Kelompok tani ini tetap eksis berbisnis ikan terutama jenis cupang hias sejak 1990. Cupang hias menjadi pilihan karena ikan ini berukuran kecil sehingga irit lahan dan air. Pertimbangan lainnya, harga cupang lumayan tinggi dan sudah dianggap sebagai ikan hias klasik yang pasang surut harga dan penjualannya tidak terlalu tajam.
Cukup di Botol Bekas
Dalam satu bulan, kelompok tani perikanan ikan hias yang anggotanya didominasi warga Betawi asli ini mampu menghasilkan rata-rata 80.000 ekor cupang hias jenis serit. Cupang tersebut dijual lokal, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan eksportir, kelompok ini memproduksi sekitar 10.000 ekor/bulan.
“Sebelum terjun ke usaha ikan hias, sebagian besar anggota Kobapi adalah petani anggrek. Namun usaha tanaman hias perlu lahan yang luas dan biaya produksi tinggi sehingga sebagian pindah ke Serpong dan Ciseeng, Bogor,” ujar Achmadi, Ketua Kobapi. Budidaya cupang menjadi usaha alternatif sesuai dengan potensi lahan dan air yang tersedia di wilayah itu.
“Kami terus mencari jenis ikan yang ukurannya kecil, pemeliharaannya tidak terlalu rumit, dan harganya relatif tinggi dan stabil. Pilihan jatuh pada cupang hias,” lanjut Achmadi. Banyak pembudidaya yang hanya memiliki lahan 5—10 m2 tapi mampu memproduksi cupang. Betapa tidak, untuk memijahkan ikan mungil ini yang dibutuhkan hanya kaleng cat bekas ukuran 5 liter, akuarium pembesaran benih, dan botol air mineral bekas ukuran 1 liter sebagai tempat pembesaran.
Cupang juga bukan jenis ikan yang rewel. Ganti air cukup satu minggu sekali, sedangkan pemberian pakannya hanya sekali sehari. Satu ekor cupang hias ukuran 3,5 cm (ukuan M) dijual dengan harga Rp1.500,00—Rp2.500,00/ekor. Menjualnya pun tak perlu repot-repot karena pembelinya datang sendiri ke rumah.
Andalkan Daun Ketapang
Dalam sebulan Achmadi mampu menghasilkan sekitar 3.000 ekor cupang. Selain dijual lokal, cupang juga dilempar ke daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sebanyak 30% di antaranya merupakan cupang kelas (grade) B yang dijual dengan harga Rp2.500,00/ekor, 70% lainnya adalah cupang grade C yang dihargai Rp1.500,00/ekor.
Untuk mendapatkan cupang ukuran 3,5 cm, Achmadi membeli benih cupang ukuran 2,5 cm (ukuran S) pada petani cupang lain dengan harga Rp800,00/ekor. Cupang kemudian dipelihara dalam botol air mineral plastik ukuran 1 liter selama 3—4 minggu. Selama pemeliharaan, cupang diberi pakan berupa kutu air, jentik nyamuk, atau cacing sutera satu kali sehari yang biasanya dilakukan pada pagi hari.
Sebelum dignakan, botol plastik diberi Methylene blue atau Malachite Green Oxalat dan sepotong daun ketapang kering. “Daun ketapang sudah digunakan secara turun temurun untuk menstabilkan air,” jelas lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam ini. Menurut pengamatannya, pemberian daun ketapang membuat cupang nyaman. Hampir semua pembudidaya cupang di wilayah ini menggunakan daun ketapang dalam botol pemeliharaan.
Selain cupang hias jenis serit, Achmadi juga memproduksi jenis cupang halfmoon dalam jumlah terbatas. Meskipun harganya lebih mahal, Rp7.500,00—Rp10.000,00/ekor, tetapi cupang jenis ini memerlukan ruang yang lebih luas dalam pemeliharaannya. Ukuran akuarium yang dibutuhkannya 15 cm x 20 cm. Karena itu ia lebih berkonsentrasi untuk memproduksi cupang serit yang lebih hemat tempat.
Enny