Senin, 4 Juli 2022

Harga “Pedas”, Butuh Solusi Tuntas

Harga “Pedas”, Butuh Solusi Tuntas

Foto: Dok. Pipit Chandra
Pasokan dan harga cabai perlu distabilkan

Cuaca ekstrem menciptakan harga cabai ekstrem tinggi. Bagaimana solusinya agar petani dan konsumen sama-sama senang?
 
 
Harga komoditas pencipta rasa pedas ini bisa dibilang sangat fluktuatif. Suatu saat ramah bagi konsumen tapi bikin bolong kantong petani dan bisa sebaliknya harga melambung,konsumen bingung seperti dua bulan terakhir ini. Mengapa bisa begitu?
 
 
Cuaca Ekstrem, Harga Ekstrem
 
Menurut cerita Iqbal Habibi, Ketua Kelompok Tani Mandiri di Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, pada masa pandemi berat harga cabai rawit merah tidak lebih dari Rp30 ribu/kg.
 
“Cabai keriting sekarang Rp65 ribu/kg. Rawit merah Rp80 ribu/kg. Padahal kita panen April harga hanya Rp19 ribu/kgdi kebun. Dalam dua bulan, harga melejit sampai Rp80 ribu. Bisa nutup kerugian tahun lalu, bahkan untuk modal tanam berikutnya pun ada,” ungkap alumnus Jurusan Agribisnis, Faperta Universitas Juanda, Bogor, itu pada acara “Panen Raya Nusantara” di Jakarta (22/6).
 
Pada Juni 2022, harga cabai rawit merah memang pernah mencapai level tertinggi, Rp120 ribu/kg  di tingkat konsumen. Hasil pantauan AGRINA di Pusat Informasi Harga Pangan Strategis, wilayah Jakarta (7/7) harga mulai menurun, cabai merah keriting Rp82.700/kg, cabai rawit merah Rp97.250/kg.
 
Menurut Udin, pedagang di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, pada 7 Juli 2022, harga jual cabai rata-rata Rp80 ribu/kg. Harga tersebut cukup jauh dibandingkan bulan lalu. “Penurunan harga, tingkat produksi dan pasokan dari sejumlah daerah sentra cukup melimpah jadi harga cabai turun kisaran Rp70 ribu-Rp80 ribu/kg,” ujarnya.
 
Sedangkan di daerah Banten harga cabai rawit merah masih terbilang tinggi, cabai rawit mencapai Rp111.350/kg, cabai merah keriting Rp98.650/kg.
 
Permasalahan harga cabai mahal padabulan tertentu harus menemukan solusi karena memberatkan konsumen dan menimbulkan inflasi.
 
Namun, petani tersenyum bahagia menikmati harga bagus setelah mengalami kerugian akibat anjloknya harga cabai selama pandemi. Bisakah masalah klasik ini terpecahkan?
 
 
Mengapa?
 
Prihasto Setyanto, Dirjen Hortikultura, Kementan, mengatakan, penyebab harga cabai melonjak adalah produktivitas tanaman menurun akibat cuaca ekstrem dengan intensitas curah hujan tinggi.
 
Curah hujan April-Mei 2022 cenderung lebih tinggi dibandingkan tahun lalu. Hal ini memicu serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) meningkat.
 
“Hasil pengamatan Kementan Mei 2022 serangan OPT antraknose seluas 851,72 ha, Phytophthora seluas 204,87 ha, dan layu fusarium 64,35 ha. Kehilangan hasil dari serangan antraknose  berkisar 20-90%. Jajaran kami telah melakukan langkah preventif untuk mengatasi serangan OPT menyerang tanaman cabai,” katanya di Toko Tani Indonesia Center Jakarta (22/06).
 
Para petani yang dihubungi AGRINA pun membenarkan, cuaca ekstrem ditambah serbuan OPT menyebabkan tanaman cabai mereka rusak berat. Produktivitas pun anjlok.
 
“Dalam kondisi normal, cabai besar bisa keluar satu kilo per pohon, sekarang hanya 3-4 ons. Selain itu, petani juga kehabisan modal karena pas pandemi harga anjlok. Selama dua tahun pandemi saya rugi Rp1,2 miliar,” tutur H. Nurkholis Hermawan, petani asal Desa Karangsari, Kecamatan Tempu, Banyuwangi, Jatim.
 
“Serangan patek (antraknosa) cukup parah. Lalat buah juga. Bahkan di beberapa lokasi gagal panen sehingga cabai panen hijau, jual setengah harga. Mungkin itu salah satu penyebab harga mahal,” timpal Iqbal yang juga Ketua Koperasi Tani Mandiri Sejahtera.
 
Nanang Triatmoko, petani cabai Desa Yosomulyo, Kecamatan Gambiran, Banyuwangi, Jatim, juga sependapat dengan Nurkholis. “Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) diterapkan harga cabai anjlok. Cuaca ekstrem serta penanaman saat ini kurang karena jumlah petani menurun untuk tanam cabai karena rugi tahun lalu sehingga panen dikit,” terang Wakil Ketua Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Jatim itu.
 
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKKPI), Abdullah Mansuri mengungkapkan, sentra produksi cabai masih mengalami curah hujan, seharusnya Juni memasuki kemarau.
 
