Foto: Try Surya Anditya
Achmad Dawami, tentukan permintaan (demand) lebih dulu
Tantangan industri perunggasan Indonesia masih banyak, mari bersama mencari jalan keluar terbaik.
Industri peternakan unggas di Tanah Air masih banyak dilirik lantaran tetap dipandang berprospek.
Namun demikian, ujian kerap datang menghampiri sektor ini.
Belum selesai masalah kesehatan unggas lantaran AGP dilarang, momok berikutnya berupa impor ayam Brasil malah siap datang.
Ya, hal itu merupakan buntut kekalahan Indonesia dalam sengketa dagang dengan Negeri Samba di organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization – WTO), DS 484.
Meskipun begitu, hingga naskah ini diturunkan, baik Kementerian Pertanian maupun Kementerian Perdagangan mengkonfirmasi belum ada perusahaan yang mengajukan permohonan impor.
Bisa Bersaing, Asalkan..
Ketua Dewan Pembina Gabungan Organisasi Peternak Ayam nasional (GOPAN), Tri Hardiyanto mengungkapkan, siap masuknya ayam impor dari mancanegara tetap ada sisi positifnya, yakni sebagai acuan dalam meningkatkan daya saing.
Akan tetapi, imbuh Tri, hal tersebut baru bisa terwujud ketika harga pokok produksi (HPP) di tingkat peternak lebih rendah atau bahkan sama dengan harga produk impor itu.
HPP ayam hidup (livebird – LB) per kg di Indonesia dinilai masih lebih tinggi ketimbang Brasil. Murahnya biaya produksi ayam di Brasil disinyalir lantaran mudah dan murahnya akses perolehan pakan.
Jagung yang menjadi komponen utama dalam menyusun pakan, pasokannya lebih stabil di Brasil. Sementara itu, ketersediaan jagung masih menjadi masalah yang kerap berulang di Indonesia.
Tri membandingkan, harga jagung di dalam negeri saat ini berada di angka Rp4.000/kg – Rp4.500/kg. Sedangkan di pasar internasional berkisar Rp3.100/kg – Rp 3.200/kg sudah sampai di Indonesia.
Harga jagung yang fluktuatif mendorong harga pakan mengikuti. “Hitungan saya, harga jagung Rp3.800/kg bisa menurunkan harga pakan (saat ini) sekitar Rp500/kg – Rp700/kg,” beber Tri di Tangerang, Banten, Rabu (18/9).
Ia meyakini, efisiensi menjadi kunci dalam menghadapi gempuran ayam Brasil. Semakin efisien, daya saing akan semakin kuat.
Bila peternak Indonesia mampu berproduksi di harga US$1/kg – 1,1/kg LB, maka sudah siap bersaing. HPP bisa ditekan menjadi US$1 /kg, asalkan harga pakan diturunkan.
Tingginya HPP ayam hidup per kg di Indonesia diamini Desianto B. Utomo, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT).
Di Brasil, ungkap dia, biaya produksi tertinggi hanya berkisar Rp10.000/kg sepanjang 2018.
Menurut Desi, pengurangan biaya pakan akan mempengaruhi pada meningkatnya efisiensi produksi dan profitabilitas.
Biaya pakan bisa saja ditekan, asalkan produksi untuk kebutuhan di dalam negeri lebih dari cukup.
“Dari tahun ke tahun terus meningkat, bahkan ada idle capacity. Dari segi bahan baku, ketersediaan bisa didekatkan dengan pabrik pakan atau peternak,” jabar dia.
Tentukan Permintaan dan Kawal Konsumsi
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Pembibitan Unggas (GPPU), Achmad Dawami menimpali, faktor yang menentukan daya saing adalah permintaan, penawaran, kebijakan, dan lainnya seperti nilai tukar dan tarif angkut.
Dari sisi konsumsi, Dawami menyebut, target konsumsi/kapita/tahun perlu ditetapkan selama 5-10 tahun mendatang. Dari angka tersebut, dapat dikalkulasi dan direncanakan berapa banyak impor Grand Parent Stock (GPS) yang dibutuhkan.
Impor GPS pun, lanjutnya, harus diatur agar national replacement schedule (jadwal peremajaan induk nasional) berjalan dengan baik. Di samping itu, ditunjang dengan ketersediaan bahan baku pakan dengan harga yang reasonable (masuk akal).
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 304 yang terbit Oktober 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/