Foto: Dok. Barman
Cabai rawit dipilah agar sesuai standar pasar
Fluktuasi harga cabai yang sangat tajam sudah jamak terjadi, bahkan menjadi kisah klasik. Sampai kapan kita biarkan ini selalu berulang?
Bisnis budidaya cabai ibarat judi. Suatu saat petani mengantongi laba berlimpah sehingga mampu membeli mobil. Namun beberapa bulan kemudian petani itu terpaksa melepas kendaraannya untuk mendapatkan modal menanam cabai kembali karena merugi dalam jumlah besar.
Itu fakta yang diungkap Juhara, Ketua Champion Cabai Jawa Barat. Ia mengakui, faktor utama harga cabai meluncur bebas karena petani latah. Harga cabai rawit merah pada awal 2021 menyentuh Rp90 ribu/kg di tingkat konsumen sangat menggairahkan bagi petani.
Desember, Januari, Februari harga cabai tinggi, petani tanam semua. Stok pun melimpah sehingga akhir Agustus harga anjlok tinggal Rp4.000-Rp6.000/kg (cabai keriting) di tingkat petani Pangalengan, Bandung, Jabar. Sementara harga cabai rawit hanya Rp8.000/kg. Petani pun dirundung kerugian luar biasa.
“Contoh nyata, saya tanam cabai jual mobil, motor karena hidup harus berlanjut. Sedangkan tetangga saya tanam tomat bisa beli mobil karena harga tomat mahal, besok saya tanam tomat. Hampir semua petani pola pikirnya seperti ini. Kemarin tanam cabai modal habis tidak bisa lagi tanam, area tanam cabai berkurang akan mempengaruhi produksi, petani akan beralih tanam yang harganya mahal,” terang pemilik lahan 10 ha tersebut kepada AGRINA.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Cabai Indonesia (AACI) Abdul Hamid, harga cabai merosot tiga bulan lalu disebabkan tingginya produksi yang tidak terserap secara optimal. “Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mempengaruhi serapan pasar. Restoran buka waktunya dibatasi bahkan ada yang tutup, tidak ada acara pesta hingga serapan cabai sedikit,” katanya saat dihubungi AGRINA (29/9).
Soekam Parwadi, Direktur Pengembangan Agribisnis Pasar Komoditi Nasional (Paskomnas) menambahkan, harga rendah akibat tidak adanya pengiriman cabai ke Kalimantan. DiSumatera seperti Lampung, Padang, dan sekitarnya sedang panen sehingga produksi dari Jawa tidak terserap.
Alternatif Solusi
Untuk mencegah terjadinya siklus tahunan yang “pedas” tersebutberulang, menurut Juhara, Jawa Barat pernah menerapkan pola tanam yang terjadwal bagi masing-masing petani atau per wilayah. Namun, saat petani A tanam dan panen, harga jual tidak bagus, sedangkangiliran petani B tanam, mendapatkan harga lumayan.
Walhasil pola ini tersingkirkan. Sebenarnya penerapan pola tanam terjadwal sedikit membantu. Apalagi kalau pola tanam ini diterapkan secara nasional,dapat terlihat kebutuhan cabai di masing-masing wilayahdan bisa juga dilakukan budidaya di luar musim (off-season) pada bulan-bulan suplai tipis.
“Masalah dapat terpecahkan, antara kebutuhan seimbang dengan produksi dan fluktuasi tidak begitu tajam. Pola ini butuh kolaborasi atau bahkan aturan tertulis. Sementara di sisi petani memiliki ego, lahan miliknya, modal sendiri,apakah mau diatur? Saya dan teman-teman tetap mencari jalan terbaik permasalahan harga cabai,” cetus Juhara.
Soekam yang lama bergelut di pasar komoditas menawarkan solusi lain. Pertama, membentuk pasar induk di setiap kota besar. Pasar induk secara teknis bekerja sama dengan petani setempat dan memberikan kepercayaan bahwa petani siap menyuplai komoditas strategis sesuai angka yang ditetapkan. Cabai dipasarkan melalui kota besar karena kebutuhan dominan ada di pusat kota sehingga pasar induk sebagai pusat distribusi sangat dibutuhkan.
Kedua, pasar induk yang membawahi pasar-pasar kecil berperan sebagai stabilisator harga. “Pasar induk hanya untuk penjualan grosiran. Bagusnya,kota besar, kota sedang, atau kota kecil ada pasar induk,” katanya.
Penerapan skema kerja sama pasar induk dan petani harus jelas agar harga komoditas strategis, termasuk cabai, tidak melorot. Setiap daerah harus memiliki data kebutuhan masing-masing komoditas agar kebutuhan dan kapasitas pasarnyaterpenuhi. Misalnya, pasar Tangerang butuh cabai rawit merah 40-45 ton/hari.
Paskomnas Tangerang memasoknya dari petani Jawa Barat. “Garut 25 ton/hari, Sukabumi 5 ton/hari, kerja sama diterapkan secara masif. “Siapa saja yang ingin suplai, koperasi petanikah, gapoktan silakan, tapi harus kontinu dan sesuai kesepakatan,” kata Soekam.
Kemitraan Closed-LoopAgribisnis Hortikultura yang dirintis Kemenko Perekonomian juga diharapkan jadi alternatif solusi percabaian. “Dalam kemitraan closed-loop dibangun ekosistem rantai pasok dan rantai nilai dari hulu sampai hilir yang terintegrasi dan bersifat end to end model.
Petani diajari budidaya sesuai GAP dengan memperhatikan pola tanam, pola panen, penanganan pascapanen hingga distribusi dan pemasaran untuk menghasilkan produk berkualitas sesuai kebutuhan pasar. Program ini dilengkapi kemudahan akses permodalan serta kemudahan akses distribusi dan logistik,” ungkap Yuli Wilanti, Asisten Deputi Pangan dan Agribisnis, Kemenko Perekonomian.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 328 terbit Oktober 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.