Rabu, 2 Desember 2020

Giliran Lampung “Demam” Porang

Giliran Lampung “Demam” Porang

Foto: Syafnijal Datuk Sinaro
Petani di Lampung antusias menanam pornag karena harga umbinya tinggi

Produsen porang baru memenuhi 10% kebutuhan pasar global.


“Demam” budidaya porang (Amorphophallusmuelleri) tidak saja terjadi di Jawa Timur, di Lampung pun petani tergila-gila menanam komoditas ekspor ini. Kian banyak petani yang menanam porang karena tergiur tingginya harga umbi dan buah katak.


Penanaman

Laswanto, Ketua Kelompok Tani Ngudi Asri Makmur di Kota Metro, Lampung mengatakan, kelompoknya menanam porang pada Agustus 2019 setelah mendapat kunjungan pegiat porang dari Madiun, Jawa Timur, Paidi.
 
Kelompok Tani Ngudi Asri Makmur menanam porang di 1,5 ha lahan sawah. Setelah 8 bulan, mereka memanen 80 ton/ha umbi porang yang dijual ke Jawa dengan harga Rp10 ribu/kg.

Bibit porang berasal dari buah katak yang rontok dari tanaman. Buah ini ditunggu hingga muncul tunas lalu disemai di polibag atau ditanam langsung di lahan.
 
Selain itu, bibit dari umbi porang yang langsung ditanam ke lahan yang sudah diolah pada Oktober, yaitu waktu mongso umbi porang atau tumbuhnya tunas.

Biji katak yang disemai di polibag baru dipindahkan ke lahan setelah mengeluarkan daun. “Dengan menanam bibit yang sudah tumbuh, masa pemeliharaan di lahan bisa lebih pendek, hanya 5–6 bulan sudah bisa dipanen,” lanjutnya. Panen berlangsung sekitar Mei hingga Juni. Saat itu porang sudah mengalami dorman atau daun dan batangnya mati.


Ekspor

Selain dijual mentah atau basah, umbi porang bisa dipotong seperti gaplek lalu dikeringkan. Gaplek porang dijual Rp50 ribu/kg. Gaplek ini diekspor ke China, Jepang, Kanada, dan sejumlah negara Eropa.

Di negara konsumen, umbi diolah menjadi mi, penjernih air, obat-obatan, bahan campuran kertas, jelly, hingga kosmetik. “Umbi porang merupakan bahan pangan sehat karena mengandung zat glukomannan dan mengandung banyak karbohidrat non-kolesterol sehingga lebih menyehatkan,” urainya.

Tingginya harga porang di pasar global, kata Wanto, sapaannya, karena kebutuhan pasar dunia yang masih terbuka lebar. Saat ini negara produsen, seperti Vietnam, Thailand, dan Indonesia baru mampu memenuhi 10% kebutuhan pasar global.

Musim tanam ini, ia mengkalkulasi luas tanam porang di Lampung mencapai 2.000-an ha. Pasalnya selain Metro dan Lampung Timur, porang juga ditanam di Lampung Tengah, Tulangbawang, Lampung Utara. Bahkan, petani di Lampung Barat banyak memesan bibit padanya.

“Terjadi peningkatan luas tanam yang luar biasa dibandingkan tahun lalu yang masih sekitar 700 ha. Tingginya animo petani menanam porang karena tergiur harga jual yang cukup tinggi namun pemeliharaannya tidak begitu sulit,” urainya.

Hanya untuk meraih produksi tinggi, jelasnya, perlu biaya olah lahan dan pupuk yang cukup. Jika petani menanam bibit kecil maka biaya bibit sekitar Rp50 juta-Rp70 juta/ha, olah tanah dan pupuk sekitar Rp40 juta/ha sehingga totalnya Rp90 juta/ha.

Target produksi umbi porang 50 ton/ha. Jika harga umbi Rp5.000/kg, pendapatan bersihnya sekitar Rp160 juta/ha. Pendapatan ini di luar penjualan buah katak untuk bibit yang lebih mahal, Rp1.000/biji.


