Foto: Dok. Pribadi
Closed house mini berkapasitas 8.000 ekor bisa bertahan 15-20 tahun
Penggunaan closed house dalam budidaya broiler menjadi keniscayaan. Namun untuk memodifikasinya, butuh keberanian.
Peternak mandiri ayam ras pedaging (broiler) harus mengejar efisiensi demi daya saing. Harga ayam hidup (live bird – LB) yang super fluktuatif mengharuskan peternak memutar otaknya agar tetap bisa meraup laba.
Ramadhana Dwi Putra Mandiri, Project Development Tri Group, peternakan broiler mandiri asal Bogor, Jawa Barat, berpendapat, pemanfaatan sistem kandang tertutup (closed house) menjadi upaya terakhir yang harus dilakukan peternak. Hal tersebut juga seiring dengan tuntutan genetik ayam broiler modern terhadap lingkungan hidup yang optimal.
“Potensi genetiknya berkembang, sudah tidak bisa lagi dengan cara biasa. Untuk mendapatkan performa, ini keniscayaan untuk berakselerasi dan survive,” ulas Direktur Tri Satya Mandiri tersebut.
Menyederhanakan Closed House
Umumnya, kandang closed house yang dibangun peternak berukuran standar 12m x120 m. Rama lalu membuat terobosan dengan kandang yang lebih ekonomis.Terobosannya ini tidak semata-mata hemat biaya.
Namun ia telah melalui banyak uji coba, menganalisis kinerja kandangbaru itu melibatkan 2 juta ekor ayam yang dipelihara di dalamnya, lalu melakukan pembaharuan metode. Kandang tertutup lebih sederhana ini menitikberatkan langsung ke manajemen anak kandang atau sumber daya manusia (SDM) pengelolanya.
“Ide awal menciptakan mini closed house juga dari melihat kondisi tanah di sekitar Bogor yang cenderung berbukit-bukit. Membutuhkan biaya besar untuk perataan tanah,” bahasnya.
Berdasarkan hasil eksperimen, praktisi peternakan kelahiran 1992 ini mendapatkan ukuran closed house mini sekitar 8mx62 m dengan populasi 8.000 ekor. Kandang ini ditopang dengan kapasitas listrik tidak lebih dari 15 kVA.
Jika di kandang besar berkapasitas 40ribuekor membutuhkan 3-4 orang sebagai operator, closed house mini hanya seorang saja. “Closed house itu besar biaya di listrik. Skala 8.000 ekor itu angka minimal, di bawah itu tidak efisien berdasarkan perhitungan kami. Secara biaya memang ditekan,tapi kembali lagi dari daya topang 30 m2. Populasi 8.000 ekor,kepadatan 1:16 ekor dengan ukuran 8m x62 m,” rincinya.
Menawarkan Solusi
Dari segi investasi, Rama membandingkan, closed house berukuran standar mampu menampung populasi 40ribuekor. Dengan biaya Rp70ribu/ekor, modal kerja Rp1,5 miliar, dan biaya kandang Rp3 miliar. Periode panennya sebanyak 5-6 kali per tahun.Sementara closed house mini berkapasitas 8.000 – 12.000 ekor biaya investasinya Rp65ribu/ekor, biaya kandang Rp500 juta. Namun siklus panennya bisa lebih banyak, mencapai 8 kali per tahun.
Hitungan dia, harga pokok produksi (HPP) ayam di closed house standar sebesar Rp16.134/kg, sementara yang di mini bisa lebih rendah, yakni Rp15.639/kg. Bandingkan dengan HPP di kandang terbuka yang berkisar Rp18 ribu – Rp20 ribu/kg hidup.
Selama masa pandemi seperti saat ini, imbuh Rama, peternak perlu berstrategi agar ayam tetap terjual semua. “Dengan cara ini, kita bisa antisipasi panen all in - all out dari kandang. Kalau di kandang besar kan sulit, kecuali memang perusahaan integrasi yang disalurkan ke RPA (Rumah Potong Ayam),” tutur pemuda jebolan Teknik Industri Universitas Indonesia ini.
Kelebihan lainnya, periode sanitasi atau pembersihan kandang hanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Selesai dicuci, kandang sudah siapuntuk siklus berikutnya. Berbeda dengan kandang besar, proses mengeluarkan pupuknyamakan waktu 5-7 hari.
Dari sisi pembangunan, kandang closed house besar, mulai dari land clearing hingga siap digunakan paling cepat 3-4 bulanbaru kelar. Sementara kandang tertutup mini, cukup 8 minggu terhitung dari posisi tanah rata siap hingga ke periode pemeliharaan pertama.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 328 terbit Oktober 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.