Selasa, 2 Maret 2021

Upaya Efisiensi Harga Beras

Upaya Efisiensi Harga Beras

Foto: Windi Listianingsih
M. Husein Sawit, pemerintah harus perhatian pada industri penggilingan padi

Kerugian ekonomiakibat kehilangan hasil panen senilai 15,4 triliun/tahundengan volume 2,8 juta ton GKG/tahun.
 
Harga beras di Indonesia terkenal mahal se-Asia Tenggara. Menurut Data Bank Dunia (World Bank), sepanjang Januari 2012 – Oktober 2020 harga beras di Indonesia berkisar US$0,9 – US$1,2/kg, jauh di atas harga beras di Vietnam, Kamboja, Myanmar, Thailand, dan Filipina.
 
Harga beras di Vietnam, Kamboja, Myanmar, dan Thailand di bawah US$0,6/kg sedangkan Vietnam kurang dari US$0,9/kg.
 
Bahkan, harga beras Indonesia dalam 10 tahun terakhir stabil meninggi daripada harga internasional. Harga beras lokal Rp6.000 – Rp12.000/kg pada 2010-2019 sedangkan harga internasional stabil di angka Rp4.000 – Rp6.000/kg.
 
 
Lembaga Parastatal
 
Dalam diskusi “Meninjau Rantai Pasok Beras di Indonesia dan Peran Bulog”, M. Husein Sawit, Pendiri House of Rice membedah penyebab harga beras di Indonesia tertinggi se-ASEAN. Ada beberapa kemungkinan harga beras mahal.
 
Pertama, karena harga gabah mahal atau inefisiensi biaya produksi. Kedua, tingginya biaya pemasaran. Ketiga, gabungan harga gabah dan biaya pemasaran penyebab inefisiensi.
 
“Efisiensi pemasaran terkait biaya pemasaran dan margin pemasaran. Kalau ingin mengurangi biaya pemasaran, harus tahu dulu di mana, apanya yang harus dikurangi. Itu target kebijakan mendatang supaya biaya pemasaran lebih rendahhingga harga yang diterima konsumen lebih rendah, harga (gabah) yang diterima petani lebih tinggi,” ulasnya Kamis (25/2).
 
Husein menjelaskan, negara ASEAN lainnya juga punya lembaga parastatal seperti Bulog dengan berbagai modivikasi. Misalnya, NFAdi Filipina, Kamboja dengan GreenTrandeCo, Thailand ada Public Warehouse Organization, dan Vietnam ada Vinafood Idan VinafoodII. Lembaga ini memiliki tujuan serupa, yaitu menstabilkan harga, menjaga cadangan nasional, dan pengadaan.
 
“Apakah didukung sepenuhnya oleh pemerintah atau memakai dana komersial seperti Bulog, itu lain lagi. Di negara lain kalau ada tugas publik, itu pemerintah, masuk di APBN,” terangnya. Karena itu, ia berpandangan, tidak bisa langsung menyalahkan lembaga parastatal sebagai penyebab tingginya harga beras.
 
 
Rantai Pasok
 
Menurut Felippe Amanta, Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), banyak faktor yang membuat harga beras mahal, mulai dari hulu, hilir, hingga rantai distribusi. “Salah satu yang sering menjadi sorotan adalah rantai pasok,” katanya. 
 
Rantai pasok beras di Indonesia secara garis besar, ulasnya, petani menjual beras ke tengkulak dan tengkulak menyalurkan ke penggiling padi. Dari situ beras dijual ke penjual grosir lalu penjual ritel hingga sampai ke konsumen.
 
“Struktur pasar sangat unik. Dari petani ke tengkulak ke penggiling padi, struktur pasarnya adalah oligopsoni,” jelasnya. Yaitu, terdapat banyak sekali petani tapi ada sedikit tengkulak dan lebih sedikit lagi penggilingan padi.
 
“Secara umum petani harus mengambil harga yang ditetapkan tengkulak maupun penggilingan padi. Di banyak kasus ijon sering terjadi juga. Sehingga, petani dan tengkulak sudah membuat semacam kontrak. Petani sudah menjual berasnya lebih dulu bahkan diberi uang muka untuk membeli alat, sarana produksi, dan tengkulak akan membantu panen” paparnya.   
 
Sistem pasar berubah jadi oligopoli di penggilingan padi.  Yakni, ada sedikit penjual grosir tapi banyak sekali penjual ritel yang terdiri dari pasar tradisional, toko kelontong, minimarket, supermarket, dan lainnya.
 
Secara detail, rantai pasok beras berbeda di setiap provinsi. “Ada yang dari petani langsung ke ritel. Dari petani langsung ke penggiling, atau ada ritel supermarket yang langsung mengambil ke petani,” tuturnya.
 
Setiap aktor pasar mengambil peran penting dan menghadapi tantangan yang unik. Felippe mengaku kesulitan menghitung kontribusi setiap aktor dalam biaya transaksi.
 
“Namun kalau dihitung, rantai pasok ini tentunya akan berkontribusi ke biaya transaksi baik dari sisi distirbusi maupun logistik, juga profit margin di setiap level yang akhirnya berpengaruh ke harga konsumen,” tukasnya.
 
 
Inefisiensi
 
Husein menganalisis harga gabah dan beras IR1 dan IR3 di tingkat grosirberdasarkan data BPS dan Pasar Induk Cipinang, Jakarta. “Dalam 5 tahun terakhir harga gabah dan beras tertekan.
 
Pertumbuhan harga GKP(gabah kering panen)petani itu -0,4. Harga IR1 masih 0,1%danIR3 kualitas medium itu 0,07%. Jadi, harga sudah menurun tetapi itu akan menekan GKP petani. Turunnya itu ada kaitannya dengan kebijakan pemerintah, salah satunya satgas pangan,” urainya.
 
Merujuk riset IRRI 2013-2014, biaya pemasaran beras Indonesia tertinggi, Rp1.295/kg, ketimbang di Filipina, Thailand, dan Vietnam. Di Filipina hanya Rp1.206/kg, Thailand Rp710/kg, dan Vietnam Rp980/kg.
 
“Yang mahal di pengeringan, transportasi, penyimpanan, dan modal kerja. Mahal inilah cara kita mengetahui di mana kita harus intervensi agar efisien,” tegasnya.
 
Doktor bidang Ekonomi lulusan University of Wollongong, Australia itu menguraikan, pengeringan, penyimpanan, dan modal kerja sangat terkait penggilingan padi. Penggilingan padi lokal banyak mengandalkan matahari, hanya 20% memakai dryer (pengering).
 
Penyimpanan masih tradisionalsehingga banyak kehilangan hasil. Ditambah, modal kerja dari bank tidak mendukung. Akibat besarnya biaya pemasaran, penerimaan (return above cost, ROC) rendah, Rp164/kg. ROC negara lain cukup tinggi, Filipina Rp1.149/kg, Thailand Rp660/kg, dan Vietnam Rp203/kg.
 
Ia menambahkan, pangsa pemasaran beras di Indonesia 5 tahun terakhir berkisar 70% dan bagian yang diterima petani (farmer’s share) 30%. Untuk mensejahterakan petani, sarannya, harus menekan pangsa pasar agar pangsa petani lebih besar.
 
 
Kerugian Ekonomi
 
Husein menelisik kehilangan hasil panen di penggilingan. Ia meriset kehilangan hasil (losses) pada 2018-2019 di pengeringan sebesar 3,27%, penggilingan 3%, dan rendemen 2,98%. Kehilangan hasil ini adalah kerugian ekonomisenilai 15,4 triliun/tahundengan volume 2,8 juta ton gabah kering giling (GKG)per tahun.
 
Sebanyak 80% kehilangan hasil dari penggilingan padi kecilyang setara 2,2 juta ton GKG/tahun. “Kerugian ekonomi terbesar disumbangkan penggilingan padi kecil yang tidak lengkap alat dan mesinnya. Ini mencapai Rp12,32 triliun/tahun,” katanya yang menyebut pasar beras di Indonesia secara makro lebih mendekati pasar persaingan daripada oligopoli.
 
Ia menilai, 20 tahun terakhir ini tidak banyak perubahan dalam pemasaran beras, khususnya penggilingan. “Ke depan bagaimana membuat biaya pemasaranberas ditekan terutama denganmemberi perhatian pada industri penggilingan padiagar mampu mengurangi loss, perbaikan kualitas. Pemerintah harus mampu mengintegrasi penggilingan besar denganpenggilingan kecildan jangan lepaskan ke mekanisme pasar juga dalam merebut gabah,” tandasnya.
 
 
 
Windi Listianingsih

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain