Rabu, 2 September 2020

Mengejar Surplus Beras Saat Akhir Tahun

Mengejar Surplus Beras Saat Akhir Tahun

Foto: Dok. AGRINA
Sistem agribisnis berkelanjutan merupakan salah satu opsi mengatasi penurunan produktivitas tanaman padi

Pemerintah mencanangkan surplus 7 juta ton beras akhir 2020. Padahal tiga bulan akhir tahun biasanya produksi rendah. Bagaimana strateginya?
 
Ekonom senior Bustanul Arifin memprediksi Indonesia masih butuh impor beras sekitar 500 ribu ton tahun ini untuk mengantisipasi tipisnya produksi akhir 2020 hingga Januari 2021. Dia menunjukkan neraca beras 2018-2020 yang dirangkum berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).
 
Pada 2018-2019, bulan-bulan Oktober-Desember produksi selalu rendah. Namun pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian, optimistis mampu mencukupi kebutuhan beras nasional, bahkan surplus.
 
Kuntoro Boga Andri, Kabiro Humas dan Komunikasi Publik, Kementan, menyatakan, “Neraca ketersediaan pangan kita untuk beberapa komoditas aman, seperti beras, jagung, bawang merah, bawang putih, cabai besar, cabai rawit, daging sapi, daging ayam, telur ayam, gula pasir, dan minyak goreng. Kalau dilihat dari neraca sampai bulan Desember, tidak ada masalah.”
 
Namun Boga, dalam webinar Forum Alinea (14/8), memberi catatan, komoditas-komoditas yang tidak bisa produksi di dalam negeri secara masif seperti bawang putih, memang masih impor. Bahkan daging kita masih 40% impor, gula pasir konsumsi 30% impor. Kita berusaha untuk mengurangi ketergantungan impor melalui peningkatan produksi dalam negeri.
 
 
Strategi Pemerintah
 
Masih menurut Boga, semester pertama 2020 (Januari-Juni) luas tanam padi mencapai 5,89 juta ha menghasilkan 29,78 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara 17,06 juta ton beras.
 
Ditambah stok tahun lalu, 5,94 juta ton, maka pada semester pertama tersedia 23 juta ton. Sementara kebutuhannya mencapai 15,17 juta ton. Berarti masih ada stok 7,83 juta ton pada Juni 2020.
 
“Saat ini kita memasuki musim tanam (MT) II yang luas tanamnya 5,6 juta ha. Sampai Agustus sekitar 60% sudah tertanami. Sisanya sampai November insya Allah kita bisa mencapai target luas tanam 5 juta ha. Sebanyak 80% dari luas tanam ini ada di delapan provinsi terutama Jawa, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan.  
 
Kita berharap, produksi pada periode tanam kedua ini sekitar 12 juta ton sehingga stok akhir Desember kita masih memiliki 7,1 juta ton. Ini berdasarkan prognosa,” papar alumnus S3 bidang Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Kagoshima University, Jepang, ini.
 
 
Untuk mencapai target tersebut, “Kuncinya adalah tersedia air irigasi, benih, pupuk cukup dan tepat waktu,” tegas alumnus IPB tersebut. Jabaran dukungan Kementan mencakup infrastruktur irigasi, jalan usaha tani, Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk alat dan mesin pertanian (alsintan) prapanen dan pascapanen, asuransi usaha tani, juga sistem logistik dan distribusi.
 
 
Untuk mendukung produksi di 8 provinsi andalan, yaitu Jatim, Jateng, Jabar, Sulsel, Sumsel, Lampung, Kalsel, dan Sumut, Kementan menyalurkan bantuan benih 132.407 ton (April – September 2020). Alsintan prapanen berupa traktor sebanyak 140.265 unit, pompa 111.206 unit, dan alsintan pascapanennya 64.059 unit.
 
