Foto: Ditjen PKH Kementan
Prognosis produksi dan kebutuhan telur ayam 2022
Industri perunggasan nasional masih memupuk asa meskipun dibayangi penurunan daya beli, pasokan dan permintaan tak seimbang, serta harga LB di bawah HPP.
Polemik belum seimbangnya pasokan (supply) dan permintaan (demand) industri perunggasan nasional tak kunjung berkesudahan. Anjloknya harga jual ayam hidup (livebird – LB) dari kandang-kandang peternak tidak diikuti murahnya harga ayam di tingkat end user. Konsumen tetap membeli ayam potong dengan harga yang tak murah di pasaran.
Panjangnya mata rantai tata niaga unggas bak benang kusut yang tidak pernah terluruskan. Pemerintah menyarankan kemitraan dan hilirisasi sebagai jalan keluar perbaikan.
Bermacam jalan diupayakan pemerintah bekerja sama dengan berbagai stakeholder terkait demi tujuan harga jual ayam hidup membaik. Hilirisasi dinilai menjadi sebuah keniscayaan dalam memotong panjangnya rantai penjualan dan mempertahankan kualitas daging sampai ke konsumen.
Efektivitas Pengendalian Pasokan
Rofi’i, Kepala Seksi Produksi Unggas, Subdit Unggas dan Aneka Ternak, Direktorat Pembibitan dan Produksi Ternak, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementerian Pertanian menuturkan, pasar ayam di dalam negeri mayoritas atau 80% beredar dalam bentuk hidup. Sementara itu, harga LB sangat dipengaruhi oleh volume suplai di kandang dan pangkalan ayam.
“Pola konsumsi masyarakat terhadap unggas masih besifat musiman, juga sangat rentan terhadap isu. Saat ini bisnis utama unggas adalah komoditas dalam bentuk LB dan karkas,” rincinya.
Upaya jangka pendek dalam menjaga keseimbangan supply dan demand yang dilakukan pemerintah melalui Ditjen PKH yakni melakukan pengaturan dan pengendalian produksi day old chicken final stock (DOC FS).
Pengendalian produksi dilakukan melalui afkir dini parent stock (PS) sebanyak 3,87 juta ekor, cutting (pemotongan) telur tetas fertil (hatching egg-HE) umur 19 hari sebesar 766,7 juta butir, dan penyerapan 75 juta ekor LB.
Pemerintah mengklaim, dampak dari kebijakan ini berkorelasi positif terhadap membaiknya pergerakan harga LB di tingkat peternak. Atau, harga jual berada di atas harga pokok produksi (HPP).
Berdasarkan catatan Pinsar Indonesia, Juli 2021 menjadi titik terendah harga jual ayam hidup. Periode ini merupakan berakhirnya masa perayaan hari besar keagamaan sehingga permintaan menurun. Kemudian, dibarengi juga dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4. Akibatnya, penyerapan pada sektor horeka (hotel, restoran, dan katering) menurun.
Nurul Ikhwan, Ketua Koperasi Peternak Milenial Jawa Barat mengatakan, harga jual LB pada pertengahan Desember 2021 berkisar Rp21 ribu – Rp22 ribu/kg. Namun, harga sapronak seperti pakan dan DOC ikut melonjak serta sulit didapat.
“Harga pakan sekitar Rp7.500 – Rp8.000/kg dan DOC ada Rp6.800 – Rp7.000/ekor. Paling murah dari Berdikari (BUMN) sekitar Rp5.500 karena mengikuti harga Kemendag,” bebernya kepada AGRINA (28/12).
Ia mengulas, saat ini HPP kelompoknya sebesar Rp19 ribu/kg. Bersama teman-temannya yang tergabung dalam koperasi, total populasi ayam pedaging (broiler) kurang-lebih 250 ribu ekor di kandang full closed house.
“SE (Surat Edaran) Dirjen PKH itu pengaruhnya juga ke harga DOC yang naik. Adanya cutting menandakan inputan pemerintah dua tahun lalu seperti tidak terhitung. Memang ada Covid-19 tapi artinya ayam yang beredar terlalu banyak di luar kontrol pemerintah,” bahas pemuda yang sebelumnya bergelut di produksi Grand Parent Stock (GPS) selama lima tahun ini.
Iwang, sapaan akrabnya, berpendapat, sebaiknya kuota impor GPS justru dibuka saja. Dari situ, ia meyakini, efisiensi juga akan tercipta akibat adanya persaingan dari hulu hingga hilir.
Harga Telur Ikut Tiarap
Tahun 2021 tidak hanya berimbas pahit bagi peternak broiler. Peternak ayam layer (petelur) turut babak belur di beberapa bulan terakhir tahun lalu. Harga telur pada September – Oktober 2021 di Jabodetabek, Jawa Barat, Jawa tengah, dan Blitar – Jawa Timur sekitar Rp15 ribu – Rp16 ribu/kg.
Rendahnya harga telur disinyalir karena berlebihnya produksi (oversupply) dan turunnya daya beli. Beberapa peternak pun panik sehingga menjual cepat telurnya untuk mendapatkan biaya dan membeli pakan yang harganya justru melangit. Pada saat yang bersamaan, bahan baku pakan yakni jagung yang mencapai 70%, mengalami polemik berulang yaitu kelangkaan.
Perdana Agusta, peternak ayam petelur di Payakumbuh, Sumatera Barat mengutarakan, harga telur mulai terkoreksi pada awal keberadaan Covid-19 di Tanah Air. “Jakarta menjadi acuan pasar nasional. Pasar domestiknya besar karena konsumsinya besar. Jadi ketika dibatasi dan harga turun, otomatis pasarnya jauh berkurang sehingga penyerapan tidak maksimal,” ungkapnya.
Dalam sehari, pria yang akrab disapa Agung ini mampu memasok sekitar 100 ton lebih telur ke pasar Jakarta. Ia mengakui, harga jual sempat turun ke Rp13 ribu/kg.
Naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 331 terbit Januari 2022. Dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di e-Agrina secara gratis atau berlangganan di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.