Tapi, bagi para pedagang bunga di Barito, Jakarta Selatan, bunga adalah sumber kehidupan yang selalu membuat mereka menapaki hari-hari dengan optimis.
Hanafi (64), pedagang bunga Barito yang sudah berdagang di tempat itu sejak 1969, mengatakan bunga adalah hidupnya."Semenjak kecil saya sudah mengenal bunga, karena saya lahir dan besar di Rawabelong. Rawabelong kan dulu terkenal dengan
para petani anggrek,"ujar lelaki yang memiliki kios Anggrek florist itu.
Bunga adalah tempat Hanafi menggantungkan hidupnya. Ia bisa membesarkan delapan anaknya dari hasil berjualan bunga selama lebih kurang 42 tahun tersebut.
"Saya sampai kapalan dengan bunga, tidak tahu mesti kemana lagi, karena saya tahu hanya bunga dan bunga," ujar lelaki yang murah senyum itu.
Tidak selalu Indah
"Namanya juga usaha, pasti ada naik turunnya, begitu juga di bisnis bunga ini. Ujar Teddy Pandji, pedagang bunga pemilik Kannys Florist yang juga ketua pedagang Barito JS 27.
Menurut Teddy, yang berdagang bunga karena meneruskan usaha keluarganya, tamparan paling dasyat mereka terima ketika pemerintah memberikan instruksi agar tidak memberikan bunga, parcel, atau apapun kepada para pejabat.
"Pemerintah harusnya lebih memikirkan dampaknya kepada para pedagang yang penghasilannya tidak seberapa dan hanya mengandalkan kepada pesanan-pesanan seperti itu. Paling cuma Rp.100 ribu sampai Rp.300 ribu, itu kan bukan suap atau korupsi namanya, "ujar lelaki lulusan Universitas Nasional itu.
Hal senada juga disampaikan Anwar Abdullah, karena larangan itu pendapatan para pedagang bunga yang sehari-harinya saja tidak pasti, semakin turun.
Masyarakat Jakarta mulai tidak memperhatikan bunga, ini terjadi karena perkembangan jaman yang semakin mengarah kepada kapitalisme serta bunga alami sudah banyak terganti dengan
bunga plastik.
Kondisi itu terus berlangsung sampai sekarang, hingga banyak sentra bunga di Jakarta yang dulu sempat begitu besar dan hidup, lama kelamaan menjadi redup.
Sumber: ANTARA
