Sabtu, 2 Oktober 2021

Saatnya Peternak Merintis Integrasi Horizontal

Saatnya Peternak Merintis Integrasi Horizontal

Foto: Dok. GKA
Usaha sampai ke hilir akan membuat bisnis semakin efisien

Daya beli menurun, harga ayam hidup dan telur anjlok, bahan baku pakan malah naik. Bagaimana solusinya?
 
Akhir-akhir ini industri perunggasan di Tanah Air tengah menjadi sorotan. Bahkan, orang nomor satu di Indonesia turun tangan memanggil asosiasi peternak ayam broiler (pedaging) dan layer (petelur). Didampingi Menteri Perdagangan Muhammad Lufti dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Presiden Joko Widodo mendengarkan aspirasi langsung peternak di Istana Negara, Jakarta, Rabu (15/9).
 
Pemanggilan para peternak unggas ini diawali dari saat kunjungan Presiden Jokowi ke Blitar yang disambut bentangan poster oleh Suroto, peternak layer asal Blitar, 7 Agustus lalu. Di dalam aksinya, Suroto meminta Jokowi membantu peternak dalam pemenuhan kebutuhan jagung dengan harga wajar.
 
Di samping harga jagung yang sedang melambung, peternak layer juga menghadapi masalah merosotnya harga jual telur. Kelangkaan jagung di dalam negeri disinyalir menjadi penyebab harga jagung naik yang berimbas juga terkatrolnya harga pakan. Pun begitu kendala yang dihadapi peternak broiler, harga ayam hidup (live bird – LB) saat ini berada di bawah harga pokok produksi (HPP).
 
 
Permintaan Tak Imbangi Pasokan
 
Beberapa tahun terakhir, pasokan (supply) daging ayam dinilai berlebih ketimbang permintaan (demand). Hal ini didugamenjadi penyebab utama harga ayam hidup jadi kerap berfluktuasi. Datangnya pandemi covid-19 pada Maret tahun lalu, praktis mengurangi permintaan pangan sumber protein hewani asal unggas tersebut.
 
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian menargetkan konsumsi daging ayam nasional pada 2020 mencapai 12,79 kg/kapita/tahun. Alih-alih meningkat, angka konsumsi justru anjlok menjadi 9,08 kg/kapita/tahun. Konsumsi protein hewani asal unggas Indonesia memang masih jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia yang mencapai 38kg/kapita/tahun.
 
Achmad Dawami, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU) mengatakan, seharusnya pemerintah mengantisipasi permintaan dulu baru mengatur suplai. Sebab, selama ini jumlah permintaan (demand) tidak bisa terdeteksi, sementara pasokan selalu semaksimal mungkin disesuaikan oleh Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH).
 
Over supply juga bisa terjadi akibat lower demand. Tidak lain tidak bukan, gejolak bisa diatasi kalau sudah tercapai keseimbangan supply dan demand,” tutur Dawami.
 
Padahal, Dawami menyoroti, impor Grand Parent Stock (GPS) broiler dari tahun ke tahun hingga 2021 tidak berkembang atau menurun dari segi jumlah. Menurutnya, potensi ketersediaan bibit ayam umur sehari (day old chick– DOC) mencapai 3,7 miliar ekor. Namun, rendahnya permintaan membuat pasokan kembali harus disesuaikan.
 
Perusahaan pembibitan, ujarnya, sudah berinvestasi ratusan miliar bahkan triliun rupiah dalam skala nasional. Namun, afkir dini yang diperintahkan pemerintah, mau tidak mau mesti dilakukan demi menyelamatkan industri dalam negeri.
 
“Impor GPS ini kan hasilnya dua tahun kemudian. Penyesuaian ini harus dilakukan pemerintah, kalau tidak harga ayam makin hancur. Kalau semua hancur, jangan sampai malah impor,” tandas bapak yang sudah lebih dari 35 tahun berkecimpung di industri unggas tersebut.
 
Dari sisi peternak layer, sama seperti Suroto, Suwardi peternak asal Kendal, Jawa Tengah, mengutarakan, biaya produksi telur sangat mahal dibandingkan harga telur yang tengah anjlok. Belum lagi sulit dan mahalnya ketersediaan jagung membuat banyak rekannya sesama peternak petelur tumbang.
 
Saat ini, ungkap Suwardi, harga telur Rp13.500/kg di level peternak. Padahal, secara hitungan rumus, HPP telur saat ini Rp21.450/kg. Perhitungan ini, ia peroleh dari angka konversi pakan FCR 3,3 (FCR global) dikalikan dengan harga pakan Rp6.500/kg. Kondisi demikian membuat peternak amat merugi.
 
 “Selain itu terjadi penutupan(kebijakan PPKM, Red.)sehingga serapan telur yang biasanya cukup besar untuk horeka. Sekarang hanya mengandalkan serapan masyarakat yang daya belinya menurun,” ulas Ketua Pinsar Petelur Nasional (PPN) wilayah Kendal ini.
 
 
Mahalnya Bahan Baku Pakan
 
Saat ini, sebanyak 90% pakan produksi perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) merupakan pakan ayam. Desianto B. Utomo, Ketua Umum GPMT mengamini tengah terjadi kenaikan harga bahan baku pakan.
 
“Biaya produksi pakan per kg hampir 85% ditentukan oleh raw cost material (harga bahan baku). Bahan baku kita ada dari lokal dan juga ada yang dari impor,” beber Desianto.
 
Ia menjabarkan, untuk bahan baku impor seperti bungkil kedelai (soybean meal-SBM) dan tepung daging dan tulang (meat and bone meal- MBM) masih dikenakan PPN dan bea masuk impor. Berbeda dengan Malaysia dan Thailand yang malah mendapat subsidi pemerintahnya agar industri lokal mereka bisa lebih bersaing.
 
Desianto mengakui, tren harga SBM sedang mengalami kenaikan sebanyak 50% sejak April 2020 hingga Januari 2021. Pada Agustus 2021, harga mulai turun ke angka Rp7.200/kg, meskipun belum normal. Komposisi SBM dalam formulasi pakan digunakan sebanyak 25%.
 
 
 
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 328 terbit Oktober 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain