Kamis, 2 Juli 2020

Melirik Bisnis Hilir yang Kian Menarik

Melirik Bisnis Hilir yang Kian Menarik

Foto: Dok. Ayam Kane
Central kitchen Ayam Kane di Laladon, Ciomas, Bogor

Meningkatnya tren konsumsi ayam olahan selama masa pandemi menguntungkan peternak yang mulai berpikir produksi ke arah hilir.
 
 
Jatuhnya harga ayam hidup di pasaran, terlebih saat pandemi Covid-19, membuat pelaku industri perunggasan mulai mengarahkan pasarnya ke sektor hilir.
 
Salah seorang di antaranya Tiga Putra Perkasa, pemilik usaha ayam olahan ‘Ayam Kane’ di Bogor, Jawa Barat.
 
Usaha hilir yang dirintis sebagai bagian dari manajemen peternak mandiri Tri Group ini, baru terlihat hasilnya pada 2015.
 
Dan di luar dugaan, masa pandemi malah mendongkrak penjualan produk kulinernya.
 
Pemuda kelahiran 19 April 1998 ini mengisahkan, langkah awal memulai bisnis ayam olahan tidaklah mudah dan selalu terasa menantang.
 
Mulanya, Iga, begitu ia akrab disapa, memperkenalkan produknya dengan menawarkan ke para kerabat terdekat. Sempat memasarkan dagangannya melalui food truck dan kedai makan di tempat (dine in), akhirnya Ayam Kane menemukan formulasi tepat, yaitu beralih ke model bentuk ‘grab and go’.
 
“Kita konsepnya ready to cook (siap dimasak) dan frozen food (makanan beku). Jadi bisa dibeli langsung di depot-depot rekanan atau pesan via ojek online,” imbuhnya.
 
Suka duka dalam berjualan, menurutnya, sebuah kewajaran. Namun demikian, hal itu membuatnya semakin penasaran. Ia yakin penjualan di fase awal pasti tidak akan ramai jika tanpa promosi. “Risiko dagang produk hilir seperti itu. Kalau produk sudah dikenal, jualan akan baru laku,” imbuhnya.
 
 
Menjaga Pasar dengan Konsistensi Rasa
 
Mengulas ke belakang, penamaan Ayam Kane ternyata diambil dari kata enak yang dibaca dari belakang. Tren penamaan ini sudah familiar di kalangan masyarakat Malang, Jawa Timur. Tambahan lagi, kedua orang tuanya kelahiran kota “Paris van Jatim” itu.
 
Lulusan Teknologi dan Manajemen Ternak Sekolah Vokasi IPB itu bercerita, usaha ayamnya dirintis sang Ibu sejak 2002 dan berjalan dengan skala rumahan saja hingga 2009.
 
Pada periode 2009 – 2014 mulai dipasarkan secara internal di manajemen Tri Group. “Pembentukan hilirnya Tri Group, ada bakso ino dan ayam kane.
 
Ayam kane ini pemasaran secara internalnya sampai 2014. Kemudian 2015 baru dipasarkan untuk umum,” rinci Iga.
 
Di antara sejumlah uji coba, terpilih menu ayam olahan yang siap dipasarkan dengan tiga varian sambal sebagai pendampingnya, yakni sambal baper (bawang pedes bener), sambal matah, dan rampes. Sampai saat ini, sudah terdapat 18 varian produk ayam olahan.
 
Terdiri dari ayam goreng kremes, ayam bakar kecap, ayam bakar bumbu rujak, ayam gulai, sambal atiampela, spicy chick, nugget, dimsum ceker, ayam ungkep, sate ayam, soto ayam, cwi mie, tortila, rendang ayam, ayam geprek, ayam bumbu rujak, ayam goreng, dan opor ayam.
 
“Dari harga yang paling murah Rp10 ribu untuk dimsum ceker isi lima hingga Rp67 ribu untuk satu ekor ayam kampung olahan.  Yang menjadi favorit adalah ayam bakar bumbu rujak seharga Rp32 ribu. Semuanya ready to cook dan ada petunjuk penyajian di tiap kemasan,” tuturnya.
 
 
 
 
Untuk naskah selengkapnya silakan baca Majalah AGRINA Edisi 313 terbit Juli 2020 atau dapatkan majalah AGRINA versi digital dalam format pdf di Magzter, Gramedia, dan Myedisi.

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain