Kamis, 2 Januari 2020

Mencegah AMR dengan Mengurangi AMU

Mencegah AMR dengan Mengurangi AMU

Foto: Try Surya Anditya
Ternak lebih sehat tanpa AGP dan penerapan biosekuriti tiga zona

Penggunaan antibiotik dalam kesehatan ternak dan manusia perlu pengawasan dan tanggung jawab.


Sosialisasi terkait penggunaan antibiotik secara bijak dalam kesehatan hewan dan manusia terus digaungkan. Ni Made Ria Isrianthi, Kasubdit Pengawasan Obat Hewan, Ditken Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) mengungkapkan, rencana aksi global dan nasional untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai ancaman resistensi antimikroba perlu terus dilakukan.

Dalam aksi yang dijalankan, Ria mendorong penggunaan alternatif pengganti antibiotic growth promoter (AGP) di industri peternakan berupa prebiotik, probiotik, fitokimia (minyak esensial/herbal), enzim, asam organik dan peptida antimikroba.
 
Di samping itu, pemerintah juga mengingatkan penggunaan antimikrobial (antimicrobial usage - AMU) di dunia kesehatan. Sebab, AMU pun bisa mempercepat terjadinya resistensi antimikrobial (antimicrobial resistance – AMR).

“Perlu adanya kerja sama lintas Kementerian, yakni Kementan, Kemenkes, dan KLHKdengan konseponehealth,” jelasnya.


Temuan di Lapangan

Kementerian Pertanian, imbuh Ria, telah melakukan survei AMU pada 2017 di beberapa lokasi peternakan di Indonesia. Hasilnya, jenis antibiotik seperti Enrofloxacin, Amoxicillin+Colistin, Sulfadiazin+Trimetoprim, dan Doxycyclin mayoritas digunakandi peternakan Jabar, Jatim, danSulsel. Sementara mayoritas antibiotik yang diaplikasikandi Lampung, Jateng, dan Kalbar,yakni Sulfadiazin+Trimetoprim, Enrofloxacin, Amoxicillin, dan Colistin.

Rata-rata, jabar Ria, pemberian antibiotik di Jabar, Jatim, dan Sulsel pada ternak umur sehari mencapai 35%. Kemudian 4 hari sebanyak 5% dan 20 hari 12%. Sementara di Lampung, Jateng, dan Kalbar, umur sehari sebanyak 19,3%, disusul 15 hari sebanyak 9,4% dan 11 hari 6,4%.

Berdasarkan survei itu, ulas Ria lebih lanjut, peternak yang memiliki rencana program pemberian antibiotik baru 87% dan 11% tidak memiliki program, sisanya 2% tidak menjawab. Rinciannya, yang melakukan rotasi antibiotik 49% dan tidak melakukan rotasi 38%.
 
“Tindakan yang dilakukan peternak jika pengobatan gagal, hampir 80% mengaku ayamnyadipanen. Faktor yang mempengaruhi pemilihan antibiotik adalah extention officer(penyuluh) sebanyak 41,5%, pengalaman pribadi 19,3% dan 13,6% dari technical service (TS),” bebernya.


Alternatif dan Pengamanan

Seiring dengan pelarangan AGP dalam formulasi pakan, Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjen PKH Kementan mencatat, sebanyak 315 jenis imbuhan pakan (feed additive) telah terdaftar.
 
Ria menguraikan, untuk enzim berupa phytase, xylanase, dan manase. Untuk jenis asam organik, berupa asam format, asam propionat, dan asam sorbat.

Selain itu juga terdapat probiotik dan prebiotik berupa fermentasi Saccharomyces cerevisiae, Bacillus subtillis, Lactobacillus sp. Sementara dari herbal fitokimia berupa minyak esensial dan ekstrak tanaman.

Di samping memanfaatkan alternatif pengganti, ia menekankan pentingnya penerapan biosekuriti tiga zona. Dari riset yang telah dilakukanpada 60 peternakan ayam petelur, hasilnya infeksi penyakit pun menurun. Benefit lainnya, yaitu terjadipenurunanpenggunaan antibiotik sebanyak 40% dan disinfektan berkurang 30%.


Angka Kematian Akibat AMR

Di sisi lain, Fedriyansyah, Dokter Unit Kerja Koordinasi Infeksi dan Pediatri Tropis RSUD Abdoel Moeloek Bandarlampung, mengungkapkan, angka kematian akibat bakteri yang resisten antibiotik terus meningkat. Sebagai contoh, dari 2 juta orang Amerika Serikat (AS)yang terinfeksi bakteri resisten, sebanyak 23ribuorang berakhir dengan kematian.

Demikian pula Eropa sebanyak 25ribu orang meninggal akibat infeksi bakteri resisten antibiotik. Secara global sebanyak 700ribu orang meninggal akibat infeksi bakteri resisten antibiotik.
 
Pada 2050, diperkirakan 10 juta orang meninggal akibat AMR. Angka tersebut, akan menjadi kenyataan dengan dorongan pemakaian antibiotik yang kurang bijak, tidak hanya pada manusia tetapi juga bidang peternakan.

“Resistensi  muncul akibat adanya tekanan selektif dari penggunaan antibiotik tidak tepat atau tidak rasional. Penggunaan tidak tepat bukan hanya berlebihan, tetapi juga terlalu sering memberikan antibiotika pada kasus yang tidak membutuhkan. Pemberian antibiotika juga memberi paparan pada flora normal sehingga merangsang mutasi. Kuman yang telah bermutasi menjadi kuman patogen baru,” rincinya detail.


Pengendalian Antibiotik

Fedriyansyah mengungkapkan, perlu program penanggulangan melalui imunisasi, pengendalian infeksi dan menggunakan antibiotik secara bijaksana. Penggunaan secara bijaksana, yaitu hanya digunakan bila perlu, disesuaikan dengan klinik penderita agar menghindari efek samping dan resistensi.  Sementara itu, penggunaan optimal berarti harus mampu membunuh atau eradikasi kuman.

Hubungan aplikasiantibiotik pada hewan ternak dengan resistensi pada manusia, yakni dari penggunaan antibiotik pada hewan ternak sebagai AGP. Hal ini, menurutnya, bisa menyebabkan resistensi antibiotik pada manusia.Ia menyebut, residu antibiotik pada hewan ternak strukturnya sama dengan antibiotik pada manusia.

“Hewan ternak yang telah resisten dimakan oleh manusia, maka akan mendorong resistensi antibiotik pada manusia. Bahkan jika manusia mengonsumsi hewan ternak mengandung kuman resisten antibiotik, saat daya tahan tubuh manusia menurun, bisa terjadi penyakit yang juga resisten dengan antibiotik,” jelasnya.

Intinya, penggunaan antibiotik bukan hanya masalah medis. Namun, lebih kompleks dengan faktor ekonomi, kejiwaan, dan legalitas.
 
Menurut Fedriyansyah, ketika berhasil mencegah AMR, maka akan menghasilkan peningkatan efektivitas antibiotik, peningkatan tingkat kesembuhan, penghematan biaya pengobatan, dan menekan timbulnya resistensi kuman. Bahkan, yang tadinya resisten bisa kembali peka.“Antibiotik tidak harus dihindari, tetapi harus digunakan secara bijak,” pungkasnya.



Try Surya Anditya, Syafnijal DS, Sabrina Yuniawati

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain