Foto: - DOK EWSI
Aktivitas pertanian di perkotaan bisa menghasilkan pangan, penghijauan, dan pundi-pundi bila serius mengerjakannya.
Menyediakan pangan bagi 270 juta lebih penduduk Indonesia yang tumbuh 1,25% per tahun tentu tidak mudah. Prof. M. Syukur, Guru Besar IPB University dalam suatu webinar awal 2021mengatakan, 56% penduduk Indonesia bermukim di kota. Pada 2025 proporsinya akan meningkat jadi 60% dan 2050 menjadi 70%.
Pasokan pangan utama,seperti beras, gula, susu, dan sayuran bergantung pada Pulau Jawa, Sumsel, Lampung, dan Sulsel. Sementara lahan sawah makin menyusut, tapi lahan pekarangan (10,3 juta ha) dan lahan marginal (8 juta-10 juta ha) makin luas. Jadi, kata Syukur, mari manfaatkan lahan nonsawah ini untuk poduksi pangan dengan memendekkan rantai suplai pangan ke 56% penduduk di kota. Salah satu caranya melalui pertanian kota (urban farming).
Pada awal pandemi 2020, urban farming “ngehit” luar biasa terpicu banyaknya orang kantoran yang terpaksa bekerja di rumah (work from home-WFH). Mereka punya banyak waktu di rumah dan tidak bisa ke mana-mana. Sebagian dari mereka memanfaatkan waktu dengan berkebun, entah sekadar hobiatau melihat celah bisnis.
Ketahanan Pangan
Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Pertanian (DKPKP) Provinsi DKI Jakarta, Suharini Eliawati, membenarkan, aktivitas urban farming di wilayahnya meningkat pada masa pandemi. Hal ini sejalan dengan dorongan untuk meningkatkan konsumsi sayuran dan buah. Apalagi konsumsi sayuran per kapita kita masih rendah, 40 kg/orang/tahun di bawah standar FAO 72 kg/orang/tahun.
Ibu kota yang berpenduduk sekitar 10 juta jiwa ini 99% bahan pangannya berasal dari luar Jakarta. “DKI Jakarta melakukan mitigasi kebutuhan pangan sendiri dengan menyusun desain besar pertanian perkotaan yang akan diselesaikan sampai 2030. Terdapat ruang terbuka hijau di kompleks danpekarangan rumah warga. Sekitar 30% ruang terbuka hijau ditanami hortikultura sehingga 30% kebutuhan pangan dapat dipenuhi sendiri,” papar Suharini saat webinar “Urban Farming di Tengah Perubahan Iklim” (12/01).
Muslim, penggiat Komunitas Jakarta Berkebun mengamini, urban farming bagian dari ketahanan pangan keluarga bahkan lingkungan sekitar. Komunitasnyamengusung tagline 3E, yaitu edukasi, ekologi, dan ekonomi.
Edukasi, yaitu mengedukasi warga perkotaan untuk berkebun dan memanfaatkan pekarangan rumah agar dapat mencukupi kebutuhan hariannya masing-masing. Ekologi, menjadikan Jakarta lebih hijau dengan menanam di lingkungan dan ruang terbuka hijau. Ekonomi, mendorong urban farming sebagai tren berbudidaya yang menghasilkan perputaran ekonomi.
Contoh, “Penjualan pupuk dalam sebulan kurang lebih mencapai 10 ton. Kebutuhan pot juga demikian. Toko berkebun menjamur. Artinya, pertumbuhan ekonomi pesat berkat urban farming. Ekonominya berjalan dari kebutuhan kebun hingga penjualan hasil kebun meningkat pesat,” ulas Muslim.
Jadi Pundi
Merebaknya aktivitas urban farming membuat perusahaan saprodi, seperti benih, pot, pupuk, dan juga pebisnis sayuran segarketiban durian runtuh. Ridho Bilhaq, Business Development Manager PT East West Seed Indonesia, produsen benih hortikultura di Purwakarta, Jabar, mengungkapnyadalam webinar itu.
Mengutip lokadata, ia memperlihatkan, penjualan benih dan pot di market place (pasar daring) meningkat 1.000% pada periode 1 Januari–15 Maret 2020 (sebelum pandemi) ke 16 Maret-30 Juni 2020 (saat pandemi). Penjualan benih dan pot masing-masing 100 ribu unit menjadi 1,1 juta unit. Demikian pula penjualan sayuran segar membengkak 1.900%, dari 20 ribu unit jadi 400 ribu unit.
“Permintaan benih sangat meningkat. Dari2014 sampai sekarang kurang lebih meningkat 7 kali lipat karena urban farming didukung oleh program pemerintah pusat, daerah,dan swasta yang memperhatikan urban farming sebagai salah satu cara untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat,” terangnya tanpa mengungkap detail penjualan.
Naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 332 terbit Februari 2022. Dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di e-Agrina secara gratis atau berlangganan di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.