Foto: ist.
Petani nasional hanya bertindak sebagai price taker dan bukan price maker
Jakarta (AGRINA-ONLINE.COM). Petani memiliki peransn penting dalam rantai pasok pangan. Namun, peran ini belum optimal tanpa dukungan regulasi, skema bantuan dan penyuluhan yang lebih efektif dan tertarget, serta penyediaan infrastruktur yang memadai.
”Realita yang terjadi di lapangan justru seringkali tidak menguntungkan petani. Petani tidak memiliki posisi tawar yang menguntungkan saat bertransaksi karena harga komoditas yang mereka hasilkan sangat bergantung pada pasar. Alhasil petani hanya bertindak sebagai price taker dan bukan price maker,” ujar Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, (18/2).
Ia menuturkan, selain dihadapkan pada biaya produksi pertanian yang semakin mahal sehingga menekan keuntungan yang bisa mereka dapatkan, petani juga kurang didukung infrastruktur yang optimal, seperti irigasi, jalan untuk distribusi, maupun sarana penyimpanan dan pengolahan.
Pangan perlu dipahami sebagai suatu sistem menyeluruh yang tidak hanya berhenti dengan panen namun juga membutuhkan proses pasca-panen yang memadai. Sarana penyimpanan dan pengolahan, seperti pengeringan biji kopi atau jagung juga mempengaruhi mutu atau cold chain untuk bahan pangan dengan siklus hidup pendek seperti buah-buahan.
Inefisiensi produksi juga melambungkan biaya produksi sehingga membebani petani. Penelitian CIPS menemukan beberapa faktor yang berkontribusi pada tingginya biaya produksi, seperti keterbatasan lahan, keterbatasan akses petani kepada asupan pertanian seperti benih bermutu dan pupuk.
Rata-rata lahan petani petani di Indonesia yang sebesar 0,6 hektar menyebabkan biaya produksi yang tinggi dan tidak efisien jika dibandingkan dengan bila menggarap lahan pertanian dalam skala yang lebih besar.
CIPS merekomendasikan beberapa langkah untuk meningkatkan kesejahteraan petani lewat input pertanian. Yang pertama adalah perlunya transisi dari mekanisme pupuk subsidi saat ini ke akses kepada direct payment (pembayaran langsung ke petani) untuk asupan pertanian.
Direct payment dapat menghilangkan disparitas harga karena subsidi, memberikan pilihan jenis input lebih banyak, menghindari perverse incentive dan menjadi insentif untuk pembelian sesuai kebutuhan optimal. Namun, bantuan direct payment ini juga perlu dilengkapi dengan ketentuan transisi dan phasing out.
Sementara itu, dukungan sisi pasokan asupan dapat dilakukan melalui pengembangan varietas unggul baru, relaksasi impor bahan baku pupuk/benih tetua/benih sumber. Selain itu, sektor pertanian juga membutuhkan investasi pada infrastruktur pendukung seperti jalan, listrik, saluran irigasi, internet, akses ke pelabuhan.
“Peningkatan kapasitas dan pengetahuan petani juga diperlukan melalui kegiatan penyuluhan, baik yang disediakan pemerintah maupun swasta,” tambahnya.
Selain itu, dibutuhkan tata kelola kelembagaan dan usaha petani (Poktan, P3A) yang lebih formal dan profesional, serta evaluasi bantuan input dan peralihan dukungan secara berkala terhadap penyediaan barang publik dan perlindungan sosial.
Try Surya A