Foto: Windi Listianingsih
Rendahnya produktivitas sapi perah sebagian besar akibat kurangnya jumlah dan kualitas pakan
Faktor penentu untung dan ruginya peternak sapi perah bukan dari harga susu semata. Utamanya, dari kesehatan sapi itu sendiri.
Di semua lini usaha peternakan, apapun levelnya, pada dasarnya peternak melakukan usaha untuk meraup keuntungan. Tak terkecuali sapi perah. Prinsipnya no cow – no milk – no money (tidak ada sapi - tidak ada susu - tidak ada uang). Dengan kata lain, sapi yang kesehatannya terjaga akan memproduksi susu berkualitas secara optimal yang kemudian mendatangkan keuntungan bagi peternak.
Deddy Fachruddin Kurniawan, peternak sapi perah asal Kota Batu, Jawa Timur, mengemukakan, faktor penentu performa ternak meliputi animal welfare (kesejahteraan hewan - kesrawan), heat stress, nutrisi, dan kesehatan umum. Kemudian dua hal yang menjadi target utamanya adalah produksi dan reproduksi.
“Target produksi adalah menghasilkan susu berkualitas dengan kuantitas baik. Sementara reproduksi untuk menghasilkan pedet sebagai jaminan keberlangsungan produksi susu,” terangnya kepada AGRINA belum lama ini.
Agar sapi selalu sehat dan produktivitas optimal, berikut langkah-langkah yang bisa dicermati.
Mulai dari Kering Kandang
Untuk mendapatkan calving interval dalam kurun waktu 12 – 14 bulan atau sapi beranak sekali setahun, periode kering kandang tidak boleh luput dari perhitungan.
Deddy merinci, dalam setahun terhitung terdapat 365 hari masa calving interval. Kebuntingan mengambil waktu 9 bulan 10 hari (280 hari). Kemudian 40 hari untuk involusi rahim agar sapi bunting kembali. Sisa waktu 45 hari inilah yang dibutuhkan untuk membuat sapi menjadi bunting.
“Ada waktu dari hari ke 40 sampai ke 85 untuk membuat sapi bisa dikawinkan dan bunting. Targetnya satu sapi setiap tahun,” tutur CEO Dairypro Indonesia ini.
Ketika sudah kering kandang, sapi perah biasanya dibiarkan saja oleh peternak. Padahal, tekan Deddy, terdapat faktor kritis yang harus dipahami. Terutama sapi jangan sampai stres dan wajib memberikan obat kering kandang untuk mengontrol parasit.
Pada masa kering, energi pakan perlu dikurangi agar sel-sel ambing sapi beristirahat. Kemudian sebaiknya pemerahan tetap dilakukan secara normal yaitu dua kali sehari.
Hal ini bertujuan untuk menguras bakteri yang tetap ada di dalam ambing. Sebab bakteri berkembang dua kali lipat tiap 20 menit di suhu normal. Semakin ditunda perah, semakin memberi kesempatan berkembangnya bakteri.
“Obat bakteri saat kering kandang digunakan untuk mencegah bakteri berkembang apalagi saat itu daya tahan tubuh sapi menurun,” bahas dokter hewan lulusan IPB ini.
Memberi Tahapan Mineral
Deddy mengungkapkan lebih lanjut, begitu bergerak melahirkan dan menghasilkan susu, sapi membutuhkan mineral seperti kalsium. Kalsium ini bersumber dari usus dan hati.
Untuk itu, sapi yang menjelang masa melahirkan jangan diberikan makan secara ad libitum (terus – menerus). Sebab nantinya akan menumpuk lemak di hati (fatty liver).Dengan keadaan demikian, kecepatan mobilisasi energi jadi terganggu.
Senada dengan Deddy, Suwadi Hartono, Regional manager Medion mengamini pentingnya mineral. Menurutnya, kombinasi asupan mineral makro dan mikro diperlukan dalam pertumbuhan, kesehatan, produksi, dan reproduksi ternak.
“Mineral makro seperti kalsium (Ca), fosfor (P) dan kalium (K) berperan penting dalam aktivitas fisiologis dan metabolisme tubuh, sedangkan mineral mikro seperti mangan (Mn), tembaga (Cu), zinc (Zn), kobalt (Co), iodine (I) dan selenium (Se) berperan untuk aktivitas enzim dan hormon dalam tubuh,” jabarnya
Memprioritaskan Kelahiran Secara Normal
Perkara melahrikan, Deddy memprioritaskan sapi melahirkan secara normal. Dengan catatan, posisi pedet dan durasi keluarnya normal. Sapi yang pernah melahirkan batasnya 2 jam, sedangkan sapi yang belum pernah melahirkan batasnya 3 jam.
