Sabtu, 8 Desember 2018

Biosekuriti untuk Kurangi Antibiotik

Biosekuriti untuk Kurangi Antibiotik

Foto: 
Foto bersama sebagian peserta seminar yang terdiri dari berbagai pemangku kepentingan

Pinsar Petelur Indonesia (PPN) Wilayah Lampung bekerja sama dengan Food and Agriculture (FAO) Indonesia menggelar seminar bertema “Ayam Sehat, Produksi Meningkat Tanpa Residu Antibiotik” di Aula Fakultas Pertanian Unila, Bandarlampung, 8 Desember 2018. 
 
 
Seminar yang merupakan rangkaian dari Pekan Kesadaran Antibiotik Sedunia ini membahas latar belakang, dampak penggunaan antibiotik hingga implementasi biosekuriti pada ayam pedaging dan ayam petelur. Dari FAO tampil tiga pembicara dengan topik berbeda. Erry Setiawan menyampaikan topik ancaman resistensi antimikroba pada kesehatan manusia dan unggas.
 
 
Adiharja Sukarna memaparkan Hasil Survei AMU Kabupaten Lampung Selatan 2018 dan Alfred Kompudu mengupas topik “Hasil Kajian Implementasi Biosekuriti pada Ayam Pedaging dan Ayam Petelur di Provinsi Jawa Tengah.”
 
 
Pada broiler, ungkap Erry di depan sekitar 300-an peserta seminar dari berbagai pemangku kepentingan, bakteri salmonella sudah resisten terhadap sejumlah antibiotik, seperti tetrasiklin dan siprofloksasin. Bakteri E. coli juga mulai resisten terhadap antibiotik trimetroprim, siprofloksasin, amfisilin, dan gentamisin.
 
 
Jika terjadi resistensi, maka ayam gampang sakit yang berakibat pada turunnya produksi. Pengobatannya berlangsung lama, bahkan bisa jadi tidak sembuh. Efek lainnya, muncul penyakit-penyakit bakterial baru yang tidak mampu disembuhkan dengan antibiotik di pasaran. 
 
 
Sebagai solusi, “Kita harus menggunakan alternatif antibiotic growth promoter (AGP) berupa antimicrobial peptides, probiotik, prebiotik, organic acid, phytogenic (essential oil oleoresins), bacteriophages clay, enzim, dan hyperimune,” ujar Erry. 
 
 
Adiharja mengemukakan, sebagian besar (81%) peternakan yang disurvei tidak memiliki fasilitas pembersihan/disinfektan. Sebagian besar atau 76,4% peternak mengaku memberikan antibiotik untuk pencegahan, pengobatan 32,35%, dan sisanya tidak menjawab. Pihak yang berperan dalam memberikan antibiotik lebih dari 70% adalah pemilik peternakan dan PPL kemitraan. 
 
 
Sebanyak 52% peternak mengaku pernah gagal dalam pengobatan menggunakan antibiotik, dan sisanya 43,4% mengaku tidak pernah gagal. “Tingginya prosentase kegagalan pengobatan menunjukkan banyak bakteri penyakit yang resisten terhadap antibiotik yang ada,” tegas Adiharja. 
 
 
Sementara Alfred mengungkap analisis produksi dan struktur biaya pada peternakan kemitraan dan peternakan mandiri. Pada peternak kemitraan, komponen pakan mencapai 72,42% dari keseluruhan biaya produksi dan pengadaan DOC sebanyak 20,68%. Kemudian komponen sekam, pemanas, OVK, pekerja, dan lain-lain 6,89%. Sementara bagi peternak mandiri, porsi biaya pakan lebih tinggi, yakni 81,60%, tetapi biaya beli DOC lebih rendah, 13,37%. 
 
 
Ia menyimpulkan, dengan menerapkan saran terkait bidang biosekuriti dan manajemen, peternak binaan menghemat biaya pakan Rp1.193/ekor/siklus, tetapi mengeluarkan biaya intervensi Rp28/ekor/siklus. “Jika ditotal, keuntungan yang didapatkan peternak binaan sebesar Rp1.165/ekor/siklus,” ujarnya.  
Syafnijal Datuk Sinaro
 
 

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain