Foto: Peni Sari Palupi
Budidaya di lahan rawan masih perlu perbaikan
Panen pertanaman musim penghujan menyumbang 60% produksi padi nasional. Perlu persiapan maksimal agar target tercapai.
Pada 2021, menurut Moh. Ismail Wahab, Direktur Serelia, Ditjen Tanaman Pangan Kementan, pemerintah membidik target produksi padi sebanyak 55,01 juta ton gabah kering giling (GKG) setara 35,21 juta ton beras. Berarti ada kenaikan 360 ribu ton dari pencapaian 2020 yang sebanyak54,65 juta ton. Strategi pencapaian target tersebut terdiri dari perluasan areal tanam baru, peningkatan indeks pertanaman(IP), dan peningkatan produktivitas.
Perkembangan luas tanam dan musim tanam padi secara nasional dapat dipantau lewat situs katam.litbang.pertanian.go.id. Sampai naskah ini diturunkan,masih ada 2,5 jutaanha pertanaman musim kemarau yang akan panen pada September-Oktober. Ada130 ribu ha lebih yang baru tanam sepanjang September. Sementara,penanaman musim penghujan (MH) paling cepat dimulai minggu ketiga September.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprakirakan sebagian besar (232 dari 342 zona musim) Indonesia memasuki musim penghujan pada Oktober dan November.Luas tanam MH diprediksi mencakup 6,870 juta ha dari lahan baku 7,463 juta ha.
Kawasan Sentra Poduksi
Salah satu program penting untuk mendapat tambahan produksi adalah pengembangan kawasan sentra produksi pangan yang dikenal dengan food estate. Lokasi pertamanyadi Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Kapuas,Kalteng.
“Secara umum program food estate menyasar 2 target, yaitu peningkatan luas tanam dan IP. KhususKalteng dari luasan 27 ribu ha telah diperoleh sekitar 108 ribu ton padi. Jika mengkomparasiproduksi sebelum ada kegiatan perwilayahan komoditas seperti pada program food estate, maka diperoleh peningkatanhasil 25%. Ini menjadi sinyal baik untuk terus berkonsentrasi pada cita-cita peningkatan produksi nasional,” ujar M. Ali Jamil, Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian yang merespon AGRINA secara tertulis (10/9).
Doktor Ilmu Tanah jebolan UPLB Filipina itu mengungkap evaluasinya. “Hasil panen musim kemarau (MK1)cukup baik dengan produktivitas 5-6 ton/ha dan mulai ada peningkatan IP. Upaya peningkatanproduktivitas terus dilakukan dengan mengurangi beragam kendala hingga gagal panen akibat berbagai faktor, seperti Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) dan iklim,” ulasnya.
Dukungan prasarana dan sarana pertanian sangat penting di Kalteng dengan kekhasan agroekosistem lahan rawa. Misalnya, karakteristik tanah cenderung masam, kandungan unsur hara rendah, dan pengaruh pasangsurut air dengan fluktuasi sedang sampai tinggi. Untuk itu pengembangan food estate perlu perbaikan sistem tata lahan termasuk kesuburan lahan dan tata air pada jaringan primer, sekunder, hingga tersier.
Food esate dilakukan melalui 2 pendekatan. Pertama, intensifikasi dengan pengolahan lahan lebih sempurna dan pemberian sarana produksi (saprodi) agar dicapai kondisi yang baik di lokasi dengan jaringan irigasi yang baik. Kedua, ekstensifikasi melalui penataan lahan dan pembangunan jaringan irigasi tingkat usaha tani untuk menyediakan infrastruktur yang belum memadai di lahan tersebut.
Hasil panen pada lokasi intensifikasi cukup memuaskan karena dukungan olahlahan dan saprodi dari pemerintah. Infrastruktur irigasinyamampu menjaga suplai air bagi tanaman sekaligus berfungsi sebagai drainase saat air berlebih. Penanaman padi oleh petani setempat pada dasarnya masih sesuai musim tanam.
Faktor-faktor alam yang mempengaruhi pertanaman juga masih sesuai kemampuan tanaman untuk tumbuh. Ditambah dukungan infrastruktur tata air yang mencukupi,tanaman berhasil tumbuh dengan baik, bisa dipanen,bahkan secara kumulatif produksinya meningkat.
Pupuk Bersubsidi
Untuk berproduksi dengan baik, petani memerlukan dukungan saprodi yang memenuhi 6 tepat, yaitu tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, dan mutu. Pupuk subsidi termasuk sarana yang sangat diharapkan kebanyakan petani. Namun,tidak semua petani mendapatkan alokasi pupuk bersubsidi sesuai usulan mereka yang termuat dalam Rancangan Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK). Hal ini tak terlepas dari terbatasnya anggaran pemerintah.
Prof. Dr. Bustanul Arifin, MSc, Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mencermati, kesenjangan antara e-RDKK dan alokasi sudah terjadi cukup lama. Dalam enam tahun terakhir, rata-rata alokasi berjumlah 60,71% (Lihat: Tabel Gap Usulan e-RDKK dan Alokasi Pupuk Bersubsidi).
Pada acara Food and Agriculture Summit yang digelar Himpunan Alumni IPB Universitysecara virtual 3-5 Agustus silam, dia memperlihatkan alokasi pupuk dengan skenarioharga gas tetap dan harga gas turun. Dengan anggaran Rp25.280.597,bila harga gas tetap, pemerintah bisa menjatah 9,04 juta ton pupuk. Kalau harga gas turun, jumlah pupuk meningkat menjadi 13,57 juta ton.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 327 terbit September 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.