Foto: Dok. Pribadi
Dinda Suryo - Pemilik brand Raja Dinar Nusantara ini melayani pasar dengan sistem pesan (purchase order-PO)
Rumah potong dan resto menjadi solusi logis untuk meredam imbas fluktuasi harga ayam hidup.
Para peternak yang menjual ayam hidup (live bird) kerap terancam keberlangsungan usahanya akibat harga jual di bawah harga pokok produksi (HPP)dalam waktu lama. Berani berinvestasi di rumah potong dan membuka gerai makanan berbahan baku ayam menawarkan peluang “cuan” lebih stabil. Berikut dua pelaku usaha yang meraih keuntungan dengan bermain di hilir perunggasan.
Dinda Suryo, Pemilik PT Raja Dinar Nusantara
Tukang Ayam yang Mencoba “Sophisticated”
Bersama suaminya, mantan pegawai bank ini mendirikan rumah potong hewan unggas (RPHU) atau lebih familiar disebut rumah potong ayam (RPA), di Parung, Kab. Bogor, Jabar, pada 2017. Roy Saputra, sang suami, adalah peternak ayam pedaging (broiler). Pada 2014, populasi ayamnya mencapai 50 ribu – 100 ribu ekor per siklus.
Kebingungan memasarkan ayam, mereka lalu mencoba memotong dan menjual karkas ayam di lapak sendiri di Pasar Cimanggis, Kota Tangerang, Banten, pada akhir 2016. Hasilnya menggembirakan. Order pun bertambah banyak sehingga mereka menyewa lapak yang lebih besar lagi. Agar bisa fokus ke bisnis, mereka berhenti bekerja kantoran.
“Pada 2018 akhir kita juga memutuskan untuk konsentrasi 100% di RPA karena risiko lebih bisa diukur. Farm komersilnya kita sewain, dikelola oleh pihak lain, tapi hasilnya tetap kami ambil. Bisnis RPA risiko lebih bisa diukur ketimbang ternak ayamnya,” tutur Master of Finance, Griffith University, Australia, ini.
Kapasitas potong maksimum RPA tersebut 40 ton/hari atau 10 truk ayam hidup setara 1.500 ekor/jam tetapi saat ini baru mampu 25 ton dengan 12 jam operasi. Sementara kapasitas penyimpananbekunya (cold-storage) sebanyak 70 ton.
Dinda mengakui awalnya menghadapi kesulitan dalam mencari celah pasar yang tepat. Setelah melalui trial and error dan berupaya menjaga kualitas produknya, ia kini mampu melayani banyak segmen.
Produk utamanya daging tanpa tulang merambah horeka (hotel, restoran, katering), rumah sakit, pasar tradisional, pabrik pengolahan ayam (bakso, sosis), sekolah, hingga pasar di luar Jawa, yaitu Kalimantan dan Sumatera.
Untuk itu, ia menggunakan bahan baku ayam hidup berukuran di atas 2 kg/ekor. Pesanan khusus ukuran di bawah 2 kg tetap dilayani dengan volume minimal 5-8 ton.
Pemilik brand Raja Dinar Nusantara ini melayani pasar dengan sistem pesan (purchase order-PO). “Kita jualan dulu karena nggak ada duit. Ayam itu rentan jadi hijau, rentan penyusutan, penyusutan itu akan jadi biaya. Sementara ini perputaran harus cepat. Jadi, yang disimpan itu untuk yang memang sudah PO,” ujarnya sembari tertawa.
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 325 terbit Juli 2021 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.