Foto: TARS
Indonesia menginvestasikan Rp175 miliar atau US$11,4 juta pada model tambak ramah lingkungan berbasis kawasan
Perlu peningkatan praktik budidaya berkelanjutan dan strategis marketing yang efektif untuk pertumbuhan dan ketahanan jangka panjang.
Selama 10 tahun terakhir, harga udang ada di posisi terendah dengan kondisi global yang kelebihan pasokan. Hal tersebut menjadi perbincangan hangat dalam The Aquaculture Roundtable Series (TARS) 2023. Acara yang bertempat di Bali, 16-17 Agustus lalu mengangkat tema Shrimp Aquaculture Regeneration. Setidaknya hadir 253 peserta dari 24 negara yang didominasi 72 peserta Indonesia, 31 Thailand, 29 Filipina, dan 25 Malaysia.
Industri Udang Asia
Dalam sambutannya, TB Haeru Rahayu, Dirjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan, Indonesia menginvestasikan Rp175 miliar atau US$11,4 juta pada model tambak ramah lingkungan berbasis kawasan sebagai ujung tombak budidaya.
Ekspansi lebih lanjut direncanakan di NTT yang meliputi area seluas 1.800 ha. Program hilirisasi budidaya udang yang dikembangkan di beberapa wilayah Indonesia diharapkan bisa mendorong capaian produksi udang sebesar 2 juta ton pada 2024.
Ada 10 sesi seminar dalam acara tahun ini yang menghadirkan 40 pembicara ahli dari berbagai negara. Sesi pertama melihat kondisi, pertumbuhan, dan tantangan industri udang di Asia.
Haris Muhtadi, Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI) menuturkan, industri udang Indonesia punya potensi menjadi pusat investasi yang signifikan untuk budidaya berkelanjutan. ”Ini membutuhkan peningkatan praktik budidaya berkelanjutan dan strategis marketing yang efektif demi pertumbuhan dan ketahanan jangka panjang,” urainya.
Robins McIntosh, Executive Vice President Charoen Pokphand Foods Public Ltd menjelaskan, tantangan yang kini terjadi yaitu banyak teknologi budidaya yang diterapkan namun industri udang seolah kehilangan kemampuannya untuk mencetak laba.
”Kesuksesan kita dengan teknologi telah menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dan biaya produksi yang lebih rendah. Tetapi, kita kini menanggung akibat ketika prinsip daya dukung terlampaui,” ulasnya.
Di samping itu, para pembudidaya tidak memegang kendali atas pasar. Sebaliknya, sambung Robin, mereka punya kendali terhadap biaya. ”Oleh karena itu, kita harus ingat dasar-dasar budidaya udang,” pesannya kepada para peserta seminar.
Sesi kedua yang membahas genetik, pembibitan, dan pembenihan mengungkap bahwa genetik memainkan peran penting dalam perluasan industri budidaya udang di Asia dan mendukung efisiensi produksi.
Meskipun, tidak cukup sampai di situ saja. Postlarvae (PL) juga menjadi investasi penting. Protokol optimalisasi selama 30 hari pertama fase pembenihan dan pembibitan akan menghasilkan PL yang kuat untuk keberhasilan panen. Langkah berikutnya, buka Dan Fegan, Chief Impact Officer SyAqua Group, membutuhkan big data dan otomatisasi untuk manajemen sumber daya yang lebih baik dan profitabilitas yang lebih besar.
Kabar baik terlontar di sesi mitigasi penyakit. Peluang mitigasi wabah AHPND, WSSV, dan IMNV secara proaktif dilakukan dengan koleksi data dan AI (Artificial Intelligence) untuk memprediksi titik pemicunya. Berdasarkan pemahaman lebih baik tentang penyakit EHP mikrosporodia dan WFS, rekomendasinya berupa meningkatkan pH air kolam sebelum tebar PL.
Zuridah Merican, Ketua TARS 2023 menambahkan. budidaya udang adalah bisnis yang berisiko tapi ada peluang. “TARS menawarkan semua stakeholder cara bekerja bersama dan bergerak maju dengan mengidentifikasi dan menawarkan solusi untuk diadopsi industri,” tukasnya. Seluruh stakeholder, imbuhnya, melihat perlunya membangun jaringan dan bekerja sama untuk memposisikan diri mereka bagi pertumbuhan industri udang di masa depan.
Windi Listianingsih