Pada dasarnya semua sapi mampu melahirkan sendiri selama energinya cukup dan posisi pedetnya normal. Sebab, antara indukan dan pedet memiliki birth reflex masing-masing. Yang jadi masalah, peternak di dalam negeri terbiasa dengan tarik-menarik pedet yang dilahirkan. Dengan serviks yang robek dan luka, calving interval tidak mungkin tercapai dalam 12 bulan.
“Sebanyak 75% masalah gangguan reproduksi seperti mastitis berawal dari prosedur kelahiran yang keliru. Induk yang merejan dengan baik sebelum 2 jam jangan dibantu melahirkan. Ketika balon keluar, dibiarkan saja jangan dipecahkan. Balon akan pecah, kaki kelihatan dan jangan ditarik,” rinci Pria yang sudah lebih dari 15 tahun berkancah di peternakan sapi perah itu.
Selanjutnya, sapi yang baru melahirkan akan mengalami 5 anomali fisiologis yang dimulai sekitar 2 minggu saat mempersiapkan kelahiran atau masa transisi.
Anomali ini meliputi asidosis dan stres, rendahnya asupan energi akibat nafsu makan turun, kehilangan cairan tubuh yang banyak saat melahirkan, matinya mikroba rumen karena stres dan asidosis, serta rendahnya kadar kalsium dalam tulang dan darah.
Peternak bisa membantu pemulihan kondisi sapi dengan suplementasi pada 3 hari pertama berturut-turut secara drenching (dicekoki). Energi, suplemen, elektrolit, anti stres, anti asam, mikroba rumen dimasukkan menjadi satu suplemen melalui minum. Sapi diberi minum sebanyak mungkin supaya rumen penuh. Tujuannyua agar nanti tidak banyak displasia.
Mencegah Mastitis
Selain calving interval, faktor lainnya yang menentukan untung ruginya peternak adalah kejadian mastitis (infeksi yang merusak sel ambing). Kerugian yang ditimbulkan mastitis ini cukup besar.
Deddy mencontohkan, sapi yang produksinya 17-18 liter bisa hilang separuhnya. Kemungkinan sembuh atau produksi naik lagi masih ada asalkan kering kandangnya bagus.
Hani Yudayan, Farm Manager PT Greenfields Indonesia menimpali, peluang terjadinya mastitis akan tetap ada namun sebisa mungkin diminimalkan.
Ia menuturkan, mastitis memang menjadi masalah penyakit terbesar yang mungkin disebabkan karena manajemen dan faktor genetik. Dalam setahun, meskipun sangat kecil, kejadian mastitis di farm yang ia kelola sebesar 1,8%.
Penyebab mastitis mulanya bakteri. Tapi ukuran ambing itu diturunkan dari induknya. Sapi perah betina yang baik, memiliki puting di atas lutut sehingga tidak mudah terkena kotoran.
“Tinggal kita secara manajemen mengeluarkan potensi sapi itu. Jadi misalnya potensinya bisa 60 liter, kalau manajemen yang buruk cuma bisa 35 liter dan mati. Fokusnya bukan berapa kali kena mastitis, tapi seberapa cepat dia recovery (pulih). Dalam 20 hari tidak pulih, maka sapi itu akan di-culling,” tandasnya.
Suwadi menambahkan, mastitis disebabkan mikroorganisme patogen atau bakteri di dalam kelanjar susu. Berdasarkan gejala klinisnya, mastitis dibedakan menjadi klinis dan subklinis.
Pada mastitis klinis terjadi perubahan fisik susu, sementara subklinis tidak terdapat perubahan namun saat uji mastitis dilakukan terjadi peningkatan sel darah putih di dalam susu.
Selain menurunnya kualitas susu, Suwadi mengamini, mastitis juga meningkatkan biaya pengobatan dan ternak menjadi lebih cepat diafkir.
Pengobatan terhadap mastitis dapat dilakukan dengan antibiotik sesuai dengan bakteri yang menginfeksi. Supaya optimal, uji sensitivitas antibiotik terhadap bakteri bisa dilakukan sebelum melakukan pengobatan.
“Menjaga kebersihan mengurangi risiko penyakit mastitis. Utamakan pemberian produk alami yang selain berfungsi mencegah juga bisa meningkatkan produksi susu. Dengan begitu didak ada withdrawl time (waktu henti obat), tidak ada residu, serta aman digunakan selama periode laktasi,” sarannya.
Asupan Pakan
Pada kesempatan lain, Prof Budi Tangendjaja, ahli nutrisi dan pakan ternak mengatakan, rendahnya produktivitas sapi perah sebagian besar akibat kurangnya jumlah dan kualitas pakan. Ia berujar, masalah pakan sapi perah di Indonesia biasanya seputar keterbatasan hijauan, kadar aflatoksin, dan tambahan mineral serta vitamin.
Tanaman jagung dapat digunakan sebagai sumber hijauan, namun ia mewanti-wanti, waktu panen perlu diperhatikan terutama untuk silasenya. Peternak bisa juga memanfaatkan Dried Distillers Grains with Soluble (DDGS), produk hasil samping bioetanol dari jagung.
“Sebagai bahan pakan alternatif, DDGS tidak mengandung anti nutrisi dan memiliki tingkat aflatoksin yang sangat rendah. Ini merupakan sumber energi, protein, dan fosfor yang baik untuk pakan sapi perah,” ucap peneliti di Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi, Bogor ini.
Hani pun sepakat dengan Budi. Menurutnya, selain silase, sumber energi yang sering dipakai berasal dari jagung pipil. Dengan naik turunnya harga jagung, mau tak mau kebutuhan tersebut tetap harus dipenuhi. Yang terpenting, kandungan nilai aflatoksinnya rendah.
“Sapi-sapi selalu dimanjakan dengan pakan sehat yang terdiri dari jagung kualitas terbaik, biji-bijian, dan hijauan yang mengandung protein dan serat tinggi,” bebernya.
Hani becerita lebih jauh, agar sapi penah menerima nutrisi secara komplet, penggunaan Total Mixed Ration (TMR) bisa diandalkan. Dengan alat pencampur pakan tersebut, baik hijauan, konsentrat, mineral, premix, maupun vitamin bisa menjadi sebuah kesatuan pakan.
Perawatan Kuku, Mencegah Pincang
Layaknya manusia, kuku sapi juga diberikan perawatan “pedikur”. Sebab pada dasarnya, jelas Hani, sapi tidak bertumpu pada telapak kaki melainkan pada kukunya untuk berdiri. Kuku sapi yang tidak dirapihkan akan membuat sapi kesulitan beraktivitas. Misalnya menuju tempat pemerahan, makan, dan pergerakan lainnya.
Alasan utama lain pemotongan kuku adalah untuk kesehatan. Bentuk kuku sapi yang terbelah, membuat celah antara kuku tersebut mudah terisi oleh kotoran yang bisa menyebabkan infeksi.
“Perawatan kuku itu dua bulan sebelum sapi melahirkan (usia 22 bulan). Berikutnya pada pertengahan masa laktasi atau 150 hari setelah melahirkan. Setelah itu dua bulan lagi sebelum melahirkan dan begitu seterusnya. Jadi dua kali dipedikur dalam satu kali masa laktasi,” ulas lulusan kedokteran hewan Unair Malang ini.
Senada dengan Hani, Deddy mewajibkan pemeliharaan kuku sapi dilakukan secara rutin. Pasalnya, kuku yang tidak terawat bisa menimbulkan penyakit yang bisa membuat pincangnya kaki sapi (cattle lameness). Hal ini juga mengakibatkan profit peternak jauh berkurang.
Kepincangan pada sapi perah, jelas Deddy, dapat diidentifikasi melalui locomotion scoring. Metode ini merupakan indeks kualitatif dalam mendeteksi kemampuan sapi untuk berjalan secara normal melalui penilaian visual. Skor yang dipakai berskala 1 sampai 5. Poin yang menjadi penilaian adalah posisi punggung sapi saat berdiri dan berjalan.
“Pincang akan berefek kepada BCS (Body Condition Score), buruknya rasio konversi pakan (Feed Convertion Ratio - FCR), menurunnya performa produksi dan reproduksi, menambah biaya pengobatan, dan ambruknya sapi,” tandas Deddy.
Try Surya Anditya, Windi Listianingsih