Foto: Istimewa
Variasi menu olahan daging ayam akan meningkatkan preferensi konsumsi
Distribusi merata dan kesadaran masyarakat memacu peningkatan konsumsi.
Mau makan ayam goreng Korea, ayam geprek, atau ayam bakar? Aneka menu itu kini mudah didapat di resto atau warung makan sekitar rumah. Jika mager alias malas gerak, tinggal pesan lewat aplikasi belanja online di handphone. Makanan pun siap diantar.
Di tengah ramainya menu makanan berbahan baku ayam, ternyata konsumsinya di Indonesia masih rendah.
Melansir Organization of Economic Cooperation and Development (OECD), konsumsi daging ayam Indonesia hanya 8,1 kg/kapita/tahun pada 2021.
Jumlah ini jauh tertinggal dari rerata konsumsi daging ayam dunia yang sebesar 14,9 kg/kapita/tahun.
Jika melihat negara tetangga seperti Filipina dan Vietnam, konsumsinya sebanyak 14,6 dan 13 kg/kapita/tahun. Konsumsi Malaysia malah melesat jauh, mencapai 38 kg/kapita/tahun. Kok bisa?
Banyak Faktor
Rinna Syawal, Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan, Badan Pangan Nasional (BPN) mengatakan, konsumsi daging ayam nasiional sebenarnya naik meski sedikit.
Menurut data Susenas BPS 2018-2022, konsumsi daging ayam tahun ini 8,9 kg/kapita/tahun dan tahun lalu 8,3 kg/kapita/tahun. Sedangkan, konsumsi telur 7,6 kg/kapita/tahun di 2022 dan 6,5 kg/kapita/tahun pada 2021.
Dalam satu dekade terakhir, buka Tri Melasari, Direktur Pengolahan & Pemasaran Hasil Peternakan, Ditjen PKH, Kementerian Pertanian (Kementan), konsumsi daging ayam nasional terus naik.
Bahkan, tahun lalu konsumsinya menembus rekor tertinggi, 0,14 kg/kapita/minggu. Rerata konsumsi ini lebih besar daripada konsumsidaging sapi/kerbau yang sekitar 0,009 kg/kapita/minggu.
Banyak faktor yang mempengaruhi konsumsi, seperti daya beli, distribusi tidak merata, preferensi konsumen, pengetahuan, budaya, hingga isu negatif. Walau cukup terjangkau, Rinna mengupas, harga daging ayam masih dinilai mahal untuk masyarakat tertentu. ”Pada daerah yang bukan sentra produksi daging ayam, kemungkinan harganya lebih tinggi,” katanya kepada AGRINA.
Tri menjelaskan, sentra produksi daging ayam tersebar di 10 provinsi dengan terbesar di Pulau Jawa. Keterbatasan saluran distribusi dan infrastruktur tata niaga dari sentra produksi ke provinsi lain, khususnya di luar Jawa, membuat ketersediaan daging ayam tidak merata dan harganya relatif tinggi.
Di samping itu, belum semua masyarakat paham bahwa daging ayam sumber protein hewani yang baik untuk pertumbuhan. Tingkat pendidikan yang rendah berpengaruh besar terhadap pengetahuan makanan sehat, seperti daging ayam.
Kemudian, isu negatif yang menganggap daging ayam broiler identik dengan bahan kimia seperti hormon dan menyebabkan kolesterol, kanker, atau alergi.
Tri membantah isu tersebut. ”Padahal, itu terjaga banget. Bahkan, sekarang ayam tidak boleh ada kandungan antibiotik, hormon juga tidak boleh. Kenapa dia tumbuh baik karena pakannya, bibitnya sudah terpilih sehingga pertumbuhannya cepat,” terangnya.
Isu negatif ini, ungkap Ricky Bangsaratoe, diperparah dengan kurang teredukasinya dokter tentang genetik ayam. Sampai sekarang masih ada dokter yang melarang konsumsi ayam karena menganggapnya disuntik hormon.
”Jangankan itu, obat saja, AMR – antimicrobial resistance dilarang pakai,” tegas Ketua Bidang Komunikasi dan Promosi Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia itu.
Peningkatan Konsumsi
Achmad Dawami, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) menekankan pentingnya membuka kesadaran masyarakat akan konsumsi daging ayam.
Termasuk, kampanye konsumsi daging ayam di dunia pendidikan mulai dari SD. ”Setiap pertambahan income di negara berkembang, salah satunya Indonesia, yang digunakan untuk konsumsi protein hewani cuma 2%. Kembali ke basic kesadarannya,” kata dia.
Pinsar selaku perintis peringatan Hari Ayam dan Telur Nasional (HAT) menyatakan penyadaran harus dilakukan bersama. ”Bersama-sama memikirkan jalan terbaik agar masyarakat peduli pentingnya protein hewani dengan harga yang murah. Nggak bisa asosiasi perunggasan saja, mesti bersama, dan jangan ada yang mau enaknya sendiri,” kata Ricky.
Dawami menganjurkan perluas jejaring stakeholder meliputi kementerian/lembaga lain, seperti perguruan tinggi, Bappenas, dan Kementerian Pendidikan. Namun, ia menekankan, pemerintah wajib menjadi pemimpinnya sesuai amanat Undang-undang (UU) No. 18/2012 Tentang Pangan. Pasal 5 UU itu memuat aturan penyelenggaraan pangan meliputi ketersediaan, keterjangkauan, serta konsumsi.
Ia juga menyinggung iuran buat promosi konsumsi. ”Kita dulu mencoba tapi mentok di peraturan. Itu harus ada peraturannya, ada yang mengelola, jangan sampai nanti dianggap korupsi,” katanya mengingatkan.
Ricky setuju dengan usul membuat lembaga khusus. ”Ada lembaga seperti itu dan mesti ada pengawas untuk crosscheck. Iuran untuk promosi di TV, radio,” lanjutnya.
Terkait hal tersebut, Tri mengungkap. ”Itu masih menjadi PR kita. Tapi, itu memang menjadi peluang buat kita. Kalau peternak ‘kan ada yang besar ada, sedang, dan ada yang kecil. Ini ‘kan harus dibedakan pengaturannya, harus jelas. dan pemanfaatannya pun harus jelas.”
Kampanye
Selain membuat berbagai kegiatan, Tri mengatakan, Kementan bekerja sama dengan asosiasi memilih Duta Ayam dan Telur untuk lebih dekat dengan masyarakat dan menetapkan Hari Ayam dan Telur Nasional sejak 2011.
Pihaknya juga memperkuat kapasitas pelaku UMKM untuk membuat diversifikasi produk olahan ayam sehingga meningkat preferensi masyarakat. Kemudian, mendorong akses pasar melalui kerja sama dengan e-commerce.
Dari sisi pelaku usaha, Riri Ghaisani, pemilik resto C’BEZTFried Chicken di Kebun Jeruk, Jakarta mengamini. ”Banyak meng-create menu baru untuk anak muda dan orang tua. Apalagi, anak muda itu cepat bosan,” katanya.
C’BEZT sendiri menghadirkan menu ayam goreng tradisional hingga modern dengan topping saus kekinian. Menu favoritnya yaitu ayam krispi goreng dan bakar serta ayam selimut.
Rachmat Indrajaya, Corporate Affairs Director PT Japfa Comfeed Indonesia, Tbk menjelaskan, saat ini kebanyakan negara maju telah menyediakan pilihan makanan olahan yang siap masak serta menciptakan produk yang memudahkan konsumen mengolah daging ayam. “Menyediakan berbagai pilihan olahan ayam hingga yang bernilai tambah sudah dilakukan JAPFA untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang hidup serba cepat dan praktis,” bukanya.
Demi memastikan kualitas produk, JAPFA senantiasa memperhatikan biosekuriti di setiap unit bisnis. “Berbekal kualitas produk yang terjaga dan jaringan distribusi yang tersebar di pelosok Tanah Air, kami memastikan ketersediaan daging ayam agar mudah diakses oleh berbagai lapisan masyarakat,” tukasnya.
Ia menilai, pandemi Covid-19 yang membentuk kebiasaan baru mengakibatkan masyarakat lebih memperhatikan kesehatan. “Momentum ini dapat menjadi kesempatan untuk mengedukasi masyarakat agar rutin mengkonsumsi gizi seimbang, terutama protein hewani,” serunya.
Pemerataan
Untuk sebaran produksi, Rinna menuturkan, BPN menjamin distribusi daging ayam secara merata di seluruh daerah dan tersedia sepanjang masa.
”Kami punya peta ketersediaan pangan di setiap wilayah berdasarkan komoditas. Dari situ terlihat di mana yang kekurangan stok daging ayam. Kemudian, harga tinggi akan dilakukan intervensi dengan melakukan pendistribusian di daerah-daerah itu,” jelasnya. Meski, perlu upaya khusus meratakan distribusi mengingat kondisi geografis Indonesia berupa kepulauan.
Berikutnya, kampanye edukasi dan promosi tentang pentingnya konsumsi daging ayam ke ibu rumah tangga dan anak-anak. ”Secara umum konsumsi protein masyarakat Indonesia itu sudah tinggi tapi masih didominasi protein nabati, bukan hewani. Karena itu, kami mengkampanyekan konsumsi protein hewani murah, yaitu telur. Dengan mengonsumsi sebutir telur setiap hari sebenarnya membantu kecukupan protein hewani kita,” ulasnya.
BPN juga merilis konsep pangan ideal yaitu Pangan B2SA (Beragam, Bergizi, seimbang dan Aman). Pangan B2SA menggambarkan konsep makan yang benar dan sehat sesuai kebutuhan tubuh. Setiap piring terdiri dari 1/3 makanan pokok seperti nasi, jagung, atau ubi kayu; 1/3 sayuran; 1/6 protein nabati dan hewani seperti kacang-kacangan, ikan, daging ayam, sapi, dan telur; dan 1/6 buah-buahan.
Untuk memasyarakatkan konsep tersebut, BPN membentuk kebun B2SA dilengkapi warung dan dapur kreasi menu B2SA. Kebun B2SA memanfaatkan lahan pekarangan dasawisma, PKK, sekolah, dan desa. Warung B2SA melibatkan BUMDes, sedangkan dapur B2SA menggandeng PKK dan kantin sekolah.
”Hasil olahan dari dapur dibagikan ke sekolah dan posyandu. Program akan mulai di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Lampung,” ucap Rinna.
Penerapan Pangan B2SA, sambung Lulusan S2 Universitas Brawijaya itu, bisa menyelesaikan masalah stunting. ”Dengan B2SA ini kami mengubah pola konsumsi masyarakat supaya mengonsumsi makanan yang beragam bergizi seimbang dan aman,” pungkasnya.
Windi Listianingsih, Brenda Andriana