Selasa, 7 Mei 2019

Perunggasan, Permintaan Lemah Saat Pasokan Melimpah

Perunggasan, Permintaan Lemah Saat Pasokan Melimpah

Foto: Galuh Ilmia Cahyaningtyas
Achmad Dawami, konsumsi daging ayam baru 12 kg/kapita/tahun, sangat mungkin untuk ditingkatkan

Pemerintah seharusnya merangsang potensi demand (permintaan), jangan melulu mengoreksi supply (persediaan).
 
Sebagai pelaku usaha bisnis perunggasan, 2019 wajib diyakini terus berprospek. Pasalnya, dilihat dari sisi konsumsi peluang permintaan pasar masih sangat terbuka untuk ditingkatkan. Hingga saat ini, tercatat level konsumsi daging ayam di Indonesia masih jauh di bawah Malaysia yang sudah mencapai 38 kg/kapita/tahun.
 
Dalam seminar AGRINA Agribusiness Outlook di Jakarta (11/4), Ketua Umum Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU), Achmad Dawami mengutarakan, hal utama dalam bisnis perunggasan saat ini adalah menyeimbangkan supply dan demand. “Supply terus yang dibahas (oleh pemerintah), sementara demand tidak pernah dikreasikan atau dirangsang,” singkapnya.
 
 
Harga dan Data
 
Selain merupakan produk yang mudah rusak (perishable food product), ketidakseimbangan supply dan demand daging ayam sangat sensitif dampaknya terhadap harga. Karena itu, lanjut Dawami, kejelasan data pasokan dan permintaan amat mutlak dibutuhkan.
 
Khusus untuk industri perunggasan, data demand menjadi yang paling sulit untuk diperkirakan. Namun setidaknya harus direncanakan. “Apapun kegiatan bisnisnya, harus punya planning,” imbuh Deputy Head of Commercial Poultry Division JAPFA ini.
 
Di sisi pasokan, proses dari Grand Parent Stock (GPS) untuk menjadi Day-Old Chicken Final Stock (DOC FS) yang dipelihara peternak membutuhkan waktu kurang lebih dua tahun.
 
Dawami membandingkan, impor GPS pada 2017 lebih rendah ketimbang 2016, seharusnya produksi pada 2019 juga mengalami penurunan. Namun yang terjadi, harga ayam hidup (live bird – LB) malah jatuh. Pada April saja, harga ayam hidup rata-rata nasional anjlok ke Rp16 ribu/kg.
 
Kondisi harga di tiga bulan awal 2019, menurut Dawami, merupakan harga terparah dibandingkan masa krisis moneter. Dalam kurun waktu tersebut, terhitung kurang lebih Rp1 triliun bisa dipastikan hilang.
 
Lulusan Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta ini menilai kasus tersebut sebagai akibat perencanaan yang tidak jelas. 
 
Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Kementan, mencatat, produksi DOC FS 2018 mencapai 3,1 miliar ekor. Sementara data BPS jauh lebih kecil, yakni 1,8 miliar ekor. “Apakah mungkin data BPS itu sudah ayam tanpa tulang, jadi berbeda dengan data Kementan?” tanya Dawami.
 
 
Konsumsi Per Kapita Masih Rendah
 
Terkait suplai, Dawami menjabarkan, tahun lalu jumlah ayam hidup mencapai 60 juta ekor/minggu. Dengan bobot karkas 3,4 miliar kg dan jumlah penduduk yang diperkirakan 265 juta jiwa, angka konsumsi hanya menyentuh 12,87 kg/kapita/tahun atau setara dengan Rp420 ribu/orang/tahun.
 
Sebagai catatan, perhitungan konsumsi belum termasuk ayam afkir dari GPS, Parent Stock (PS) baik broiler maupun layer (petelur).
 
Mengutip data BPS pada 2018, produksi broiler hidup sebesar 68% berada di Pulau Jawa saja. Sementara Banten dan DKI Jakarta menyumbang 11%, Jawa Barat 35%, Jawa Tengah dan Yogyakarta 10%, serta 10% di Jawa Timur.
 
Namun saat ini, Dawami meyakini pemetaan sudah bergeser. “Jawa Barat sudah banyak masuk ke Jawa Tengah terkait ongkos produksi (lebih murah, Red.),” ulas dia.
 
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 299 yang terbit Mei 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain