Foto: Istimewa
Bungaran Saragih - Orientasi kebijakan pemerintah dan dunia usaha harus dibuat seimbang antara pasar luar dan dalam negeri
“Kita menjadi produsen, eksportir,dan konsumen terbesar di dunia,maka orientasi kebijakan pemerintah harus berubah agar tidak menjadi bumerang. Dibutuhkan peran pemerintah yang lebih sesuai untuk kemajuan sawit dengan menghasilkan kebijakan yang bersahabat terhadap keseluruhan sistem agribisnis sawit,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA.
Kebijakan seperti apa yang bersahabat terhadap sistem agribisnis sawit?
Sejarah perkembangan sawit kita dimulai oleh Belanda dan pernah menjadi nomor satu di dunia. Namun pada masa perang kemerdekaan posisi itu hilang dan lambat laun diambil alih Malaysia. Pada 1945 – 1980, pertumbuhan sawit kita stagnan,baik dari segi areal penanaman, produksi maupun ekspor.
Setelah 1980-an baru terjadi pertumbuhan yang signifikan, mungkin belajar dari keberhasilan Malaysia. Sejak itu sawit dikembangkan menggunakan model baru sekaligus menghilangkan stigma sisa kolonial dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Awalnya pola mendapat dukungan finansial dari bank internasional melalui fasilitasi pemerintah.
Pola PIR dari waktu ke waktu mengalami perubahan dan perbaikan sehingga areal perkebunan inti dan plasma terus bertumbuh. Dan pertumbuhan menjadi lebih cepat karena perkebunan sawit melibatkan perusahaan swasta nasional. Kala itu, pemerintah menelurkan kebijakan subsidi dalam bentuk kredit bunga rendah kepada para perusahaan dan petani. Pertumbuhan areal sawit pun semakin cepat. Bahkan investor asing pun diberi kemudahan mengembangkan perkebunan sawit di Indonesia.
Dengan program fasilitasi pemerintah serta inisiatif pengusaha dan petani, areal sawit bertumbuh dari sekitar 380ribuha awal 1980-an menjadi sekitar 2 juta ha pada sebelum krisis moneter 1998 – 1999. Perkembangan yang sangat pesat ini sudah diikuti petani meskipun sebagian besar masih dalam pola PIR.
Selepas masa krisis moneter,memasuki masa reformasi keuntungan dari bisnis sawit menjadi sangat besar karena penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Apalagi saat itu produksi sawit orientasinya ekspor. Pengusaha dan petani melihat kesempatan itu dan sejak awal 2000-an areal sawit kita berkembang lebih cepat lagi. Dan yang mencengangkan,perkembangan itu disumbang oleh petani kecil sekalipun pemerintah sudah tidak memberikan bantuan finansial yang berarti.
Pertumbuhan areal, produksi,dan ekspor tersebut membuat Indonesia kembali menjadi produsen dan eksportir minyak sawit juga minyak nabati terbesar di dunia. Sementara di dalam negeri terjadi pergeseran konsumsi dari minyak goreng berbahan kelapa ke minyak goreng sawit yang harganya lebih murah. Ditambah lagi kebijakan pemerintah mensubstitusi solar fosil ke biosolar, mulai dari B10, B20, B30 dan terus akan ditingkatkan. Indonesia pun menjadi produsen, eksportir, sekaligus konsumen sawit terbesar di dunia.
Bagaimana menyeimbangkan kepentingan pasar dalam dan luar negeri?
Sebagai konsumen sekaligus eksportir sawit terbesar di dunia bisa menjadi sumber konflik seperti yang kita alami pada awal 2022. Secara tiba-tiba pemerintah membuat kebijakan DPO, DMO,dan menghentikanekspor untuk membantu konsumen dalam negeri. Akibatnya timbul kekacauan dalam produksi dan distribusi sawit di dalam dan luar negeri sehingga merugikan banyak pihak.
Hal ini menyadarkan kita, dalam posisi sekarang orientasi kebijakan pemerintah dan dunia usaha harus dibuat seimbang antara pasar luar dan dalam negeri. Bila kebijakan kita kurang tepat,maka negara produsen sawit lain yang memperoleh keuntungan. Apalagi pesaing kita tidak hanya Malaysia tetapi juga terus bertambah, seperti Thailand, Afrika,dan Amerika Latin.
Selain sebagai pemain globalsawit, kita juga anggota negara besar G20 dan sudah menyetujui Sustainable Development Goals (SDGs)sehingga untuk meningkatkan produksi dan produktivitas serta mengonsumsi minyak goreng sawit harus lebih memperhatikan aspek keberlanjutan. Selain itu, dibutuhkan visi global dan perspektif jangka panjang. Untuk menjaga peranan sawit yang tetap besar pada masa mendatang dibutuhkan smarter policy making dalam sistem agribisnis sawit.
Untung Jaya