Foto: Peni Sari Palupi
Produk dari tandan kosong sawit bisa lebih kuat
Setiap tahun 4,3 juta ton sampah plastik tidak terdaur ulang dan mencemari lingkungan. Apa solusinya?
Berdasarkan data Jenna Jambeck, Universitas Georgia, AS, Indonesia penyumbang kedua terbesar polutan plastik ke lautan dengan jumlah 187,2 juta ton. Sementara posisi nomor satunya China dengan jumlah 262,9 juta ton.
Karena itu Presiden Jokowi dalam ajang G20 Summit di Hamburg, 2017, menyampaikan komitmen Indonesia akan mengurangi sampah sampai 30% dan mengurangi jumlah sampah plastik di laut sampai 70% pada 2025. Di dalam negeri penanganan sampah diatur dengan Perpres No.97/2017.
Mengapa sampah plastik di laut mendapat sorotan global? Menurut Dr. Isroi, M.Si., peneliti bioplastik di Pusat Penelitian Bioteknologi dan Bioindustri Indonesia (PPBBI) di Bogor, sampah plastik yang masuk ke perairan, sungai, lautan dan terpapar sinar matahari akan hancur menjadi plastik berukuran sangat kecil disebut mikroplastik.
“Sampah mikroplastik sangat berbahaya karena bisa masuk ke rantai makanan dan terakumulasi dalam tubuh organisme termasuk ikan dan akhirnya ke manusia,” ujar Isroi di kantornya.
Menunggu Bioplastik Sawit
Isroi merujuk data Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia yang menunjukkan, setiap tahun mengeluarkan 10,95 juta kantong plastik. Setengah di antaranya plastik sekali pakai lalu dibuang. Sementara data asosiasi plastik menyebut, kebutuhan nasional semua jenis plastik pada 2016 sebanyak 4,75 juta ton. Padahal kapasitas daur ulang plastik baru 440 ribu ton. Jadi sebagian besar lainnya terbuang ke lingkungan dan konon baru bisa terurai dalam waktu ratusan tahun.
Untuk mengurangi pemakaian kantong plastik, beberapa pemerintah daerah seperti Banjarmasin, Balikpapan, Kota Bogor, dan terakhir Denpasar sudah menerapkan larangan penggunaan kantong plastik di toko-toko modern dan pusat perbelanjaan. Namun itu belum cukup. Ada solusi lain, yaitu pengembangan bioplastik.
Bioplastik adalah plastik ramah lingkungan yang dibuat dari bahan terbarukan dan bisa terurai secara biologi di alam. Bioplastik akan hancur dengan sendirinya di alam dalam jangka waktu tertentu sehingga tidak akan menumpuk dan mencemari lingkungan.
Isroi menjelaskan, “Pada prinsipnya, semua jenis starch (pati) bisa untuk bahan baku bioplastik. Jagung, singkong, talas, sagu bisa, bahkan juga biji durian. Namun karakter patinya beda-beda sehingga ada perlakuan spesifik untuk tiap jenis.”
Doktor ahli mikrobiologi dan bioproses lulusan UGM tersebut mengulas, sejauh ini baru ada dua produsen kantong bioplastik. Keduanya menggunakan bahan baku singkong. Dia sendiri lebih memilih mengembangkan bioplastik dari tandan kosong kelapa sawit. “Mimpi saya bisa meningkatkan value pada tankos (tandan kosong) sehingga pengusaha akan bisa meningkatkan benefit,” ujarnya.
Kelanjutan tentang tulisan ini baca di Majalah AGRINA versi Cetak volume 15 Edisi No. 298 yang terbit April 2019. Atau, klik : https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/agrina, https://higoapps.com/browse?search=agrina, https://www.mahoni.com, dan https://www.magzter.com/ID/PT.-Permata-Wacana-Lestari/Agrina/Business/