Foto: Phalosari Unggul Jaya
Produk beku bisa bertahan sampai 12 bulan dan dikirim ke daerah jauh
Rantai pasok dari huludan hilir industri itik belum tersambung dengan baik. Rumah potong menjadi penjaga harga dan penyambung jalur.
Kebutuhan akan karkas bebek berkualitas terus naik seiring pertumbuhan jumlah kuliner penyaji menu bebek yang cukup signifikan sejak 2000-an. Tetapi, pasokan dari peternak belum mampu mengimbanginya. Dan, acapkali peternak kesulitan menjual hasil panennya karena tidak terhubung dengan jaringan resto dan warung penyerap bebek.
Hal itu amat nyata pada awal pandemi Covid-19 di tahun 2020. Mulai Maret 2020 pemerintah memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilanjut dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Semua restoran dan warung tutup, termasuk di Jatim.
Peternak di sana, termasuk CV Samsudi Farm yang berada di Jombang, Jatim, memiliki usaha integrasi pembibitan, penetasan, dan budidaya bebek hibrida, terkena imbas, tak bisa menjual bebek hidup.
Berani Investasi
When things look black, there's always a silver lining, begitu kata pepatah Barat. Selalu ada hikmah dalam keadaan yang sulit. Saat itu CV Samsubi Farm melihat peluang menjaring laba sekaligus menolong para peternak di Jatim. Caranya dengan mendirikan Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) khusus bebek senilai Rp5 miliar – Rp7 miliar, melalui anak usahanya, PT Phalosari Unggul Jaya (PUJ).
“Phalosari ingin membantu para peternak lokal yang ada di Jatim sehingga pada 2020 dalam keadaan darurat itu dengan bantuan Tuhan kita bisa mendirikan RPHU bebek,” ungkap Octadella Bilytha Permatasari, Managing Director PUJ pada seminar “Cuan Menjanjikan di Bisnis Unggas Air” di Tangerang Selatan, Banten (11/11),
Menurut Della, sapaan akrabnya, dengan memiliki RPHU sendiri, pihaknya tidak hanya mengambil bebek hasil budidaya internal tapi juga membantu peternak lokal untuk memotong bebek mereka jadi karkas.
Bagaimana pun juga ternak yang sudah mencapai bobot panen harus dipotong agar peternak tak lagi memberi makan. PUJ yang memproduksi karkas premium per hari ini telah mengantongi sertifikat halal dan Nomor Kontrol Veteriner (NKV) level A. Kapasitas produksinya 15 rit setara 30 ton atau 26.250 ekor per hari. Untuk menampung karkas, PUJ juga memiliki fasilitas pembekuan dan penyimpanan dingin (cold storage) berkapasitas 1.700 ton.
Menjadi Jembatan dan Distributor
Secara keseluruhan industri, ada upstream (hulu), middle stream (tengah), dan downstream (hilir). RPHU berada di tengah, ibarat jembatan atau kran dari hulu ke hilir. Peternak mendapat jaminan pasar dan pengusaha kuliner terpenuhi kebutuhannya akan bahan baku.
“Kita mengolah bebek hidup menjadi karkas supaya para pengusaha kuliner itu bisa masak bebek tanpa ribet beli di mana, memproses menjadi daging kayak gimana,” urai lulusan Teknik Industri ITS, Surabaya itu.
Della juga menjabarkan peran dan laba RPHU ketika harga bebek jatuh. November lalu harga di Jatim hanya Rp19 ribu/kg sehingga merugikan para pembibit dan pembudidaya. PUJ pun menyerap bebek kemudian memotong dan menyimpannya. Karkas beku ini bisa bertahan selama 6-12 bulan tetap dalam kondisi baik. Menunggu harga membaik, karkas pun disalurkan ke Indonesia Timur. Sebagai contoh, ke Papua saja membutuhkan waktu 45 hari.
Tentang model kerja sama dengan peternak eksternal, PUJ menerapkan penetapan harga kontrak sesuai kesepakatan di awal. Harganya tentu berbeda tergantung jarak peternakan dengan lokasi RPHU. “Untuk ring satu, yaitu Jombang, Mojokerto, dan Nganjuk, ongkos dan susut lebih baik sehingga harga yang ditetapkan sedikit lebih mahal sedikit. Sementara untuk daerah di luar ring, karena subsidi ongkos sudah terserap, harga menyesuaikan dengan harga pasar,” papar wanita kelahiran 1994 ini.
Selain itu, lanjut dia, Indonesia luas dan tidak semua daerah bisa melakukan budidaya bebek secara maksimal. Tidak setiap daerah ada breeding atau penetasan bebek tapi setiap daerah punya permintaan masing-masing.
“RPHU hadir untuk mempertemukan supply dan demand. Sebagai contoh, Jatim peringkat dua populasi bebek hidup di Indonesia tapi demand-nya lebih masih kecil ketimbang Jakarta dan pulau lain, maka kelebihan suplainya bisa kita distribusikan ke seluruh titik-titik demand bebek itu dalam bentuk frozen. Itulah peluang di RPHU bebek. Selain itu kita ada peluang ekspor karkas beku ke Timur Tengah yang selama ini diisi eksportir Brasil. Pihak Timur Tengah sangat ketat dalam penerapan kehalalan sehingga ada peluang kita menggantikan Brasil,” papar alumnus Deakin University, Melbourne, Australia ini.
Masih Terbuka
Peluang meningkatkan produksi itik masih terbuka. Dari statistik 2021, jumlah populasi itik 58,6 juta ekor tapi produksi dagingnya hanya 44,1 juta ton. Jadi masih banyak bebek kurus masuk ke pemotongan. Di sinilah kesempatan untuk mengembangkan itik pedaging hibrida yang digadang-gadang “rasa Peking, hargalokal”.
Dengan ukuran yang lebih kecil dan harga lebih kompetitif, semakin terbuka lebar potensi untuk mengembangkan RPHU khususnya bebek hibrida. Sejauh ini, di Jatim, menurut Della, baru ada dua RPHU bebek berskala industri.
Dari sisi konsumen, dengan harga lebih terjangkau, pengusaha dan pemangku kepentingan lainnya bisa meningkatkan konsumsi daging bebek agar bisa mendekati tingkat konsumsi daging ayam. Idealnya, bebek bisa menjadi menu rumahan.
Untuk menggarap pasar produk siap makan (ready to eat), PUJ membuat olahan bebek pada 2021. Lahirlah menu bebek ungkep dan bebek betutu siap goreng. Kedua bebek RTE ini dikemasan dalam ukuran 500 g/pak/ekor dan 800 g/pak/ekor dengan harga jual masing-masing Rp50 ribu/pak dan Rp80 ribu/pak.
Menurut Della, pertumbuhan bisnis karkas dan olahan bebek cukup baik. ”Pertumbuhan karkas 20% ada,” bebernya kepada AGRINA. Awal 2020 PUJ hanya motong bebek sekitar 1-2 truk/hari dan sekarang menjadi 5-6 truk/hari. Begitupun produk bebek siap makan cukup diminati pasar. Della memprediksi, pertumbuhannya bisa mencapai 20% jika digarap optimal. Pasalnya, ia mengaku, PUJ masih mengutamakan produksi karkas ketimbang bebek RTE. Produksi karkas mencapai 90% dan sisanya bebek RTE.
Peni Sari Palupi, Brenda Andriana, Windi Listianingsih