Selain itu, pemerintah juga melakukan koordinasi dan pendampingan dalam program Kostratani, penyuluh, Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT), juga Babinsa.
 
 
Mewakili pelaku produksi, H. Winarno Tohir mengungkap sarana dan prasarana yang dibutuhkan petani. Pak Win, begitu sapaan Ketum Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional itu, menyebut pentingnya ketersediaan air.
 
“Kami juga butuh benih berkualitas karena sekarang banyak beredar benih tidak berkualitas. Pupuk yang mencukupi sampai panen. Saya sampaikan bahwa pupuk subsidi habis pada bulan Oktober sehingga petani tanam Oktober-Maret lalu menggunakan pupuk nonsubsidi. Kementan sudah minta ditambah dan disetujui. Subsidi 1,4 juta ton pupuk akan disalurkan sehingga permasalahan pupuk bagi petani akan terselesaikan,” ulasnya.
 
 
Hanya saja, Komisaris PT Pupuk Kujang tersebut meminta pengunduran pemberlakuan Kartu Tani 100% yang sedianya mulai 1 September 2020 di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Alasannya, petani belum siap. Pun soal permodalan dari KUR, menurut petani asli Indramayu, Jabar, itu, masih susah didapat, tidak segampang saat sosialisasi.
 
 
Satu masalah penting lagi adalah pemasaran. Dalam masa pandemi, banyak petani sukses berproduksi tetapi kesulitan memasarkan hasil panennya sehingga harganya anjlok. “Pemasaran produk pertanian saat ini masih otopilot. Kami butuh fasilitasi pemasaran. Dengan dibantu pemasaran, itu seperti gelontoran bantuan pada masa pandemi yang kami butuhkan,” kritik Pak Win.
 
 
Salah satu pasar beras yang eksis sejak 1972 adalah PT Food Station Tjipinang Jaya di Cipinang, Jakarta Timur. Suplai beras dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) kepunyaan Pemprov DKI Jakarta ini menjaga ketahanan pangan ibukota.
 
Belakangan Gubernur Anies Baswedan juga menugasi Food Station untuk stabilisasi suplai dan harga bahan pokok lain. Di samping itu, pengelola Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) ini menjalankan fungsi komersial dengan memasarkan produk-produknya melalui pasar modern.
 
 
Butuh Implementasi Teknologi
 
Bustanul Arifin dalam forum tersebut menjabarkan alasan pertanian masih tumbuh positif saat sektor lain terkontraksi. Khususnya tanaman pangan, terlebih padi, itu lantaran musim tanam mundur satu bulan sehingga puncak produksi pun mundur pada kuartal kedua.
 
Wakil Ketum Perhimpunan Ekonomi Pertanian (Perhepi) itu juga mengingatkan terjadinya penurunan produktivitas padi yang serius. Angkanya, dari 5,20 ton/ha pada 2018 menjadi 4,81 ton/ha GKG pada 2019  atau turun sebesar 7,5%. Sementara tahun berikutnya, 2019 ke 2020 semester pertama dari 5,05 ton menjadi 5,07 ton/ha.
 
“Produktivitas 2018 ke 2019 turun amat signifikan karena sistem produksinya sangat rentan terhadap gangguan ketersedaiaan air, konservasi sumberdaya air, manajemen irigasi dan sebagainya,” sembari menampilkan foto sawah dengan saluran irigasi yang kering di Lampung.
 
Untuk itu, sistem agribisnis berkelanjutan menjadi salah satu opsi alternatif, melakukan pola tanam yang ramah lingkungan, sistem rotasi tanaman, tumpang sari, tumpang gilir, pemberdayaan petani dan gapoktan.
 
Guru Besar Faperta Universitas Lampung itu juga mengemukakan pentingnya menerapkan teknologi, climate-smart agriculture, biotek modern, pertanian presisi, berbasis bukti objektif, dan berorientasi prinsip keberlanjutan.
 

Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 315 terbit September 2020 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain