Foto: Prof. Muladno
Target ideal perunggasan nasional
Meskipun sudah besar, industri perunggasan belum berdaya saing dan berjalan masing-masing. Untuk itu, harus berbenah.
Industri perunggasan nasional berkembang pesat namun belum diimbangi dengan peningkatan konsumsi. Sementara di sisi hulu, belum ada sinergi antara perusahaan terintergrasi atau integrator vertikal dengan peternak mandiri. Menurut Prof. Muladno, Guru Besar Fakultas Peternakan IPB University, yang terjadi saat ini justru saling ketidakpercayaan antara peternak.
“Padahal,impian kita semua itu peternak dan perusahaan peternakan baik mikro, kecil, menengah, dan besar terus berkembang. Kemudian,harga daging ayam kompetitif di pasar global,” bahas mantan Dirjen PKH, Kementerian Pertanian2015-2016 ini.
Dengan adanya jiwa kompetisi, mimpi Muladno, daging ayam impor tidak mampu bersaing di pasar Indonesia. Sebaliknya, daging ayam nasional justru dieskpor. Dengan demikian, angka konsumsi juga terus meningkat.
Berjalan Berdampingan
Lebih lanjut Muladno mengulas, mental peternak harus mau berubah. Egoisme mesti dikesampingkan dan gotong royong ditingkatkan. Namun demikian, ia justru seringkali menemukan solusi tersebut dikatakan lambat dalam mengatasi masalah.
“Maunya cepat selesai. Saya jamin tidak akan bisa kalau tidak sistematis dari bawah. Kalau atas saja yang dibom pakai peraturan, tidak mungkin selesai dengan kondisi yang masih acak-acakan,” tandasnya.
Tak bosan, ia mengingatkan, dengan semangat berjamaah peternak akan mampu bersaing. Bersatu dalam wadah seperti koperasi membentuk integrasi horizontal. Bila perlu, berkolaborasi dengan integrasi vertikal untuk pemenuhan pakan. Dengan begitu, capaian akhirnya integrasi horizontal dan vertikal berjalan berdampingan.
Selanjutnya, dukungan regulasi yang terklasifikasi. Yakni kebijakan khusus dan jelas untuk integrator vertikal dan horizontalsehingga tidak ada kebingungan tujuan kebijakan.
Senada dengan hal tersebut, Prof. Rachmat Pambudy, Tim Pakar Menteri Pertanian bidang Peternakan mengulas, regulasi bertujuan menyelesaikan masalah, bukan menambah masalah. Lalu, regulasi tersebut harus jelas untuk siapa dan yang paling penting manfaat dibentuknya regulasi.
Guru Besar Kewirausahaan FEM IPB University ini menggarisbawahi, perlu penentuan waktu yang tepat regulasi dikeluarkan dan bagaimana regulasi itu bisa dilaksanakan. Perlu juga instansi pelaksanaserta pengawal regulasi tersebut. Hal ini mengingat, terkadang tanpa regulasi hal-hal tertentu justru berjalan dengan baik.
Setelah peternak berkoperasi dan didukung regulasi, Muladno meyakini infrastruktur perunggasan dari hulu ke hilir perlu diperbaiki. “Bantuan teknologi ini mudah diterapkan, yang sulit itu membuat perubahan besar yang memerlukan mental. Tadinya individu sudah nyaman, sekarang jelas harus berubah,” ulasnya.
Belum Efisien, Tidak Akan Berkelanjutan
Sementara itu, Prof. Bungaran Saragih, Menteri Pertanian era Megawati Soekarnoputri berpendapat, kesenjangan dalam industri perunggasan nasional terjadi lantaran belum dibarengi pembangunan yang berkelanjutan dan tidak ada perubahan fundamental.
“Industri ayam kita experiencing growth with less sustainable development. Kalau tidak hati-hati, tidak akan lama lagi akan kesulitan,” wanti-wantinya.
Guru Besar IPB University ini mengibaratkan, industri unggas dalam negeri seperti bayi bertumbuh dewasa tapi strutuknya begitu lemah. Maka demikian, tak heran daya saing juga lemah. Ia pun menyayangkan, besarnya industri unggas lokal belum mampu membantu perbaikan gizi karena kasus stunting yang masih banyak.
“Kita sudah makin besar tapi masih selalu ada keributan (peternak mandiri) setiap season. Mana yang salah?” tanya Bungaran.
Ia mensinyalir, struktur agribisnis perunggasan tidak efisien mulai dari penunjang hulunya seperti industri pakan dan obat-obatan. Belum lagi rantai pasok hingga ke konsumen, banyak yang perlu diefisiensikan. Model agribisnis yang berlaku, nilai Bungaran, tidak banyak berbeda dengan zaman reformasi.
“Kalau kita masih kecil bahan baku impor tidak jadi soal. Tapi sudah besar bahan baku, masih impor dan harga ditentukan orang lain,” bahasnya.
Contoh Kemajuan Brasil
Sebagai informasi, omzet industri ini mencapai sekitar Rp500 triliun tiap tahunnya. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi bibit ayam (day old chick - DOC) diperkirakan menyentuh 3,5 miliar ekor dengan kebutuhan 2,7 miliar. Dengan kata lain, terdapat potensi surplus sebanyak 732 ribu ekor DOC yang setara dengan 837 ribu ton karkas.
Industri penunjang seperti pakan pada 2022 diprediksi tumbuh 20,4 juta ton dengan 90% merupakan pakan unggas. Sedangkan omzet bisnis obat hewan unggas, ditaksir mencapai Rp4,4 triliun pada 2022. Dengan besarnya keterlibatan tenaga kerja dan perputaran ekonomi yang besar, industri unggas nasional tidak berhenti berpolemik. Harga ayam hidup berfluktuasi di saat harga bahan baku dan produksi cenderung naik.
Belum lagi, Bungaran mengingatkan, tekanan akan impor tidak bisa dihindari lantaran permintaan akan juga meningkat. Untuk itu, kerja sama antara pengusaha, peternak, dan pemerintah jangan malah lemah. Kerja sama yang buruk dan tidak bersinerginya komponen agribisnis unggas adalah sumber inefisiensi dan lemahnya daya saing.
Dari sisi kebijakan, pemerintah harusnya bervisi jangka panjang dan konsisten membantu serta memperkuat daya saing. Jangan malah ujug-ujug terjadi perubahan kebijakan secara nasional dan tidak didiskusikansehingga membuat banyak pihak tidak siap.
Senada dengan Bungaran, Prof. Ali Agus, Guru Besar Fakultas Peternakan UGM menyebut industri unggas Indonesia terhitung besar namun perlu didorong. Selain pasar dan konsumsinya, investasi SDM dibutuhkan untuk meningkatkan indeks kompetitif Indonesia.
Impor ayam beku asal Brasil sejauh ini memang mampu ditahannamun di dalam negeri juga amat wajib berbenah. Ali malah mengatakan, Indonesia bisa belajar dari perunggasan Brasil, bukan Eropa atau Amerika.Dari sisi lingkungan dan iklim, Indonesia cenderung sama dengan Brasil.
“Industri mereka sangat kompetitif, kita bisa jadikan benchmark. Kunci suksesnya ada di investasi SDM, lahan, industri, inovasi dan teknologi, serta regulasi usaha,” detailnya.
Langkah Strategis dan Operasional
Secara strategi, setidaknya Muladno menyebut lima langkah untuk mencapai keberlanjutan bagi semua. Pertama, distribusi peran pemerintah dalam pembinaan perunggasan. Sebab, hal ini mesti jelas dan jangan diserahkan ke pemerintah pusat seluruhnya.
“Yang saya baca, unggas ini tidak ada anggaran khusus untuk pembinaan. Maka ini kita tata, pemerintah pusat untuk menangani perusahaan grand parent stock (GPS), pemprov untuk perusahan parent stock (PS), pemkab atau kota untuk koperasi produsen final stock (FS). Ini bagi-bagi tugas, selama ini 'kan belum tertata,” urainya.
Kedua, penyatuan semua asosiasi ayam broiler (pedaging) menjadi satu wadah yang kuat. Sebab kalau tidak bersatu,tidak akan bisa. Sejauh ini, pantaunya, asosiasi peternak ayam belum bersatu atau terlalu banyak.
Ketiga, pembentukan konsorsium perguruan tinggi untuk perunggasan. Di siniperguruan tinggi begerak sebagai institusi, bukan individu atau perorangan yang mewakili perguruan tinggi. Keempat, pendataan populasi ayam GPS, PS, dan FS.
“Ini sebenarnya hal yang mudah tetapi sampai sekarang masih belum dipercaya karena pelakunya atau yang menghitung satu sama lain tidak percaya. Masih ada krisis kepercayaan atau kredibilitas penghitungan,” beber penggagas sekolah peternakan rakyat (SPR) ini.
Kelima, peternakan kecil-kecil membentuk koperasi produsen di setiap kecamatan. Untuk itu, peternak jangan alergi dengan koperasi atau kolektif.
Sementara untuk langkah operasional, Muladno menyarankan pengkajian atau malah perbaikan peraturan dan kebijakan. “Kita pelajari model kemitraan bisnisnya sudah sesuai atau tidak. Sekarang yang jadi masalah bukan over suplainya tapi model bisnisnya sudah tidak benar. Raksasa dengan peternak mandiri sudah tidak cocok,” utaranya.
Tidak lupa, perlu konsolidasi dengan petani jagung. Tujuannya, agar benar-benar tahu ketersediaanbahan baku pakan. Ketika sudah terkonsolidasi petani jagungnyaberikut konsorsium perguruan tinggi dan peran pemerintah, akan tersaji data yang valid bukan kira-kira atau asumsi semata.
Langkah berikutnya, importasi great grand parent stock (GGPS) perlu juga dipikirkan supaya Indonesiajuga berdaulat. Kemudian, penyusunan strategi promosi konsumsi daging ayam melalui levy supaya rasa gotong royong tercipta.
Terakhir, pemetaan geo-ekonomi perunggasan di kepulauan Nusantara. Setidaknya, terdapat lima negara berdaulat yang dekat dengan Indonesia. Yakni Malaysia, Singapura, Brunai Darusalam, Papua Nugini, dan Timur Leste. Klaster ini harus dibuat di daerah kepulauan terdekat.
Muladno berpendapat, ekspor jangan melulu dari Jakarta tapi bisa dari daerah yang berdekatan langsung dengan negara-negara tetangga. “Itu harus dibangung supaya biaya lebih kompetitif,” pungkas Kepala Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan IPB University ini.
Try Surya Anditya