Bertambak di wilayah pantai utara (Pantura) Jawa memang bukan pekerjaan mudah. Daya dukung (carryng capacity) lahan dan air yang kian menurun, membuat banyak petambak gagal panen, meski ada juga yang berhasil. Surlim adalah petambak di Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, Bekasi, yang bertahan mencari penghidupan dari hasil tambaknya. Dengan cara alami (tradisional), setiap tahun ia masih mendapat keuntungan dari tiga kali panen udang dan dua kali panen bandeng. Areal pertambakan di Kecamatan Muara Gembong itu terletak di Pantura, tempat bermuara anak sungai Citarum. Sebelum sampai ke hulu, sungai besar tersebut melewati beberapa kota besar yang padat penduduk seperti Bandung, Karawang, Purwakarta, dan Bekasi. Di kota-kota tersebut juga terdapat sejumlah kawasan industri yang “menyumbangkan” limbahnya ke dalam sungai. Meningkatnya jumlah penduduk dan perluasan areal industri menyebabkan kondisi air sungai tersebut dari tahun ke tahun semakin menurun kualitasnya. Limbah industri dan buangan lain dari tempat itu kemudian terbawa arus sungai sampai ke hulu, yakni Kecamatan Muara Gembong, tempat budidaya udang dan bandeng banyak diusahakan oleh penduduk setempat. “Pada tahun 80-an, tak sulit bagi saya untuk mendapatkan udang alam sebanyak 400 kg per hari,” kata Surlim. Di tambak seluas 5 ha miliknya, kini ia hanya bisa mendapatkan udang alam sebanyak 3—4 kg saja per hari. Penurunan hasil tangkap udang alam ini sudah menjadi indikasi bahwa kesuburan dan daya dukung alam di wilayah itu sudah jauh berkurang. Di wilayah tersebut, kini tak lagi bisa dijumpai petambak yang mengusahakan udang secara semi intensif, apalagi intensif. Penambahan bahan organik berupa pakan membuat kualitas air yang sudah menurun kualitasnya akibat pencemaran semakin terpuruk. Pada akhirnya, udang yang dipelihara tidak bisa lagi tumbuh sehat, bahkan seringkali mati sebelum umur panen. Bertambak secara tradisional ternyata masih bisa memberi keuntungan bagi petambak. Tak mengherankan bila di wilayah ini hampir semua tambak udang dikelola secara tradisional. Harga udang windu (Penaeus monodon) yang relatif tinggi dan stabil sepanjang tahun serta permintaan pasar yang tak pernah surut, membuat petambak di Muara Gembong tetap bersemangat memelihara udang. Di kecamatan berbatasan dengan ibukota Jakarta itu, terhampar tak kurang dari 6.000 ha tambak yang ditanami udang windu dan bandeng. Petambak di wilayah ini, biasa memelihara udang dan bandeng secara bersamaan (polikultur). Udang dipelihara selama 3,5—4 bulan sehingga dalam setahun dapat panen udang sebanyak 3 kali. Sedangkan bandeng dipelihara selama 5—6 bulan atau 2 kali panen per tahun. Sebelum ditebari udang, tambak terlebih dahulu disurutkan (sampai kurang lebih 50 cm) dan diberi zat pembunuh ikan pemangsa (pisisida). Keesokan harinya air tambak dikeluarkan dan diganti dengan air baru sampai ketinggian 1—1,5 m. Air tambak selanjutnya dipupuk dengan Urea dan TSP sebanyak 100 kg per 5 ha. Setelah satu minggu, benur sejumlah 50.000 ekor dapat ditebar. Satu sampai dua minggu kemudian, nener (benih bandeng) bisa ditebar, biasanya berjumlah 5.000 ekor. Perawatan tambak selanjutnya relatif mudah karena tidak ada pemberian pakan ataupun pemupukan susulan. Pergantian air harian umumnya berdasarkan pasang surut saja. Sedangkan untuk pergantian air yang relatif banyak (kurang lebih 25%) dilakukan satu bulan sekali. Rata-rata Rp4,8 juta/Bulan Sekali panen, Surlim bisa menangguk 350 kg udang windu ukuran 20—25 ekor/kg dan bandeng sebanyak 1.000 kg ukuran 4—5 ekor/kg. Harga udang windu saat ini adalah Rp75.000,00/kg sedangkan bandeng Rp10.000,00/kg. Dalam satu tahun tambaknya menghasilkan udang kurang lebih satu ton atau senilai Rp75 juta dan 2 ton bandeng seharga Rp10 juta atau dalam setahun dihasilkan Rp85 juta. Biaya produksi yang harus dikeluarkan Surlim meliputi benur sebanyak 150.000 ekor @ Rp30,00, nener 2.000 ekor @ Rp20,00, biaya keduk lumpur 600 ukur (panjang pematang sekitar 2.400 m) @ Rp4.000,00, solar untuk pompa air 200 liter @ Rp6.500,00, pisida (akodan) Rp300.000,00, pupuk urea & TSP Rp300.000,00, biaya panen udang Rp7.000,00/kg dan biaya panen bandeng Rp2.000,00/kg. Seluruh biaya produksi udang dan bandeng sebanyak Rp27 juta/tahun Dengan hasil ini, petambak masih mendapat selisih keuntungan Rp58 juta/tahun, atau penghasilan rata-rata Rp4,8 juta/bulan. “Tapi tidak selamanya memelihara udang bisa untung, kadang-kadang dalam setahun saya gagal satu kali,” Surlim mengingatkan. Gagal, menurutnya, berarti cuma pulang modal. Enny Teks: 1. Surlim, petambak Muara Gembong, bertahan dengan sistem tradisional 2. Tambak tradisional mampu menghasilkan udang windu ukuran besar Kredit: EnnySemakin Tercemar
Polikultur Lebih Untung