Foto: Windi L
Suplai cabais ecara nasional aman
Jakarta (AGRINA-ONLINE.COM) Pemerintah memastikan produksi cabai nasional tahun ini aman meski menghadapi kendala cuaca ekstrem El Nino di pertengahan tahun 2023 dan musim kemarau tahun 2024. Kementerian Pertanian melalui Ditjen Hortikultura menegaskan hal itu pada acara Forum Cabai Nasional 2024: ‘Sistem Pengamanan Komoditas Cabai Mendukung Pengendalian Inflasi Nasional’ di Jakarta, Selasa (3/9).
“Kita melihat angka di tahun 2023, surplus untuk cabai besar maupun cabai rawit, surplus 500 ribu ton. Di tahun 2024 ada early warning system (EWS, sistem peringatan dini). Early warning system ni bisa memprediksi neraca kebutuhan paling tidak setahun. Berdasarkan prediksi sampai Desember, ketersediaan cabai aman secara nasional,” ujar Plt. Dirjen Hortikultura, Muhammad Taufiq Ratule.
Menanggapi kemungkinan dampak La Nina di penghujung tahun ini, Taufiq mengatakan, produksi cabai tetap aman. “EWS kita di Desember produksinya tinggi. Awal tahun nggak ada masalah,” ucapnya menjawab AGRINA.
Efek El Nino tahun lalu pun bukan tidak berpengaruh pada produksi. Menurut Taufiq, ada pengaruh minor El Nino yang mengakibatkan pertanaman cabai menjadi mundur. Misalnya, di Jawa Timur hampir 3 bulan lebih tidak turun hujan dan menyebabkan pertanaman cabai kering. Sehingga, produksi di bulan Juli sampai pertengahan Agustus turun dan berdampak kenaikan harga. “Dia berpengaruh di harga sehingga menyebabkan fluktuasi harga dan inflasi,” katanya.
Taufiq menambahkan, menjadi komoditas utama hortikultura selain bawang merah yang berperan terhadap inflasi. Cabai konsisten menyumbang inflasi sebesar 0,12% setiap bulan. Meski suplai secara nasional aman, tidak semua wilayah memiliki pasokan cabai yang mencukupi. “Ada beberapa wilayah yang defisit sehingga logistik cabai harus digerakkan dari wilayah yang surplus,” ulasnya.
Salah satu daerah defisit cabai seperti Bangka yang tidak ada lahan tetapi bisa disuplai dari Sumatera Barat. Untuk menjaga stabilitas produksi dan harga cabai serta dalam rangka pengendalian inflasi, Ditjen Hortikultura telah melaksanakan beberapa program. Di antaranya, pengembangan klaster untuk daerah penyangga, pembuatan nurseri untuk pembibitan cabai, fasilitasi greenhouse (rumah kaca) untuk antisipasi perubahan iklim, dan membangun kawasan pekarangan lestari.
Di samping itu, Taufiq menekankan perlunya sinergi semua stakeholder, meliputi pemerintah pusat, pemerintah daerah, kementerian/lembaga terkait, pelaku usaha, dan petani, khususnya para champion cabai. “Kalau ada harga yang sangat tinggi, champion ini punya logistik, sudah bekerja sama dengan kita. Champion ini berperan untuk menyangga produksi sehingga secara cepat kalau ada kenaikan harga cabai itu sudah siap championnya,” urainya.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI), Abdul Hamid menerangkan, kondisi petani cabai dalam satu-dua bulan ke depan menderita. Pasalnya, saat ini harga cabai di tingkat petani sekitar Rp10 ribu/kg untuk cabai besar dan Rp15 ribu/kg untuk cabai rawit sedangkan daerah-daerah sentra produksi belum memasuki masa panen. Selain itu, produksi di daerah-daerah juga terus berjalan.
“Sekarang kondisinya susah kita, harganya murah. (Produksi) berhasil iya tapi pasar juga lesu serapannya. Daya beli rendah sudah 4-5 bulan ini. Kalau pasar itu biasanya bisa serap 100 ton, sekarang 60 ton juga susah. Orang menahan, pengeluarannya kurang, uangnya susah,” ucapnya.
Menurut Hamid, harga cabai yang wajar di tingkat petani seharusnya Rp20 ribu – Rp25 ribu/kg sehingga di pasar berkisar Rp40 ribu – Rp60 ribu/kg. “Cuma, petani ngomongnya saya produksi Rp10 ribu bisa. Dia nggak hitung tenaga kerja,” jelasnya.
Jika cuaca dan produksi cabai berjalan normal tanpa serangan penyakit akibat fenomena La Nina, Hamid memprediksi harga cabai di awal tahun 2025 akan tetap rendah. “Tahun depan kemungkinan di awal-awal ada imbas harga tetap murah. Tetapi kalau ada penyakit, segala macam, berkurang pasokan, harga naik, di November Desember harga naik. Kalau normal aja, tetap murah sampai Januari,” sambungnya.
Untuk mengatasi harga rendah di tingkat petani, Hamid menyarankan kerja sama petani dengan penjamin pasar. “Harus ada kerja sama, dibuat pairing, dipasangkan untuk produksi,” tegasnya.
Windi Listianingsih