Foto: DOK. ASOHI
Webinar Nasional Outlook Bisnis Peternakan bertema
Jakarta (AGRINA-ONLINE.COM). Pada 2020 pelemahan ekonomi terjadi secara global. Dampak pandemi Covid-19 yang begitu besar, membuat berbagai industri terpaksa menyusun ulang strategi ke depan. Tak terkecuali industri obat hewan yang harus memetakan ulang strategi dan pasarnya. Sebelum adanya pandemi, industri obat hewan juga berinovasi terkait larangan antibiotik dalam pakan. Baru-baru ini, penggunaan colistin juga dilarang penggunaannya dalam peternakan.
Industri obat hewan sangat dipengaruhi oleh kekondusifan indsutri peternakan. Irawati Fari, Ketua Asosiasi Obat Hewan Indonesia (Asohi) mengatakan, pertumbuhan pada 2020 dipreyeksikan negatif karena mengikuti kondisi industri obat hewan. Hal tersebut didasari dari menurunnya daya beli masyarakat yang berimbas kepada merosotnya angka konsumsi.
“Tapi masih ada peluang untuk meningkatkan pasar ekspor dan dari program biosekuriti yang semakin ketat,” bahas Irawati di tengah Webinar nasional outlook bisnis peternakan, Selasa, (24/11).
Sebagai informasi, konsumsi daging ayam nasional turun 29% akibat kejadian pandemi. Yang tadinya meningkat menjadi 12,79 kg/kapita/tahun dari 2019 sebesar 11,96 kg/kapita/tahun. Kini menjadi 9,08 kg/kapita/tahun.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU), Achmad Dawami mengatakan, dalam upaya menyeimbangan pasokan dan kebutuhan unggas yang berdampak kepada harga ayam hidup (Live bird), pemerintah melalui Kementerian Pertanian mengeluarkan surat edaran (SE) untuk melakukan afkir dini PS, Tunda setting CSR dan cutting HE.
“Potensi DOC yang sebelumnya 3,65 miliar, setelah SE menjadi 2,74 miliar. Demand sebelum covid 3,14 miliar, setelah adanya covid menjadi 1,99 miliar,” ulasnya.
Pada kesempatan yang sama, ahli ekonomi, Faisal Basri menuturkan, kondisi Indonesia masih dalam keadaan terkejut lantaran pandemi yang merajalela. Situasi saat ini, dinilainya masih memburuk yang mengakibatkan menurunnya perekonomian. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh perekonomian dan peta perdagangan dunia yang menjadi berantakan.
“Pendapatan masyarakat melamah. Akibatnya berdampak pada kurangnya konsumsi protein hewani di Indonesia,” ulas dia.
Menurut Faisal, pemerintah seharusnya membuat aturan darurat dalam mengatasi pandemi, bukan malah membuat aturan mengantisipasi dampak pandemi. Ini berefek kepada tingginya penurunan ekonomi Indonesia. Ia pun memprediksi, tahun depan penurunan ekonomi masih akan terjadi. Untuk itu, pemerintah harusnya berfokus pada peningkatan konsumsi rumah tangga.
Sementara itu, Koordinator Tim Pakar Satgas Penanganan Covid-19, Prof Wiku Adisasmito menimpali, untuk meminimalisasi gelombang pandemi, pengontrolan penyakit melalui masyarakat menjadi kunci selain menjaga keseimbangan ekosistem dan keanekaragaman hayati. “Bersikap eksploitatif terhadap alam adalah investasi bencanan di masa mendatang,” ujarnya.
Prof Wiku mengingatkan, masyarakat harus tetap waspada terhadap ancaman penyakit baru ke depan. Dalam 16 tahun terakhir misalnya, muncul H1N1, H7N9, Mers-CoV, dan Covid-19. Maka demikian, keseimbangan alam wajib dilakukan.
Try Surya A