Foto: Windi Listianingsih
Genetik sapi unggul hingga pemerahan yang baik meningkatkan produksi susu berkualitas
Mata rantai produksi susu berkualitas melalui induk unggul hingga penggunaan alat perah.
Bisnis minuman olahan susu semakin menggiurkan. Lihat saja maraknya kafe berbahan baku susu di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Jatim, dan Medan, Sumut yang digandrungi anak muda. Selain menyajikan rasa yang nikmat, kafe ini menggunakan nama unik nan kreatif.
Sebut saja beberapa nama kafe kopi susu seperti Kopi Soe, Kopi Kenangan, Kopi Janji Jiwa, dan Kopi Lain Hati di Jakarta. Menuju Surabaya ada Kocak (Kopi Becak), Kopi Koko Nakal, dan Katuai Kopi. Sementara, Kopi Susu Semua Umur (KOSU) dan Mauku Kopi bisa dijumpai di Medan.
Kafe tongkrongan generasi milenial itu menggunakan kopi dan susu segar berkualitas dengan harga rerata Rp20 ribuan/gelas. Belum lagi susu dan yoghurt kemasan aneka rasa yang permintaannya semakin meningkat seiring kesadaran konsumsi makanan dan minuman bergizi.
Peternak sapi perah pun terus berinovasi untuk memenuhi kebutuhan susu berkualitas yang permintaannya semakin menanjak. Apa saja inovasi yang dilakukan?
Dukungan Pemerintah
Data Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementerian Pertanian (Kementan) menyebut, populasi sapi perah di 2019 sebanyak 0,56 juta dan ditargetkan naik menjadi 0,61 juta ton pada 2020. Bahkan, tahun ini Kementan menargetkan ekspor 49.225,68 ton susu.
Di tengah pandemi Covid-19, Kementan melalui Ditjen PKH terus meningkatkan ekspor. April ini, ucap I Ketut Diarmita, PT Greenfields Indonesia akan mengekspor susu dan produk susu olahan ke Singapura, Malaysia, dan Brunei sebanyak 417 ton dengan nilai Rp5,67 milyar.
“Kita akan mendorong dan memfasilitasi perusahaan-perusahaan yang berencana ekspor produk peternakan," ujar Dirjen PKH itu di Jakarta, Senin (6/4).
Berbagai inovasi meningkatan produksi dan kualitas susu pun dilakukan oleh pemerintah dan para pelaku usaha peternakan sapi perah. Kementan meluncurkan Pogram Sikomandan (Sapi Kerbau Komoditas Andalan Negeri) dengan anggaran mencapai Rp2,022 triliun.
Dana itu untuk penyediaan benih, bibit, dan peningkatan produksi ternak Rp1,51 triliun; peningkatan produksi pakan ternak Rp0,16 triliun; pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan Rp0,35 triliun; peningkatan pemenuhan persyaratan produk hewan yang ASUH (aman, sehat, utuh, dan halal) Rp0,55 triliun; pengembangan pengolahan dan pemasaran hasil ternak Rp0,43 triliun; dan dukungan manajemen dan teknis Rp0,42 triliun.
Bahkan, Kementan menyiapkan kredit usaha rakyat (KUR) peternakan senilai Rp9,01 triliun dengan bunga 6%. “KUR salah satu kebijakan pemerintah untuk pemerataan ekonomi. Sumber dananya dari penyalur KUR sedangkan pemerintah berperan memberi subsidi bunga,” jelas Ketut.
Hingga Maret 2020, realisasi KUR peternakan mencapai Rp3,03 triliun atau 33,63% dengan 107.891 debitur. Lembaga penyalur KUR ialah bank pemerintah, seperti BRI; Bank Mandiri; BNI; dan BTN, bank umum swasta, bank pembangunan daerah, perusahaan pembiayaan, dan koperasi simpan pinjam.
Inovasi Skala Besar
Perusahaan sapi perah skala besar semisal Greenfileds melakukan inovasi budidaya hingga paskapanen. Perusahaan ini mempersiapkan induk unggul, memelihara pedet jenis Friesian Holstein (FH) dan Jersey, budidaya yang baik sesuai kenyamanan sapi, memperhatikan kebersihan kandang, hingga menggunakan alat perah untuk menjamin kualitas dan higienitas susu.
Menurut Hani Yudayan, Farm 1 Manajer Greenfileds, awalnya Greenfields memelihara induk sapi jenis FH. Pada 2018 perusahaan ini mendatangkan sapi Jersey dari Asutralia karena bisa dikembangkan di daerah tropis lantaran toleran panas.
Dari segi ukuran, Jersey lebih kecil, hanya 80% FH tapi kandungan susunya seperti protein, lebih tinggi. Jersey dewasa bobotnya 450-500 kg sedangkan FH mencapai 800 kg.
Tidak ada perbedaan perlakuan Jersey dan FH. Namun, Jersey lebih hemat pakan 20% dengan produktivitas yang baik. “Itu potensinya. Kalau menyamai (FH), belum,” ujarnya kepada AGRINA.
Meski begitu, hani menganggap Jersey dan FH belum bisa dibandingkan secara proporsional (apple to apple) karena genetika FH sudah mengalami perbaikan sementara Jersey masih dikembangkan.
“Dari sisi reproduksi, Jersey lebih mudah hamil kembali. FH laju konsepsinya 33% atau 3 kali IB (inseminasi buatan). Sedangkan Jersey di angka 50%, 2 kali IB saja bunting. Secara genetik lebih kecil, lebih cepat mengekspresikan birahinya kemudian cocok dengan cuaca di sini,” paparnya.
Untuk IB, Greenfields mengimpor semen beku yang jelas informasi genetiknya, seperti post pastrum estrus (PPE) atau birahi pertama setelah sapi melahirkan, ukuran tubuh, hingga potensi mastitis.
Greenfileds juga membatasi IB sampai sapi laktasi ke-8. Pasalnya, puncak produksi susu saat sapi laktasi ke-4 dan 5. “Pertama kali melahirkan itu di umur 2 tahun. Jadi, sekitar 6 tahun itu adalah masa-masa puncak produktif. Itu kita berasumsi dia melahirkan tiap tahun,” imbuhnya.
Pengelompokkan
Selanjutnya, setiap umur sapi diperlakukan berbeda. Pedet yang baru lahir hingga umur 30 hari ditempatkan di kandang individual. “Setelah umur 30 hari, sekat dibuka. Jadi, ada 2 ekor pedet per boks,” kata Hani.
Umur 1-3 bulan, pedet dimasukkan ke kandang kelompok berisi 10-15 ekor. Saat umur 4-5 bulan, kelompok diperbesar menjadi 80 ekor/kandang. Kelompok berlanjut berdasarkan umur 6-9 bulan dan 9-12 bulan hingga sapi siap IB. “Dengan targetnya ketika di-IB atau siap IB itu per 200 ekor,” kata dokter hewan lulusan Universitas Airlangga ini.
Setelah IB serentak, sapi dipisahkan menjadi sapi bunting dan tidak. Kemudian, sapi berkelompok dalam kategori siap melahirkan 2 bulan atau 6 bulan sebelumnya sesuai umur. “Yang kita perhatikan kalau mau grouping itu ukuran dan jumlahnya. Beda usia itu nggak boleh makanya ada sekat-sekat,” tegas Hani.
Artinya, tidak bisa seekor sapi masuk grup baru atau 10 ekor masuk dalam grup 200 ekor karena sapi mahluk sosial yang memiliki pemimpin dalam kelompok. ”Paling baik itu 50:50 dari kelompok. Nah, yang akan jadi pemimpin itu dari masing-masing pemimpin (kelompok) tadi,” tukas Hani.
Selain memperhatikan nutrisi dan kebersihan kandang, Greenfileds menggunakan alat perah guna menjaga kualitas susu. Cara ini paling efektif daripada memerah secara manual. “Pada dasarnya waktu kita merangsang sapi untuk ngeluarin susu sendiri hanya 4 menit saja. Kalau pakai tangan, nggak mungkin untuk perah satu ekor sapi 4 menit,” jelasnya.
Apalagi, alat perah akan terlepas otomatis saat susu berhenti mengalir. Ketika proses pemerahan berlangsung cepat dan tanpa paksaan, susu yang dihasilkan lebih optimal dan higienis serta masa perah berikutnya bisa lebih cepat.
Sapi laktasi diperah sehari 3 kali. Sapi digiring dari kandang laktasi menuju kandang perah. Sebelum pemerahan, alat perah dan ambing sapi dibersihkan agar higienitas susu terjaga. Puting sapi juga dirangsang dengan handuk hangat sebelum diperah.
Saat pemerahan, susu mengalir melalui pipa menuju tangki dan mengalami penurunan suhu dari 34º jadi 4º-2º C dalam waktu 10 detik. “Setelah itu kita dinginkan di dalam tangki. Jadi, kita jaga di suhu 2º – 4º derajat sampai dikirim ke processing (pengolahan) untuk menjaga kualitas,” ucapnya.
Karena itu, susu Greenfileds hanya mengandung 10-15 ribu total plate count (TPC) dari Standar Nasional Indonesia (SNI) 1 juta. Kecilnya tingkat cemaran mikroba ini karena kebersihan yang sangat diperhatikan sebelum dan setelah proses perah.
Sebab itulah Hani menyarankan peternak menggunakan alat perah. “Waktu memerah, pakailah alat perah. Meskipun alat perah portable, itu jauh lebih baik ketimbang tangan. Karena, kita juga sumber untuk menularkan penyakit. Terutama, dari manusia ke hewan atau dari hewan ke manusia lagi,” tandasnya.
Inovasi Skala Kecil
Peternak skala kecil juga tidak mau kalah berinovasi. Jika kebanyakan peternak memelihara sapi perah sejak pedet, lain halnya dengan Miselan. Peternak di Dusun Krajan, Desa Gadingkulon, Kec. Dau, Kab. Malang, Jatim ini memilih segmen pembesaran pedet hingga bunting. Cara itu dijalankan mengikuti anjuran Ir. Hermanto, MP, Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang.
Hermanto menyarankan Miselan beternak pedet sistem koloni memanfaatkan dana KUR, dulu disebut Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE), dari BRI. Hermanto memberikan gambaran analisis usaha pedet sistem koloni dan menjanjikan bimbingan beternak yang baik.
Pada 2014 Miselan meminjam dana KKPE Rp100 juta dengan bunga 6% dan jangka waktu 18 bulan. Dari 2-3 ekor sapi perah, ia pun memiliki 18 pedet umur 3 bulan seharga Rp4 juta/ekor. Sisa dana dibelikan pakan hijauan dan konsentrat. Sapi-sapinya ini dilindungi asuransi Jasindo untuk menghindari kerugiaan saat beternak.
Banyak perubahan yang dilakukan saat memelihara sapi sistem koloni. Misalnya, pedet umur 3-4 bulan tidak boleh diberi makan rumput tetapi calf starter, yaitu susu dan konsentrat nutrisi tinggi namun rendah serat. “Waktu itu saya nggak tahu, hajar aja pakai rumput makanya mencret-mencret sapinya,” bebernya.
Apalagi, pedet juga tidak mau makan calf starter karena terbiasa diberi rumput. “Awalnya kita beli sapi dari peternakan rakyat. Perlakuannya ‘kan sama kayak yang saya lakukan, dikasih rumput. Sapinya nggak mau tapi kita perlu melatihnya,” ulas Miselan.
Selain itu, sapi yang biasa diikat dibiarkan bebas bergerak di dalam kandang. Air minum juga selalu tersedia.
“Wadah air nggak boleh kosong dari mulai waktu pelihara sampai besar dan siap potong. Pengalaman di lapangan, pedet umur segitu air dijatah, biasanya 2 l sehari 2 kali, pagi dan sore,” katanya yang menyebut Hermanto sering kunjungan dadakan ke kandang.
Kandang koloni juga dibuat sebagian beratap untuk memudahkan sapi berjemur lalu berjalan-jalan ke tempat istirahat, makan, dan minum. Pergerakan ini sangat baik buat melatih kekuatan otot kaki sapi.
Asuransi
Ketika semua aturan beternak dijalankan sepenuhnya, Miselan mendapati sapinya cepat birahi. Biasanya sapi mulai birahi umur 18-24 bulan. “Sapi sekarang umur 11-12 bulan sudah minta IB. Yang bikin terkejut, kita hemat waktu 6 bulan, itu ‘kan duit. Kalau tahu gini, ikut dari dulu ‘kan enak,” paparnya.
Setelah bunting umur 4-6 bulan, sapi dijual ke peternak sapi perah yang menampung sapi laktasi. “Itu besar untungnya. Beli pedet harga Rp 4 juta/ekor itu lakunya Rp19 jutaan/ekor, dipotong biaya pakan dan lain-lain ya,” ungkapnya.
Suami Rusmiati ini merinci biaya pakan dan obat-obatan sekitar Rp4,5 juta/ekor sedangkan harga sapi bunting sebesar Rp19 juta/ekor sebanyak 6 sapi, Rp18,5 juta/ekor untuk 8 sapi, dan Rp15 jutaan/ekor buat 4 sapi. Waktu pemeliharaan sapi hanya 14 bulan sehingga pinjaman KKPE terbayar lunas sebelum jatuh tempo.
Saat ini Pak Lan memelihara 18 ekor sapi yang terdiri atas 15 ekor sapi perah, 2 ekor sapi potong jenis F1 Nelore, dan seekor sapi limousin. Ke semua sapi ini berasuransi Jasindo untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan selama pemeliharaan.
Windi Listianingsih, Sabrina Y., Try SA