Tulangbawang

Tamam, warga Desa Tritunggal Jaya, Kecamatan Penawartama, Tulangbawang menanam porang pada Ferbruari lalu seluas 3 ha. Karena penanamannya tidak tepat saat mongso, porang tidak tumbuh dan bibitnya membusuk. Ia pun rugi Rp600-an juta. Tamam mengaku menanam porang tanpa paham budidaya.

“Karena tergiur mahalnya harga jual umbi porang dan buah katak, saya buru-buru mengkonversi sebagian kebun karet dan dijadikan tanaman porang,” ucapnya. Untuk penanaman kedua, ia bersama keluarga belajar teknis budidaya porang ke Wanto.  

Menurut Tamam, petani di Tulangbawang menanam porang dengan mengkonversi karet dan singkong karena harganya jatuh. Harga umbi porang dan buah katak yang begitu tinggi memotivasi petani menanam porang.
 
“Mungkin produktivitasnya tidak setinggi di lahan sawah. Tetapi, biaya olah tanahnya juga tidak begitu besar karena tidak perlu dibuat bedengan. Kecil kemungkinan lahan tergenang air karena sebagian topografi lahannya miring,” ungkapnya. Umbi porang juga tidak diganggu babi hutan yang selama ini menjadi hama utama singkong dan karet.

Ia menambahkan, untuk musim tanam sekarang ada 10 ha lahan di desanya yang akan ditanami porang. Jika panen sukses, ia yakin musim tanam tahun depan luas tanam porang bakal meledak.


Lampung Timur

Menurut Haryono, PPL Kecamatan Batanghari, Lampung Timur, petani porang di daerahnya dalam tahap penanaman kedua setelah mengawali pada 2019. Luasnya sekitar 100–120 ha.
 
“Belum begitu luas karena petani keterbatasan modal untuk membeli bibit porang yang mahal dan biaya pengolahan lahan dan pengadaan pupuk kandang,” tutur Haryono di Desa Margototo, Batanghari, Senin (12/10).

Harga bibit katak Rp150 ribu–Rp180 ribu/kg. Bibit umbi porang yang sudah bertunas lebih mahal lagi, Rp300 ribu/kg isi 100 biji. Sementara, bibit yang ditanam di polibag harganya Rp3.000–Rp5.000/batang, tergantung tingginya.

Untuk pengadaan bibit dan penampung hasil panen, petani Lampung Timur bermitra dengan perusahaan di Madiun yang mengolah umbi porang basah menjadi chip (irisan tipis). Perusahaan ini memasok umbi porang ke PT Asia Prima Konjact (APK) dengan kebutuhan 16 ton/hari.

Ke depan, ungkap Haryono, umbi porang yang dihasilkan petani Lampung bisa dijual ke Lampung Utara. Pasalnya, kini sedang dibangun pabrik pengolahan porang. Soal harga umbi porang, saat panen raya Juni-Juli sempat turun, Rp5 ribu/kg.
 
Namun, harga naik lagi jadi Rp10 ribu/kg. Termasuk, harga bibit melambung karena besarnya kebutuhan petani yang antusias membudidayakan porang. Akibatnya, biaya 12 ribu batang bibit untuk lahan seperempat ha mencapai Rp15 juta.

Tetapi, besarnya biaya setimpal dengan hasil yang diperoleh. Sebatang porang bisa menghasilkan 12 biji katak sehingga 12 ribu batang akan menghasilkan 144 ribu biji katak. Jika harga biji katak Rp50/biji maka pendapatannya Rp7,2 juta.

Belum lagi penjualan 10-15 ton umbi untuk 0,25 ha lahan. Jika harga umbi Rp5 ribu/kg maka pendapatan petani Rp50 juta-Rp75 juta/musim. Sementara, biaya produksi Rp25 jutaan. “Keuntungan yang diterima petani masih lumayan besar,” ungkapnya.

Panen serentak yang sering menyebabkan harga jatuh, ia menjelaskan, tidak berlaku di porang. Umbi porang tidak harus dipanen saat dorman dan bisa dibiarkan terus tumbuh “Bisa juga dipanen bertahap dari Juli-Oktober atau dipanen sekaligus di awal Oktober ketika harga umbi sudah mahal,” pungkasnya.



Syafnijal Datuk (Lampung)

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain