Foto: Dok. Pribadi
Dean Novel, pengembangan JRA sedikit lebih sulit dari jagung pakan
Jagung sangat potensial sebagai komoditas penggerak ekonomi karena banyak produk turunannya yang bisa dikembangkan.
Tidak melulu untuk pakan, jagung juga sangat potensial sebagai bahan pangan dan sumber energi yang pengembangannya di Indonesia masih sangat jauh dari kata optimal. Kebutuhan si emas pipilan untuk bahan pangan mencapai 1,5 juta ton/tahun.
Namun, Dewan Jagung Nasional mencatat impor jagung pangan masih besar, sekitar 1 juta ton. Selain bahan pangan, ada juga daun dan tongkol jagung yang diminati pasar ekspor. Masyarakat Agribisnis dan Agroindustri Indonesia (MAI) sudah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU)dengan Jepang untuk mengekspor daun jagung.
“Selama ini daun jagung dibakar. Sekarang ada pasarnya. FOB dihargai US$100, sekarang Rp1,5 juta/m2 daun jagung yang sudah dikeringkan dengan spesifikasi tertentu. Kita belum sempat melakukan ekspor karena ternyata masyarakat tidak berminat untuk mengolah daun jagung diekspor. Pasar sudah ada,” jelas Maxdeyul Sola, Sekjen MAI.
Pohon Industri Jagung
Menurut Sola, jagung sangat potensial sebagai komoditas penggerak perekonomian karena begitu banyak pohon industri jagung yang bisa dikembangkan. “Saat ini kita masih banyak berbicara jagung itu bijinya, belum menghasilkan manfaat limbahnya,” ujardiapada webinar “Jagung Merupakan Komoditas Pentingnya Selain Padi dan Gandum”, Senin, (25/7).
Pohon industri jagung dimulai dari jagung muda, yaitu baby corn untuk sayur, jagung pipil untuk grits, tepung jagung, pakan ternak, pati, dan minyak jagung. Pati jagung diolah menjadi tepung maizena, dekstrin, dan gula. Gula jagung diturunkan lagi dalam beberapa produk,seperti etanol, asam organik, dan bahan kimia.
Tongkol jagung diolah menjadi furfural, senyawa organik siklik yang banyak dimanfaatkan dalam industri pangan, kosmetika, dan obat-obatan. Perusahaan lokal juga sudah mengekspor tongkol jagung ke Korsel untuk media tanam jamur. Sementara, kelobotnya bisa dijadikan hiasan, seperti pigura.
“Sekarang kita sudah mulai memfermentasi batang, daun jagung yang tidak dimanfaatkan untuk pakan sapi. Apalagi, daging sapi sudah mulai tinggi harganya dan sangat potensi sekali melakukan integrasi jagung dengan sapi,” urai Sekjen Dewan Jagung Nasional itu.
Bahan Pangan
Sebagai bahan pangan, Wisman Djaja, Presdir PT Tereos FKS Indonesia menjelaskan, Perkumpulan Produsen Pemurni Jagung (P3JI) menggunakan pati jagung untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman (mamin). “Kebutuhan nasional setara 1,5 juta ton jagung pangan/tahun. P3JI memenuhi demand industri mamin yang selama ini masih banyak diimpor. Pati, glukosa, fruktosa masih bebas diimpor dari China dan India,” jelasnya.
Jagung untuk industri mamin ini harus berkadar aflatoksin rendah atau kualitas food grade. “Jagung di kita kadar aflatoksinnya 150 ppb,sedangkan food safety mengharuskan di bawah 20 ppb. Industri mamin punya tanggung jawab keselamatan pangan. Itu harus sangat kita jaga. Keharusan aflatoksin di bawah 20 ppb itu mutlak,” kata Wisman.
Tahun lalu, ulasnya, Tereos bekerja sama dengan Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan (PPHTP), Ditjen Tanaman Pangan, Kementan untuk menghasilkan jagung food grade di Kalianda, Lampung, mereplikasi program sebelumnya di Tuban, Jatim.
“Trial di Tuban, untuk mendapatkan aflatoksin di bawah 20 ppb, jagung pipil harus sudah dikeringkan dalam waktu 3 jam setelah panen. Perlu mekanisme pascapanen dengan combine harvester dan dikeringkan,” lanjutnya.
Agar bisa bersaing dengan produk impor, jagung rendah aflatoksin (JRA) harus memiliki daya kecambah (germination ratio) di atas 70%. “Jumlah dryer (pengering) yang ada di Indonesia tidak sampai 5% (belum memadai, Red.) kalau kita mau mendapatkan jagung rendah aflatoksin,” tukasnya. Jika pemerintah mengembangkan food estate JRA, sarannya, harus dilengkapi mekanisasi pascapanen yang memadai.
Dean Novel, Direktur PT Datu Nusra Agribisnis (DNA) mengatakan, pengembangan JRA memang sedikit lebih sulit daripada jagung pakan. “Di sisi hulu, petani harus lebih telaten, waktu panennya mundur satuminggu, dan harus kering tongkol,” ucapnya.
Menghasilkan kadar pati 70% pun tidak mudah. Dean yang mempelopori produksi jagung food grade lokal, baru mampu meraih kadar pati 67% setelah mencoba tigakali musim tanam. “Tidak mudah memang, perlu duatahun untuk mencapai kualitas yang konsisten, tidak fluktuatif,” akunya. Pascapanen JRA juga lebih kritis karena harus segera dikeringkan maksimal duahari setelah panen.
Dean cukup berhasil mengembangkan kemitraan JRA di NTB. Ia lalu melebarkan sayap kemitraan ke Kab. Muna, Sultra. Selain pemerintah daerah (pemda) yang sangat mendukung, masyarakat Muna juga terbiasa menanam jagung untuk dikonsumsi sehari-hari. “Sedang dibangun gudang kapasitas 1.000 ton/bulan. Targetnya akan ekspor jagung food grade dari Muna,” jelasnya kepada AGRINA (18/7).
Faktor Pendukung
Gatut Sumbogodjati, Direktur PPHTP menjelaskan, dukungan pemda sangat penting dan menjadi faktor utama dalam pengembangan JRA. Ia menilai, keberhasilan PT DNA salah satunya peran pemda dalam menyediakan lahan sehingga proses kerja samanya berjalan lebih cepat. Kemudian, pengelolaannya dilakukan secara profesional oleh DNA. Faktor pendukung berikutnya, sambung Gatut, konsistensi kesepakatan harga antara petani dengan P3JI sebagai sebagai pengguna JRA.
“Kalau harga, ini mestinya bisa diistilahkan jagung premium karena ini ‘kan food grade, grade-nya lebih tinggi. Upayanya juga lebih hebat untuk memproduksi itu. Tentu produsennya juga minta harga yang lebih bagus,” terangnya.
Kesepakatan harga ini salah satu yang menjadi kendala pengembangan JRA di Indonesia. “Artinya, P3JI itu pun tidak bisa terus memenuhi harga yang lebih tinggi (dari jagung pakan) karena mereka juga memperhitungkan biaya produksi dengan harga produk mereka,” timpalnya.
Ditjen Tanaman Pangan telah menandatangani MoU dengan P3JI tentang kesepakatan mengutamakan penggunaan jagung dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan industri olahan jagung. Saat ini beberapa anggota P3Jl sudah mulai menerima JRA dari mitra petani produsen JRA meski masih sangat kecil jumlahnya.
“Persyaratan teknis dan harga menjadi kendala, belum lajunya investasi JRA tersebut. Pengembangan JRA tidak hanya membutuhkan peralatan pengeringan mekanis tetapi juga harus dilakukan dalam skala ekonomi yang lebih besar dari poktan/gapoktan, dan tersentralisasi,” pungkasnya.
Windi Listianingsih