Foto: Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan RI
Perlu ada 1000 ha lahan kakao yang perlu direhabilitasi dan 700 ha diremajakan
Bali (AGRINA-ONLINE.COM) - Saat ini Bali menjadi barometer industri kakao premium. Di pulau ini tumbuh artisan cokelat sebut saja Cau Chocolate, Junglegold, Deli Cocoa, Mason Chocolate yang selama ini menjadi pasar bagi kakao fermentasi. Namun setahun terakhir terjadi kelangkaan bahan baku akibat banyaknya tanaman kakao yang tua di Bali sehingga industri kakao cokelat terpaksa mencari sumber dari luar Bali.
I Made Urip, Anggota Komisi IV DPR menyoroti hal tersebut, sehingga menurutnya pemerintah perlu mengakselerasi pengembangan kakao di Pulau Dewata tersebut melalui kegiatan rehabilitasi, perluasan dan peremajaan.
"Saya perkirakan perlu ada 1000 ha lahan kakao yang perlu direhabilitasi, dan 700 ha diremajakan. Selain itu, perlu upaya perluasan areal pertanaman kakao paling tidak 300 ha," jelas Made Urip.
Untuk kegiatan pengembangan, ia tambahkan, dapat dilakukan dengan membagikan bibit kepada masyarakat untuk ditanam di pekarangan 5 sampai dengan 10 pokok per KK. Dimana pengelolaannya dapat diorganisir oleh Subak yang sudah mampu menghasilkan kakao premium.
Adi Pertama, petani kakao asal Selemadeg, Tabanan Bali, membenarkan bahwa produksi biji kakao menurun. Saat berita ini ditulis ia memastikan bahwa biji kakao tidak tersedia dalam jumlah besar di Pulau Dewata tersebut (28/3). Hal ini disebabkan banyak kakao yang sudah tua dan saat harga kurang menarik beberapa waktu lalu, sejumlah petani telah memilih menebang tanaman kakaonya.
"Saat ini terdapat minat petani untuk mengembangkan kakao, apalagi harga sudah berada di atas Rp.70.000, hanya saja bibit unggul sulit didapat di Bali. Perlu ada upaya peningkatan ketersediaan benih melalui penambahan kebun entres di Bali dan juga pengembangan Desa Mandiri Benih Kakao agar masyarakat bisa mendapatkan bibit secara swadaya," jelasnya.
Untuk Kecamatan Selemadag dan Selemadeg Barat Kabupaten Tabanan terdapat potensi rehabilitasi kakao seluas 40 ha, perluasan 25 ha. Ia pun menyarankan selain pengembangan atas bantuan pemerintah, industri pengolahan kakao dapat bermitra pengembangan kakao berbasis pekarangan sebagai komoditas sampingan, sehingga industri bisa mendapatkan jaminan bahan baku dengan harga yg relatif kompetitif.
Sementara itu Topan, perwakilan Junglegold membenarkan saat ini sulit mendapatkan biji kakao asal Bali. Industri pengolahan cokelat yang berpusat di Tabanan Bali 1 tahun terakhir bergantung pada supply dari luar Bali.
"Jika ada tambahan 100 ton fermentasi dari wilayah Bali, kami siap menyerap. Karena industri cokelat di Bali sangat membutuhkan supply bahan baku, mengingat biji kakao fementasi dari petani tidak hanya diserap di pengolahan di Bali juga sebagian di ekspor," jelas Topan.
Pulau Bali merupakan penggerak utama industri artisan cokelat dan kakao premium. Meskipun statistik, luasan perkebunan kakao terbatas, namun model pengembangan kakao berkelanjutan sudah terbangun di pulau wisata ini. Sehingga perlu adanya perhatian khusus agar bisnis kakao premium di Bali tetap berkelanjutan dan menjadi contoh pengelolaan bagi provinsi lain.
Sabrina Yuniawati