Selasa, 2 Maret 2021

Debu pun Tak Terbang Sia-sia

Debu pun Tak Terbang Sia-sia

Foto: Peni Sari Palupi
Sneaker ini mengandung biosilika di solnya

Pengolahan padi tak hanya memproduksi beras. Banyak hasil ikutannya yang bisa diuangkan.


Selama ini kita kenal kelapa atau kelapa sawit sebagai tanaman yang semua bagiannya bermanfaat. Namun sebenarnya padi juga demikian. Mulai dari jerami, kotoran, sekam, bekatul, sampai debu-debu yang keluar dari mesin pengolah gabah memberi manfaat. 
 
Bahkan, Dirjen Tanaman Pangan, Kementan, Suwandi, dalam suatu webinar “Memperkuat Kemitraan Perberasan Ngawi” beberapa waktu lalu menyebut ada 34 produk bioindustri padi dan ikutannya.

Begitu padi dipanen, jeraminya bisa ditinggal sebagian di sawah dan sebagian lagi diangkut keluar lahan untuk diolah menjadi produk ikutan.
 
Saat ini belum banyak yang mengolah jerami padi. Paling-paling dibakar, dionggokkan begitu saja, dikomposkan, disajikan sebagai pakan sapi, atau dimanfaatkan sebagai media tanam jamur. Padahal masih ada peluang lain yang bisa digarap.


Mulai Jerami Hingga Debu

Ada kekhawatiran sawah akan berkurang kesuburannya bila para petani mengangkut jerami padi diangkut keluar lahan. Namun, menurut Dr. Ir. Ridwan Rachmat, M.Agr., “Ada semacam neraca jerami. Kita ambil 30% saja. Sisanya bisa 40%-50% ditinggal di sawah. Yang 20% diolah jadi media tanam jamur dan pakan sapi.”

Peneliti teknologi pascapanen di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB Pascapanen) itu menyebutkan, sekarang sedang dikembangkan konsep pemanfaatan jerami yang sekitar 30% tersebut.
 
“Jerami itu diproses jadi biopellet. Lalu biopellet dibakar (sebagai bahan bakar, Red.) kemudian abunya dikembalikan ke sawah. Konsep ini masih dalam proses,” ungkap alumnus S1 Prodi Keteknikan Pertanian, IPB University, Bogor, 1983, ini.

Jerami juga berpotensi menjadi biofoam untuk menggantikan styrofoam yang selama ini digunakan sebagai tatakan gelas, wadah makanan, piring camilan, dan gelas sekali pakai. Biofoam ini relatif lebih ramah lingkungan karena lebih cepat terurai di alam.

Di pabrik penggilingan beras (rice milling unit-RMU) skala besar, menurut H. Paiman, gabah kering panen (GKP) dari petani dan pedagang masuk dulu ke mesin pre cleaner.
 
“Gabah diayak dihilangkan sampah kasarnya berupa batang jerami, daun, dan lain-lain. Kemudian masuk ke mesin fine cleaner untuk dibuang sampah halusnya dengan blower. Harusnya sampah ini dibuat silase dengan fermentasi untuk pakan sapi. Cuma, saya nggak punya tanahnya, nggak punya modal juga. Akhirnya hanya buat nguruk saja, diambil warga sekitar,” ungkapnya.

Gabah kemudian masuk ke mesin pengering (dryer) menjadi gabah kering giling (GKG) barulah masuk ke proses penggilingan. Mulai dari pemecah kulit (husker), lalu ke separator. Keluarannya adalah beras pecah kulit dan sekam.

“Selain untuk bahan bakar dryer, sekam saya olah dengan mesin hammer mill menghasilkan tepung sekam dan debu yang lembut sekali. Tepung sekam ini untuk campuran pakan ternak, alas kandang ayam, sumber energi paling murah untuk bahan bakar pembuatan bata. Pabrik baja seluruh Indonesia juga selalu menggunakan sekam untuk menutupi cairan baja yang suhunya 1.600oC supaya tidak terkontaminasi udara,” terang mantan karyawan pabrik baja itu.

Paiman melanjutkan, sekam diperlukan pabrik semen untuk dicampur dengan batubara sebagai sumber energi agar emisi gas buangnya bisa ditekan. Penggilingan sekam juga menghasilkan debu yang diperlukan pabrik lem sebagai bahan kayu. “Dan yang jelas, sekam adalah sumber energi terbarukan (EBT) yang bakal jadi rebutan seperti di Jepang yang melarang penggunaan batubara untuk pembangkit listrik pada 2030,” urainya panjang lebar.

Masih soal sekam, Ridwan memaparkan, arang sekam bisa dibuat briket. Arang sekam ini bisa pula diambil silikanya dijadikan biosilika yang mengandung SiO2. “Biosilika itu aktivator tanah dan penyubur tanaman. Ada yang cair, ada yang serbuk. Sekarang tren penggunaan turunan silika untuk antikempal tepung. BB Pascapanen juga sudah bekerja sama dengan pabrik sepatu yang memanfaatkan biosilika serbuk sebagai pengisi sol untuk meningkatkan keamanan dan kenyamanan pemakai sepatu sneaker.  Kami sedang penjajakan dengan pihak swasta dalam memanfaatkan biosilika untuk campuran rol karet di mesin pemecah gabah,”ulasnya.

Pembakaran sekam pun menghasilkan asap yang mengandung silika. Asap ditangkap bisa dijadikan pupuk cair dengan formulasi tertentu.


Potensi Bekatul

Beras pecah kulit  diproses dengan mesin pemoles (polisher) menghasilkan beras dan dedak bercampur bekatul. Di RMU besar, pemolesnya ada yang bekerja mengalirkan air dan meniup (mist polisher) sehingga berasnya bersih dan bening.
 
Beras ini selanjutnya mengalir ke mesin pemisah warna (color sorter). Yang tidak putih dipisahkan dan yang putih dilanjut ke pemisah butiran (grader). Dari sinilah terbentuk beras utuh (beras kepala), broken (beras patah), dan menir. Beras premium mengandung beras utuh 85% ke atas.

Produk samping dedak dan bekatul (dedak halus) dari RMU tidak semua dijual. “Dedak jelas laku keras bahkan sampai booking. Mereka panjer uang muka. Dedak pasarannya Rp2.500-Rp3.000/kg,” ujar Ridwan.

Menurut alumnus S2 Kyoto, University dan S3 Mie University, Jepang tersebut, bekatul berpotensi diolah menjadi minyak bekatul (rice bran oil-RBO). Situs Tridge.com memasukkan Indonesia dalam 20 importir RBO dengan volume 15,85 ribu ton senilai US$3,55 juta.
 
Volume dan nilai ini naik terus dalam tiga tahun, 2016-2019. Di Indonesia, khususnya lapak digital, RBO dipasarkan sebagai minyak goreng sehat yang dibanderol Rp60 ribu-Rp70 ribu/l dan juga dijual sebagai serum wajah awet muda, Rp20 ribu/100 ml.  

Kendati potensinya besar, lanjut Ridwan, kita sudah bisa membuat RBO tetapi belum menemukan teknologi ekstraksi yang efisien. Minyak yang baru didapat hanya 5-6% saja. Sementara di Jepang bisa 8-10%.
 
Sejauh ini, peneliti BB Pascapanen sudah menghasilkan inovasi pengolahan bekatul menjadi bekatul awet dan kue bekatul. Padahal ribus.com di Amerika Serikat mampu menyulap bekatul jadi berbagai produk mahal. Yuk, terus bersemangat para peneliti Indonesia!



Peni Sari Palupi, Sabrina Yuniawati, Selo Sumarsono

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain