Foto: DOK. AGRINA
Nasrullah akui oversupply menjadi penyebab ketidakstabilan harga unggas hidup (LB)
Jakarta (AGRINA-ONLINE.COM). Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian melakukan pengendalian produksi DOC FS lewat cutting HE fertil dan afkir dini PS. Hal ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan supply dan demand ayam hidup (Live Bird - LB). Petugas Informasi Pasar (PIP) mencatat, perkembangan harga LB periode September - November 2020 mengalami tren kenaikan 9,45% rata-rata nasional.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan, Nasrullah menjelaskan, rata-rata harga LB bulanan tingkat peternak pada September adalah Rp17.124/kg, Oktober Rp17.984/kg dan November 2020 Rp20.479/kg.
“Memasuki awal Desember 2020, harga LB di wilayah Pulau Jawa berulang mengalami kontraksi, dari Rp19.500/kg berangsur turun sampai level harga Rp16.500/kg. Kemudian kembali bergerak naik menjadi Rp17.500-Rp19.000 dalam 3 hari terakhir,” ulas Dirjen.
Kenaikan harga LB mencapai harga acuan Permendag No. 7/2020, terpantau berpengaruh terhadap kenaikan permintaan DOC FS dan hal ini diikuti dengan naiknya harga DOC FS dari Rp5.000 menjadi Rp6.500/ekor.
"Untuk melindungi kepentingan peternak UMKM (rakyat), setiap perusahaan pembibit harus memprioritaskan distribusi DOC FS untuk eksternal farm 50% dari produksinya dengan harga terjangkau sesuai harga acuan Permendag yaitu Rp5.500-6.000 per ekor," jelas Nasrullah.
Nasrullah menyampaikan, penyebab ketidakstabilan harga unggas hidup (LB) karena memang ada oversupply, yang disebabkan dari jumlah impor GPS yang terlampau besar di 2 tahun sebelumnya (mencapai sekitar 744 ribu, sedangkan normalnya di kisaran 600 ribu).
Terlebih, bahas Nasrullah, di masa pandemi demand juga menurun saat diberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Restoran, hotel, dan bisnis catering tutup, serta event-event besar ditunda, sehingga menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) demand turun mencapai 40%.
Mengatasi hal tersebut, Ditjen PKH Kementan sejak Agustus 2020 telah mengeluarkan Surat Edaran untuk pemotongan supply, berupa cutting hatching egg dan afkir PS, yang reguler maupun afkir dini.
Dalam jangka pendek, harga sudah mulai membaik. Ini efektif karena sekarang pengeluaran Surat Edaran diikuti dengan ketegasan pemerintah dalam pelaksanaannya.
Ia menyampaikan, pengetatan aturan dan regulasi ini lantaran Ditjen PKH Kementan sadar, bahwa kalau ada situasi oversupply, perlu dilakukan pemotongan sampai harga membaik.
Ia menambahkan, adapun regulasi yang disiapkan untuk jangka panjang, misalnya Revisi Permentan No 32 yang akan diperbaiki secara sistemik, baik dari hulu sampai ke hilir. Di hulu, yang akan dilakukan pbatasan angka kuota impor GPS sesuai dengan perhitungan, sehingga tidak berlebih. Lalu, mengatur secara jelas kriteria persyaratan untuk mendapatkan alokasi kuota impor GPS.
Untuk hilir, akan dilakukan dorongan pertumbuhan Rumah Potong Hewan Unggas (RPHU) dan fasilitas rantai dingin, sehingga dapat diandalkan untuk menjaga harga. Kemudian, memastikan RPHU yang dibangun sesuai dengan ketentuan persyaratan Undang-Undang Kesehatan Masyarakat dan Veteriner.
Pemerintah juga berupaya menjaga kestabilan supply and demand atam ras di tingkat peternak mandiri/perusahaan melalui Revisi Permentan 32/2017. Pengaturan supply dan demand diharapkan mempermudah kemampuan telusur (traceability).
Misalnya, pembibit GPS dan Pembibit PS wajib teregistrasi di Ditjen PKH, peternak dan pelaku usaha pembudidaya FS komersial wajib teregistrasi di Dinas Kabupaten/Kota, lalu pembibit GPS wajib menyediakan DOC PS dengan porsi maksimal 25% dari produksi dengan harga terjangkau sesuai Permendag dan sesuai SNI.
Selain itu, perlindungan terhadap peternak skala mikro, kecil dan menengah (UMKM) juga diperhatikan. Pembibit wajib menyediakan DOC FS dengan porsi minimal 50% dari produksi dengan harga terjangkau sesuai Permendag dan SNI. Kewajiban menyerap livebird dan memotong livebird di RPHU oleh perusahaan pembibit GPS sebesar produksi FS hasil turunan GPS secara bertahap selama 3 tahun.
Kemudian, ada kewajiban memotong livebird bagi pelaku usaha skala menengah besar kewajiban penguasaan RPHU dan rantai dingin (blast freezer, cold storage dan mobil berpendingin) oleh pembibit GPS sebesar produksi hasil turunan GPS nya secara bertahap selama 3 tahun (40%-70%-100%).
Penetapan DOC PS dan FS sebagai sarana produksi yang diatur peredarannya untuk daging ayam sebagai bahan pokok penting (Bapokting).
Untuk itu, adapun kebijakan yang akan mendukungnya, yaitu Revisi Permentan Nomor 32 Tahun 2017. Kewajiban pelaku memiliki RPHU dan cold storage dengan kapasitas mencapai 100% dari produksi FS (livebird) secara bertahap selama 3 tahun dan mengacu market share.
Implementasi kemitraan juga wajib sesuai dengan Permentan 13 Tahun 2017. Harapannya, optimalisasi Satgas Kemitraan bersama dengan KPPU dalam melakukan pengawasan pelaksanaan kemitraan bisa sesuai prinsip saling menguntungkan, ketergantungan dan berkeadilan.
Try Surya A