Kamis, 19 Nopember 2020

Komitmen Pemerintah Mencegah Resistensi Antimikroba Pada Ternak

Komitmen Pemerintah Mencegah Resistensi Antimikroba Pada Ternak

Foto: WHO
Harapan Pemerintah, penggunaan antimikroba di peternakan turun dari 80% menjadi 50%

Jakarta (AGRINA-ONLINE.COM). Ancaman resistensi antimikroba tidak bisa dikesampingkan. Resistensi merupakan kondisi virus atau bakteri tidak dapat dimatikan dengan antimikroba atau obat antibiotik. Hal ini mengancam kemampuan tubuh baik hewan maupun manusia dalam melawan infeksi penyakit yang dapat mengakibatkan kecacatan bahkan kematian.
 
Resistensi antimikroba pada hewan ternak akan menjadi berbahaya juga untuk manusia. Sebab, virus resisten pada hewan ternak akan sulit diatasi oleh penggunaan obat-obatan. Akibatnya, virus bisa menular ke tubuh manusia yang mengkonsumsi hewan ternak dengan kandungan virus resisten.
 
Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) berkomitmen dalam mencegah terjadinya resistensi antimikroba di Indonesia. Jika tidak ditangani secara serius, akan bisa menyebabkan bencana kemanusiaan lainnya.
 
Direktur Jenderal PKH Kementan, Nasrullah mengatakan, penggunaan antimikroba untuk tujuan pencegahan penyakit dan pemacu pertumbuhan pada ternak yang sehat harus dihindari. Untuk itu, peternak perlu menerapkan praktik-praktik peternakan yang baik untuk mencegah dan mengendalikan infeksi. Harapannya, bisa menghasilkan produk peternakan yang sehat, bebas residu antibiotik dan bebas penyakit.
 
“Sejak Juli 2020, Indonesia telah melarang penggunaan obat colistin pada hewan (ternak maupun non-ternak). Pelarangan ini dilakukan pemerintah guna mencegah terjadinya resistensi antimikroba,” ungkap Nasrullah.
 
Pemerintah sebelumnya sudah mengeluarkan beberapa regulasi dalam hal mencegah terjadinya resistensi antimikroba. Contohnya, UU 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Pasal 51 ayat (3) yang menyebutkan setiap orang dilarang menggunakan obat hewan tertentu pada ternak yang produknya untuk dikonsumsi manusia.
 
Selain itu, ada juga Permentan 14 Tahun 2017 Pasal 4, yang mengatakan obat hewan yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia dilarang digunakan pada ternak yang produknya untuk konsumsi manusia.
 
Kementan memiliki beberapa upaya lain dalam hal pencegahan resistensi antimikroba ini. Di antaranya, meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang resistensi antimikroba, membangun komitmen pemangku kepentingan dalam upaya mencegah dan mengendalikan resistensi antimikroba di setiap sektor.
 
Kemudian, berupaya menurunkan prevalensi resistensi antimikroba di setiap sektor. Pengembangan inovasi pencegahan dan tata cara pengobatan infeksi juga dilakukan, di samping inovasi alternatif pengganti antimikroba dan meningkatkan koordinasi serta kolaborasi terpadu dalam upaya mencegah dan mengendalikan resistensi antimikroba.
 
Ia berharap, adanya segala upaya ini bisa berdampak signifikan terhadap sektor kesehatan hewan. Harapannya, dengan adanya penurunan penggunaan antimikroba di peternakan ayam broiler sebagai profilaksis dari 80% menjadi 50% di 2024 dengan surveilans AMU.
 
Berikutnya, terjadi peningkatan praktik biosekuriti dan penatalaksanaan penggunaan antibiotik di peternakan ayam petelur, dari 4,4% menjadi 20% di 2024 dengan sertifikasi Nomor Kontrol Veteriner (NKV).
 
Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) membenarkan resistansi antimikroba dapat menyebabkan gangguan produksi pada sektor peternakan.  Selain itu juga berdampak pada meningkatnya tantangan manajemen kesehatan hewan, serta ancaman bagi kesehatan masyarakat karena bakteri resistan dapat menyebar melalui rantai makanan.
 
Team Leader FAO ECTAD Indonesia, Luuk Schoonman menuturkan, ketika penyakit pada hewan ternak tidak terkendali, maka produk pangan asal hewan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Selain itu, sumber mata pencaharian para peternak juga akan berdampak karena menurun drastis.
 
Sementara itu, Nani H Widodo, Kasubdit Pelayanan Medik dan Keperawatan, Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menimpali, untuk mengendalikan laju resistansi antimikroba, dibutuhkan kerja sama yang kuat dari berbagai sektor. 
 
Selain otoritas yang terlibat dalam perumusan kebijakan dan pedoman, para profesional kesehatan dan veteriner serta masyarakat dan sektor pertanian juga berperan penting dalam mengatasi masalah ini.
 
“Gunakan antibiotik hanya untuk infeksi bakteri. Antibiotik tidak diperlukan untuk memerangi infeksi virus, jamur atau parasit yang menyebabkan masuk angin, sakit tenggorokan, atau demam berdarah. Pasien harus mematuhi resep dokter jika diberikan antibiotik,” tutur Nani.
 
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah memasukan resistensi antimikroba ke dalam 10 ancaman kesehatan global. Lantaran, resistensi antimikroba sampai saat ini diprediksi mengakibatkan 700 ribu kematian dan akan bertambah mencapai 10 juta kematian secata global di tahun 2050 jika tidak ditangani serius.
 
Try Surya A
 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain