Foto: Try Surya Anditya
Aplikasi teknologi pengelolaan teknologi pengendalian pirit dan OPT terpadu di lahan rawa
Tuntutan untuk menghasilkan pangan melimpah hanya bisa dipenuhi dengan kombinasi teknologi yang menguntungkan dan berkelanjutan.
Sekitar 30 tahun mendatang, produksi pangan dunia harus meningkat 70% atau rata-rata naik 4%-5% setiap tahun selama 20 tahun.
Itu tantangan berat termasuk bagi Indonesia yang harus memenuhi kebutuhan pangan 319 juta jiwa penduduknya pada 2045.
Produksi pangan kita wajib tumbuh minimum 6% setiap tahun secara konsisten.
Tahun ini Kementerian Pertanian (Kementan) memasang target produksi padi 84 juta ton gabah kering giling (GKG).
Sementara sampai September 2019, data produksi Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan metode Kerangka Sampel Area (KSA) baru menyentuh angka 46,94 juta ton GKG atau setara dengan 26,91 juta ton beras.
Masih cukup jauh memang.
Perlu Bekerja Sama
Terlepas dari tercapai atau tidak target tahun ini, pemerintah dan masyarakat tani tetap harus konsisten untuk mengejar produksi yang melimpah.
Untuk mewujudkan pasokan pangan berkelanjutan, menurut Bungaran Saragih, Indonesia harus meningkatkan produksi dan produktivitas dengan cara dan metode yang ramah lingkungan.
Namun tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga menguntungkan bagi petani. Karena itu perlu perpaduan teknologi organik, hayati, dan non-organik atau teknologi yang mengandalkan agrokimia.
Bungaran berpendapat, teknologi organik dan hayati akan menjadi komponen utama dari pembangunan sistem agribisnis kelanjutan. “Ini realitas baru bagi organik dan hayati.
Walaupun kita lihat organik dan hayati belum bisa menggantikan 100% teknologi agrokimia yang sudah lama dan besar yang dikuasai oleh organisasi dan bisnis besar.
Karena itu jangan dipertentangkan, kita harus mencari rekonsiliasi karena salah satu ciri berkelanjutan itu adanya jalinan harmoni antara ini semua,” ulas pakar agribisnis ini dalam seminar “Pengendalian Pirit, Wereng Batang Cokelat, dan Layu Fusarium dengan Teknologi Organik dan Hayati” beberapa waktu.
Masih dalam kesempatan yang sama, Gunawan Sutio, Ketua Umum Asosiasi Bio Agro-inout Indonesia (ABI) menyebut saat ini sudah waktunya teknologi organik dan hayati menjadi acuan bagi pemerintah dan petani. Namun semua perlu edukasi agar teknologi ramah lingkungan ini dapat diterima dengan baik.
“Selama beberapa tahun terakhir terjadi beberapa outbreak (wabah) artinya serangan hama yang berlebih dan penyakit yang tidak bisa diperbaiki dengan baik sehingga kerugian petani menjadi biaya yang pasti.
Ini yang membuat biaya produksi mahal dan harus dibayar konsumen. Jadi, teknologi kimiawi maupun biologi harus efektif, maka cost produksi akan turun,” tutur Gunawan yang juga Direktur Pemasaran PT Prima Agro Tech ini.
Lebih jauh ia berharap, pemerintah ikut memberikan edukasi dan bantuan sarana produksi yang lebih ramah lingkungan kepada petani. “Produk ini harus juga hasil teknologi yang baik sehingga hasilnya lebih pasti bagi petani di mana risiko budidaya menjadi rendah,” tegasnya.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 304 yang terbit Oktober 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/