Foto: Dok. Sunu Purnomo
Dengan alat analisis tanah ini, kandungan hara tanah dan pH cepat diketahui
Ketika sumber daya alam kian menciut sementara kebutuhan pangan kian membesar, pilihan terbaiknya adalah mendongkak efisiensi dan produktivitas.
Badan Pusat Statistik (BPS) memperingatkan kita dalam rilisnya 1 Maret 2022. Produksi padi kita 2021 menurun 233 ribu ton. Luas panenpunberkurang 250 ribu ha. Sedangkan, kebutuhan pangan pasti meningkat terus. Apa yang bisa kita lakukan pada musim-musim tanam berikutnya?
Pertanian presisi yang menekankan pemanfaatan sumber daya secara optimal dan menekan kehilangan kian penting digencarkan. Kita bisa memulai dari tanah sebagai media tumbuh tanaman.
“Dokter Tanah”
Sudah banyak ahli ilmu tanah yang menyatakan tanah lahan pangan kita “sakit” karena kandungan bahan organiknya di bawah 3%. Salah satu penyebabnya adalah penggunaan pupuk kimia secara berlebihan.
Moh. Maksum, mantan Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Timur dalam sebuah acara tahun lalu bercerita, petani padi di wilayahnya memberikan pupuk sampai 1 ton/ha. Alasannya, mereka ingin mencapai produktivitas 8 ton/ha. Padahal,rekomendasi pemerintah paling banyak 500 kg, yaitu urea 200 kg, Phonska dan ZA 100 kg.
Badan Litbang Pertanian memberikan rekomendasi pemupukan pertiap kecamatan di Indonesia melalui aplikasi atau situs Kalender Tanam. Kondisi lahan yang tidak selalu homogenbisa menjadikanrekomendasi tersebut kurang tepat.
Seiring kemajuan teknologi informasi, kini ada “dokter tanah” yang pintar menganalisis kondisi hara di tanah dalam waktu beberapa menit saja. “Dokter tanah” bernama Jinawi ini mengukur kandungan N, P, K, dan nilai pH di tanah yang diuji.
Sesuai hasil analisis, alat ini kemudian mengeluarkan rekomendasi pemupukan sesuai komoditas, teknik budidaya, dan kondisi tanah. Sunu Purnomo dari Gapoktan Ngudi Mulyo di Desa Tangkisan, Kec. Tawangsari, Sukoharjo, Jateng mengungkapkan pengalamannya menggunakan piranti ini.
“Pemupukan jadi tepat jenis, tepat ukuran, tepat waktu. Biasanya,kami menggunakan urea untuk lahan 1.000 m2 sebanyak 25 kg dan fosfat 50 kg. Setelah pakai ini, urea hanya 12 kg, fosfat 15 kg. Memang irit. Tapi,penurunan dosis pupuk tergantung kondisi lahan setempat. Ada yang penurunannya 40%, 63%, tapi ada juga yang cuma 15%,” tuturnya saat dihubungi AGRINA.
Cara penggunaan alat buatan PT Mitra Sejahtera Membangun Bangsa (MSMB) tersebut juga mudah. “Kita hubungkan dengan bluetooth ke Hp. Lalu,kita colokkan sensornya ke lima titik di lahan. Dalam hitungan menit,sudah keluar hasilnya. Alat ini bisa dipindah ke mana-manadipetani yang butuh. Ini sangat membantu sekali bagi yang sudah tahu manfaatnya,” komentarnya dengan nada senang.
Duet Asam Humat dan Biostimulan
Adi Gunawan, Komisaris Utama PT Maxima Agro Internasional menawarkan solusi lain. Efisiensi penggunaan pupuk memang sangat relevan dengan harga pupuk nonsubsidi yang kini melambung. Namun, ia berpendapat, peningkatan produktivitas padi juga tak kalah pentingnya. Ini bisa diupayakan dengan kombinasi biostimulan dan asam humat (humic acid).
“Biostimulan tersebut dibuat dari ekstrak rumput laut sargassum. Fungsinya menaikkan efisiensi fotosintesis. Sedangkan,asam humat adalah bahan alamiah dari batuan lignit sebagai produk samping tambang batubara.
Manfaatnya, pertama, mengurangi pencucian atau kehilangan pupuk dengan mengikat unsur hara. Unsur hara yang terikat tidak mudah terbawa air dan tidak akan dijerap koloid tanah sehingga bisa diserap akar tanaman. Kedua, kapasitas tukar kationnya tinggi, mampu membongkar unsur-unsur hara yang terjerap di tanah sehingga menjadi tersedia bagi tanam,” jelas alumnus Faperta IPB University ini.
Menurutnya, produktivitas padi kita sudah cukup tinggi. Namun, “Cost-nya juga tinggi, jauh lebih mahal daripada Vietnam dan Thailand. Penyebabnya, skala usaha kecil-kecil dan pemakaian pupuk berlebihan.
Kenapa pemupukan seperti itu harus dilakukan petani? Karena bahan organiknya makin tipis, sangat jauh dari 1%. Petani diharapkan menggunakan bahan organik kompos tapi‘kansifatnya voluminous (banyak sekali). Biaya angkutnya dari tepi jalan ke sawah sangat mahal,” urai bapak yang lama bergelut di industri pestisida ini.
Naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 333 terbit Maret 2022. Dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di e-Agrina secara gratis atau berlangganan di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.