia di pasar global. Penghapusan pajak ekspor sebesar 10% pada produk pertanian akan memberikan rangsangan bagi perkembangan agribisnis di dalam negeri.

Program pemerintah untuk kembali menjadikan sektor pertanian sebagai penggerak roda ekonomi bangsa memang layak diacungi jempol. Untuk membuktikan keseriusannya itu, pemerintah berani mengeluarkan dana fantastis sebesar Rp51 triliun yang akan digunakan dalam membantu lembaga keuangan maupun UMKM berbasis pertanian. Jumlah penduduk miskin yang pada 2004 sudah berjumlah 16,6% diharapkan dapat menyusut melalui program tersebut.

 

Pendekatan Interdisipliner

Pertanian telah dijadikan sektor yang dapat mendukung tercapainya target pertumbuhan ekonomi sebesar 7,6% pada 2009 nanti. Sektor ini pun menjadi ujung tombak dalam meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, beberapa kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah sejak dicanangkannya program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) awal Juni 2005 lalu masih mengundang banyak pertanyaan.

Kebijakan pemerintah dalam sektor pertanian memerlukan pendekatan interdisipliner. Pertanian merupakan sektor dengan ruang lingkup yang sangat luas dan melibatkan pelaku-pelaku ekonomi yang besar pula. Proses produksi dalam sektor ini sangat khas dan memiliki kompleksitas tersendiri. Sektor pertanian pada sistem agribisnis di dalam ruang lingkup ekonomi terdiri atas berbagai usaha komersial yang menggunakan kombinasi heterogen dari modal, tenaga kerja, maupun teknologi.

Pembangunan pertanian yang terpinggirkan akan membawa efek sangat fatal bagi rakyat di sebuah negara. Kasus gizi buruk dan busung lapar yang beberapa waktu lalu merebak di sejumlah daerah di Indonesia berkaitan erat dengan sektor pertanian sebagai penyedia pangan. Sebenarnya, gizi buruk dan busung lapar merupakan masalah klasik yang sudah muncul sejak pemerintahan Presiden Soekarno pada tahun 1950-an. Ironisnya, setelah puluhan tahun berlalu, masalah tersebut masih saja menghantui negeri ini.

Perlu diketahui, penanganan gizi buruk dan busung lapar tidak dapat diatasi oleh satu komoditas beras (karbohidrat) saja. Namun, gizi buruk dan busung lapar dapat diatasi dengan pola makan yang disertai berbagai produk pangan mengandung zat gizi berupa protein, lemak, lemak, vitamin, dan mineral. Kekurangan pangan tidak dapat selalu diidentikkan dengan kelaparan. Akan tetapi, ketidakhadiran salah satu zat gizi dalam menu makanan manusia bisa dikatakan sebagai kekurangan pangan. 

M. Ikhsan Shiddieqy

 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain