Foto: Pixabay
Panen dan pascapanen harus tepat untuk menurunkan kehilangan hasil
Lahan pangan terus menyusut tapi tuntutan produksi terus naik. Butuh cara yang lebih pintar dan efisien.
Pemenuhan kebutuhan akan pangan nasional, khususnya beras, semakin menantang. Hal tersebut paling tidak tampak dari catatan Badan Pusat Statistik (BPS) selama empat tahun terakhir, 2018-2021 (lihat Tabel Perkembangan Luas Panen, Produksi Gabah, dan Produktivitas). Sementara,produksi gabah dan produktivitas per hektar tidak bertambah secara signifikan. Padahal,jumlah mulut yang mau makan cenderung bertambah.
Lantas,apa yang bisa diupayakan pemerintah beserta segenap pemangku kepentingan tahun ini?
Ihwal Penurunan
Pada 1 Maret 2022 BPS merilis angka tetap luas panen dan produksi gabah 2020 dan 2021. Luas panen menyusut 250 ribu ha (2,3%) dari 10,66 juta ha menjadi 10,41 juta ha. Sementara,produksi gabah kering giling (GKG) juga berkurang 230 ribu ton (0,43%) dari 54,53 juta ton menjadi 54,42 juta ton. Akhirnya,produksi beras pun berkurang 0,45% menjadi 31,5 juta ton.
Menurut Setianto, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, penurunan tersebut disebabkan beberapa faktor. "Antara lain terjadi kemarau yang lebih tinggi pada bulan Agustus dan September 2021 dan bencana atau musibah banjir di awal tahun serta adanya erupsi gunung Semeru dan serangan hama di beberapa tempat," sebutnya.
Penurunan itu, menurut M. Ismail Wahab, disumbang oleh beberapa provinsi. “Ada perubahan iklim, lokasi sawah lahan rawa lebak pada Juni-Juli yang harusnya kering,masih banyak air sehingga tidak bisa tanam. Itu puluhan ribu hektar di daerah Sumsel dan Lampung. Jadi, banyak tanam jagung,” ujar Direktur Serealia, Ditjen Tanaman Pangan, Kementan saat diwawancara AGRINA di kantornya (1/3).
Kendati begitu,masih ada berita baik yaitu terjadi sedikit peningkatan produktivitas dari 51,28 kuintal/ha menjadi 52,26 kuintal/ha. Ismail yang pernah menjabat Kepala Balai Besar Penelitian Tanaman Padi itu memperkirakan, peningkatan produktivitas lantaran mulai maraknya penanaman varietas Inpari 32 dan Inpari 42. “Banyak daerah sentra fanatik pada Inpari 32 dan Inpari 42, ini signifikan. Kalau bisa rata-rata dapat 6 ton/ha berarti selisih satu ton atau setidaknya 0,5 ton saja,itu di Jawa saja sudah luar biasa,” ulasnya.
Produksi Naik 7,7%
Dalam rilis BPS itu, Setianto juga membagikan kabar baik. Untuk periode Januari-April 2022, produksi padi diperkirakan naik 7,7% atau setara 14,63 juta ton bila dibandingkan periode yang sama 2021 sebesar 13,58 juta ton.
"Angka tersebut kami hitung berdasarkan metode Kerangka Sampel Area. Hasilnya, potensi luas panen kita mencapai 4,81 juta ha atau naik 0,38 juta ha dibanding periode yang sama tahun lalu. Secara persentase ini kenaikannya mencapai 8,58%," ungkapnya.
Pola produksi padi di negara kita memang bertahun-tahun seperti itu. Periode Januari-April yang disebut subround pertama,hampir selalu menjadi tumpuan nasional karena sumbangannya paling besar ketimbang subround-subround berikutnya. Pasokan air yang cukup melimpah menjadikan lahan tadah hujan mampu memproduksi padi.
Suwandi, Dirjen Tanaman Pangan, Kementan dalam webinar Februari lalu mengungkap, tahun lalu ada penambahan luas tanam baru sebanyak 250 ribu ha di lahan tidur atau menganggur. Di samping itu,ada gerakan penanaman, bukan proyek pemerintah, setahun empat kali (IP 400) seluas 200 ribu hayang sebelumnya program ini dirintis Kementan seluas 10 ribu ha. IP 400 ini salah satu bentuk pelaksanaan Optimalisasi Peningkatan Indeks Pertanaman (OPIP).
Naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 333 terbit Maret 2022. Dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di e-Agrina secara gratis atau berlangganan di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.