Lima produksi terbesar cabai tersebut Jateng, Jatim, Jabar, Sumut, Sumbar mengalami masalah sama,yaitu serangan OPTsehingga produksi menurun cukup tinggi dan berdampak pada harga di tingkat konsumen.
 
“Produksi menurun karena pertanian Indonesia belum memiliki desain pangan yang baik. Seharsunya sudah terdata, potensi kegagalan panen wilayah A, B, C berapa, kebutuhan setiap wilayah berapa. IKKPI meminta pemerintah untuk memperbaiki kembali desain pangan. Contoh kecil, kebutuhan Idul Adha 100 ton, antisipasi 100 ton dari daerah mana saja. Pemetaan daerah Kediri luas lahan asumsi panen berapa ton, Blitar asumsi panen berapa ton, harusnya dipersiapkan. Fakta dan intinya belum memiliki desain pangan memadai,” ungkapnya.  
 
Abdullah berharapadanya perubahan secara bertahap dari pemerintah. Pertama, menyisir kembali data pangan. Contoh, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan,produksi bagus,tidak ada hama, hasil produksi didistribusikanke wilayah yang kebutuhannya besar seperti Jakarta.
 
Kedua, saat panen raya harga jatuh, ada peran pemerintah untuk membuat produk olahan cabai bubuk, pasta atau cabai kering. “Harga jatuh, kelebihan produksiterserap sehingga harga menjadistabil. Serta tadi pemetaan wilayah asumsi produksi yang baik dan benar,” terangnyamelalui pesan instan kepada AGRINA.   
 
 
Solusi Stabilitas
 
Sebenarnya, menurut Prihasto,pemerintah sudah menyiapkan langkah menyiapkan strategis untuk mengatasi gejolak harga cabai serta mengamankan pasokan cabai nasional. Salah satunya, dengan menyusun Early Warning System(EWS) untuk mengantisipasi kerawanan produksi.
 
Fungsi EWR adalah memantau daerah sentra produksi cabai. Saat terserang OPT,pertanaman dapat langsung ditangani sehingga produksi cabai aman. Selain itu, untuk menstabilkan harga Kementan mengambil dari wilayah yang aman seperti Kabupaten Enrekang dan Wajo, Sulsel, dengan memberikan subsidi transpor agar harga lebih terjangkau di Jakarta. 
 
Untuk mendapat stabilitas produksi dan harga yang baik, Muhammad Ridwan dari Kelompok Tani Eptilu di Cikajang, Kabupaten Garut, Jabar, bergabung dalam kemitraan tertutup (Closed Loop Agribisnis Hortikultura).
 
Kemitraan ini merupakan sistem kerja sama petani yang tergabung dalam Koperasi Eptilu Membangun Indonesia dengan stakeholder yakni perusahaan benih, pupuk pestisida, off-taker (PT Paskomnas Indonesia dan Eden Farm).
 
Dalam sistem tersebut, petani mendapatkan kemudahan akses berupa bibit unggul, pupuk, pestisida melalui koperasi, kepastian harga panen, dan kelancaran pembayaran. Petani mendapatkan pendampingan teknis dari para pemasok sarana produksi tersebut agar mampu menerapkan cara budidaya yang baik dan benar (GAP).
 
“Mereka menempatkan petugasnya untuk mendamping petani kita secara nyata di lapangan. Setiap minggunya selalu dikontrol. Jadi ini bukan acara seremonial, tapi berkelanjutan mulai tanam, perkembangan, pembuahan, hingga ke pasar,” ujar mahasiswa semester enam Universitas Garut itu.
 
Dampaknya nyata. Koperasi Eptilu yang mengelola lahan 50 ha ini berkembang pesat. Anggotanya dari 10 orang pada 2020 kini menjadi 50 orang.
 
“Satu tahun berjalan, hanya kirim ke pasar  2-5 kuintal, sekarang 8 ton sekali kirim.  Pasarnya bertambah. Dari Paskomnas dan Eden Farm, kini tambah Pasar Induk Rau, Serang, Pasar Induk Tanah Tinggi Tangerang, Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, dan ada permintaan dari pasar antarpulau yaitu Pangkalpinang, Bangka Belitung,” lanjut pemuda asli Cikajang itu.
 
Beda lagi cara Koperasi Perkumpulan Petani Hortikultura Puncak Merapi (PPHPM) di Kabupaten Sleman, DIY. Para petani anggota koperasi dan petani mitranya menikmati harga jual lebih baik dengan menjual di pasar lelang cabai online (Baca juga: Sama-sama Untung dengan Aplikasi Lelang diPanen.id)
 
“Ketika harga di Pasar Muntilan (Magelang) Rp79 ribu/kg. Di sini kita menjual Rp5.000/kg lebih tinggi dari harga itu. Pedagang juga tidak mengeluh karena mereka tidak repot dan kualitas cabai di Sleman lebih baik. Kadar air cabai rendah sehingga tahan sampai 10 hari. Warnanya juga bagus. Sedangkan di wilayah lain kadar air lebih tinggi, paling tahan maksimal 7 hari dengan tingkat kerusakan yang lebih besar saat pengiriman,” ungkap Turasman, Sekretaris Koperasi itu.
 
Dengan sinergi berbagai alternatif solusi itu, permasalahan gonjang-ganjing pasar cabai diharapkan bisa tuntas.
 
 
 
 
 
Sabrina Yuniawati, Peni Sari Palupi, Isman (Kontributor Yogyakarta)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain