Foto: Wahyoo Group
Data perilaku pelanggan online delivery di Indonesia
Kuliner berbahan baku itik alias bebek yang kian marak butuh pasokan karkas itik berkualitas dengan volume lebih banyak. Di mana “cuan” yang masih banyak?
Sejak 2000-an penggemar kuliner bebek semakin marak. Hal ini tercermin dari makin menjamurnya penyedia menu bebek, mulai dari skala warung pinggir jalan, resto yang berjaringan, resto kelas premium, hingga warung digital.
Bebek Goreng H. Slamet di Kartasura, Kab. Sukoharjo, Jateng yang dirintis H. Slamet Raharjo dan istrinya, Hj. Baryatin,misalnya. Mulai dari warung kaki lima pada 1986 lantas terus berkembang. Hingga saat ini resto mereka menjadi 34 cabang yang tersebar di wilayah Jabodetabek, Yogyakarta, Semarang, Gresik, dan luar Jawa.
Dari daerah yang sama muncul pula resto Bebek Pak Ndut yang didirikan H. Mahmudi pada 1997. Saat ini sudah berdiri 24 cabang yang dua di antaranya di Singapura. Yang lainnya di Magelang, Bogor, Karawang, Bandung, Serang, Cilegon, Lampung, Samarinda, Balikpapan, dan Sangatta.
Sementara di Cempaka Putih, Jakarta, lahir resto Bebek Kaleyo yang mulai beroperasi pada 2007. Sekarang ada 37 cabang yang merebut hati konsumennya di Jabodetabek, Bandung, Karawang, dan Purwakarta.
Selain itu, kita tidak bisa menyepelekan kehadiran banyak warung bebek madura dan warung penyetan yang juga menyajikan menu bebek. Tentu dengan harga yang lebih ramah di kantong masyarakat.
Sedangkan,pengusaha yang mengambil segmen menengah ke atas antara lain resto Bebek Tepi Sawah berbasis di Bali. Pemiliknya membuka lima resto di Pulau Dewata dan enam unit di Jakarta, Bogor, dan Cianjur. Resto ini melengkapi yang lebih dulu datang seperti The Duck King dan Crystal Jade.
Potensi Luar Biasa
Seiring berkembangnya teknologi digital, bermunculan pula resto-resto yang menawarkan menu bebek lewat aplikasi pesan antar, seperti Gofood, Shopeefood, dan Grabfood. Salah satunya Wahyoo Group dengan brand Bebek Goreng Bikin Tajir (BGBT) yang baru menyapa konsumennya sejak 2020.
Mengawali presentasinya pada seminar “Cuan Menjanjikan di Bisnis Unggas Air” (11/11), Peter Shearer, Founder & Chief Executive Officer Wahyoo Group menampilkan data Tenggara Strategics 2022 yang menurutnya sangat menarik. Potensi orang membeli makanan dengan aplikasi daring (online food platform) sangat besar di Indonesia. Indikasinya terlihat dari gross merchandise value (GMV) yang merupakan akumulasi dari nilai pembelian oleh pengguna melalui situs atau aplikasi dalam periode tertentu.
“GMV 2021 Gofood mencapai Rp30,65 triliun, Shopeefood Rp26,49 triliun, Grabfood Rp20,93 triliun. Sementara berdasarkan temuan Grab 2021, waktu makan yang trafiknya paling tinggi adalah makan malam, makan siang, santai sore, makan malam, lepas makan malam, baru sarapan pagi. Yang paling banyak dipesan adalah ayam, belum ada bebek. Buat saya pengusaha, ini justru opportunity, potensi luar biasa,” ucap Peter dengan nada bersemangat.
Ia menambahkan, dalam benak konsumen, pesan antarpun merek kuliner bebek yang paling dikenal (top of mind) baru satu, yakni Bebek Kaleyo Express. Masih dari kajian Grab, bujet yang dialokasikan untuk membeli makan malam berkisar Rp37 ribu – Rp39 ribu. Sementara,bujet makan siang Rp34 ribu – Rp36 ribu. Rentang harga ini setara menu bebek di resto yang di atas Rp30 ribu/potong.
Melihat peluang itu, Peter lantas meluncurkan brandBebek Goreng Bikin Tajir. “Namanya sesuai filosofi kami, ingin tajir sama-sama. Kita bikin sederhana supaya semua orang bisa buka. Franchise-nya juga murah, Rp8 juta. BGBT ini masih baru tapi kita bersyukur sudah ada 132 outlet dalam waktu satu tahun. Sales per outlet kurang lebih Rp30 juta/bulan, masih kecil tapi risikonya juga kecil. Customer loyalty-nya juga sangat tinggi. Dan responnya sangat bagus. Mitra kita yang saat pandemi mau mati, malah berkembang dan nambah outlet,” ulas pemilik brand Ayam Goreng Bikin Tajir, Ayam Paduka, dan Bakso Bikin Tajir ini.
Rahasia sukses itu, menurut dia, Wahyoo memanfaatkan jaringan yang sudah ada dengan dapur dan karyawan mitra yang sudah ada juga. Pemegang waralaba BGBT menerima order dan menggorengnya dalam waktu 7 menit. Sementara, bahan bakunya dari Wahyoo yang dikirim dari Kediri, Jatim dalam keadaan beku dan sudah dimarinasi. Tentu mitra harus memperhatikan adab berjualan daring, yakni ulasan, kesesuaian harga, penampilan yang menarik, bumbu dan kualitas makanan.
Butuh Pasokan Bahan Baku
Ratusan resto yang berperan sebagai sisi hilir industri itik tersebut tentu membutuhkan bahan baku karkas. Di sinilah kendalanya. “Bisnis unggas air terutama itik di Indonesia relatif masih baru dibandingkan ayam. Bisnis telur itik memang sudah lama ada tapi yang belakangan berkembang cukup pesat adalah daging itik. Di satu sisi peternak susah menjual.Di sisi lain restoran kesulitan mendapatkan bahan baku. Karena itu, kita perlu mempertemukan mereka dengan membangun rantai pasok,” ujar Dr. L. Hardi Prasetyo, M.Agr., Sekretaris Masyarakat Ilmu Perunggasan Indonesia (MIPI) dalam seminar yang sama.
Terbatasnya pasokan karkas itik pedaging menyebabkan pihak resto banyak yang masih mengandalkan itik afkir petelur sebagai bahan baku. Contoh resto Bebek Goreng H. Slamet. Andi Sucipto, Manajer Resto itu cabang Kelapa Dua, Depok, Jabar, mengungkap, “Bahan standarnya bebek afkir petelur. Dikirim dari Solo dalam bentuk karkas beku lalu dimasak di dapur cabang Margonda, Depok. Di sini tinggal goreng atau bakar.”
Lebih jauh Andi mengatakan, pada bulan-bulan Maret, April, sampai Mei biasanya terjadi kelangkaan bahan baku. Namun, pria yang sejak 2012 bekerja di cabang Margonda tersebut mengaku tidak tahu persis penyebabnya.
Menguntungkan
Peluang untuk memasok restoran itu menarik minat Andre Siswanto, peternak di Mojoagung, Jombang, Jatim. “Kelebihannya, peternak itik bisa langsung masuk ke restoran, tidak seperti broiler yang melalui tengkulak,” cetus peternak broiler mandiri dengan populasi 60 ribu ekor ini kepada AGRINA melalui aplikasi Zoom (5/12).
Sejak 2018 pria berlatar belakang pendidikan bisnis tersebut membuka peternakan bebek dengan populasi 20 ribu ekor. Populasi sebanyak ini dibagi lima kandang. Satu kandang berisi 4.000 ekor. Empat kandang diisi bibit hibrida produksi JAPFA dengan siklus pemasukan bibit (day old duck-DOD) dua mingguan. Sementara satu kandang lainnya berisi itik lokal.
“Semua bebek saya jual ke restoran, bukan warung karena mereka tidak mau bebek hibrida, maunya bebek lokal. Karena, mungkin terpatok dengan resep lama. Resto di Jatim minta ukuran kecil, karkas 1-1,5 kg/ekor, termasuk kepala dan ceker tanpa jeroan. Bobot panen 1,6–1,7 kg/ekor dengan konversi pakan (feed conversion ratio – FCR) 2,1-2,3 dan waktu pemeliharaan 42-45 hari,” terang Andre yang juga memasok resto di Jakarta sejumlah 500 ekor/kg.
Berbeda dengan Andre, Ni Kade Astuti dan Agustin Polana, peternak di Desa Tajurhalang, Kec. Tajur Halang, Kab. Bogor, Jabar, menjual panennya dalam bentuk hidup. Ada dua-tiga orang pembeli yang datang langsung ke kandang.
Dua peternak ini memelihara strain Gunsi 888 dalam enam kandang, empat kandang milik Astuti, dua lainnya milik Agustin. Kapasitas totalnya 6.000 ekor dengan siklus pemasukan DOD seminggu sekali. Lokasinya di tengah-tengah perkebunan jambu biji seluas 10 ha.
“Kami sudah beternak 10 tahun. Dulu kemitraan dengan Putra Perkasa Genetika (PPG), sekarang mandiri. Ternak kami pernah hancur gara-gara penyakit flu burung dan karena Covid terpaksa berhenti sama sekali. Pas pandemi awal ‘kan resto tutup semua. Jadi, tidak ada yang ambil bebek,” ungkap Tuti, sapaan wanita asal Jembrana, Bali itu saat disambangi AGRINA di peternakannya (5/12).
Saat pandemi tersebut pihaknya rugi Rp10 juta per kandang. Untunglah ketika mulai memelihara kembali, kerugian langsung tertutupi. Menurut Agustin, “Tahun ini nggak ada rugi. Keuntungan bersih Rp7 juta. Paling rendah Rp3 juta - Rp4 juta per 1.000 ekor. Modalnya saat ini berkisar Rp40 juta – Rp45 juta per 1.000 ekor.”
Itik Gunsi dipelihara rata-rata 40 hari untuk mencapai bobot 2 kg/ekor hidup sesuai permintaan resto di sekitar Bogor. FCR-nya 2-2,2. “Belum bisa di bawah 2. Mungkin genetik bibit dan pakan perlu diperbaiki. Sebaiknya, pabrik pakan memiliki test farm sehingga bisa mengetahui performa pakannya sebelum dijual,” saran alumnus Fakultas Kedokteran Hewan IPB University angkatan 16 ini.
Di luar masalah teknis budidaya, kelebihan usaha budidaya itik adalah harga lumayan stabil. “Harga dua-tiga tahun lalu kisaran Rp20 ribu-Rp21 ribu/kg hidup. Sekarang ini pasaran di Jatim Rp22.500-Rp23.500/kg hidup. Sedangkan,karkas Rp41 ribu-Rp42 ribu/kg,” beber Andre.
Pasaran Jabar saat ini ternyata lebih baik. “Sekarang minimal Rp25 ribu-Rp26 ribu per kg hidup. Kenapa mahal? Satu, dari induknya saja jumlah telurnya tidak sebanyak ayam. Di penetasan, karena ukuran telurnya lebih besar, kapasitas penetasannya jadi lebih sedikit, mungkin 70% ketimbang ayam. Kematian rata-rata 5%. Dengan 5%, kita masih bisa untung,” jelas Agustin.
Tantangan
Mahalnya harga itik hidup itu bertambah dengan ongkos potong di Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) khusus itik yang lebih tinggi ketimbang ayam. Prosesnya perlu tambahan waxing (lilin) food grade untuk mencabut bulu-bulu halus agar karkasnya bersih dan mulus.
Hardi yang lama meneliti genetik itik di Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor menambahkan, pasar daging itik membutuhkan karkas mulus. “Dulu itik semua warna dibeli. Saat ini konsumen mulai pilih-pilih ingin yang warna bulunya seragam putih. Kenapa? Kalau itiknya masih ada bulu cokelat dan hitam, karkasnya akan belang-belang. Tidak bisa mulus putih. DOD warna bulu putih seragam akan menghasilkan karkas mulus putih. Kita butuh yang pertumbuhannya seragam juga,” urai alumnus S3 North Carolina University, Amerika Serikat itu.
Pesatnya pertumbuhan kuliner itik juga perlu pasokan yang kontinu. Petelur afkir tidak bisa diandalkan sepenuhnya. “Petelur ini umumnya dipotong umur tua setelah selesai bertelur (sekitar dua tahun), daging liat dan keras, berbau amis dan tidak tersedia secara rutin. Persentase daging kecil karena memang tipe petelur. Sementara yang pedaging, sekitar 6-7 minggu dipotong, dagingnya lebih empuk, tidak bau amis, sudah ada pembibitan sehingga bisa tersedia secara rutin. Persentase daging lebih tinggi. Strainnya pedaging unggul antara lain Peking dan blasterannya, PMp (Peking Mojosari putih),” lanjut Hardi.
Terkait bau amis daging, imbuh dia, itu lantaran ada kandungan asam lemak tidak jenuh yang teroksidasi. Hasil penelitian menunjukkan, kandungan asam lemak tak jenuh mulai meningkat pada umur 8 minggu. Jadi, makin bertambah umur, makin bau. “Pengetahuan ini perlu kita perlu sosialisasikan,” tandasnya.
Terhubungnya rantai suplai dari peternak ke pengguna langsung dan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kelebihan daging itik, bisa bikin cuan (laba) masing-masing makin “gurih”.
Peni Sari Palupi, Sabrina Yuniawati