Rabu, 7 Nopember 2018

Hasil Lebih Baik Tanpa Antibiotik

Pelarangan budidaya unggas dengan AGP memberikan dampak positif. Mulai dari aspek nutrisi, cara pemeliharaan lebih baik hingga memanen produk yang lebih sehat.
 
 
Industri peternakan di Tanah Air terutama perunggasan, tengah berbenah untuk menghasilkan produk yang lebih baik. Para pelakunya sedang mengupayakan tata cara budidaya yang baik dengan memperhatikan asupan nutrisi dan aspek kesejahteraan hewan. Kemampuan peternak pun kini meningkat. Dan konsumen mendapat asupan protein hewani yang lebih terjamin kesehatannya.
 
 
Adaptasi dan Strategi
 
Kondisi serupa telah lebih dulu terjadi di Eropa. Tepatnya pada 2006 ketika Komisi Eropa melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan di dalam industri peternakan. Philippe Becquet, Global Regulatory Affairs Director ANH, Representative DSM di European Food Safety Authority (EFSA) menuturkan, butuh waktu 10 tahun bagi industri peternakan di Swiss untuk beradaptasi dengan keadaan tersebut.
 
Phillipe mengemukakan, dua hal yang menjadi kata kunci dalam peraturan tersebut adalah antibiotik dan growth promoter (pemacu pertumbuhan). Ketersediaan antibiotik atau antimikrobial dibatasi untuk ternak, sebab ada isu resistensi yang harus diselesaikan.
 
Kemudian growth promoter, “Yang kami larang adalah penggunaan antibiotiknya, bukan pemacu pertumbuhannya karena kami percaya ada cara lain untuk memacu pertumbuhan ternak,” jelasnya dalam seminar kesehatan ternak yang digelar DSM di Serpong, Tangerang, Kamis (18/10) .
 
Nutrisi berperan penting dalam mengatasi ketergantungan peternakan terhadap antibiotik. Phillipe melanjutkan, sangat penting untuk memandang secara holistik upaya mengurangi kasus Antimicrobial Resistence (AMR).
 
Saat itu Eropa mengembangkan pendekatan baru yang berfokus kepada daya cerna pakan agar perkembangan bakteri patogen terbatas. Contohnya, meningkatkan ketersediaan enzim seperti enzim karbohidrat bukan pati (Non-Strach Polysaccharides - NSP) dan protease.
 
Memang, Phillipe mengakui, butuh adaptasi dalam menghilangkan AGP di dunia peternakan. Namun dia meyakinkan, berbagai macam imbuhan (additive) baru yang saat ini tersedia di Uni Eropa memungkinkan penerapan non-AGP lebih cepat di negara-negara lain.
 
Dalam kesempatan yang sama, Fadjar Sumping Tjatur Rasa, Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan, memaparkan, Indonesia menganut konsep one health dalam mengendalikan ancaman resistensi antimikrobial (AMR). Konsep in dilaksanakan dengan pendekatan lintas sektor, mulai dari kesehatan manusia, kesehatan hewan, hingga lingkungan.
 
Pendekatan tersebut merupakan rencana aksi (action plan) penggunaan obat antibiotik secara bijak untuk kesehatan hewan dan manusia. Dalam menurunkan penggunaan antibiotik pun, menurut Fadjar, bisa dengan kemitraan melibatkan kemitraan public (public private partnership).
 
Budidaya unggas bisa dengan memanfaatkan imbuhan pakan yang mampu meningkatkan konversi pakan (Feed Conversion Ratio-FCR) dan kesehatan unggas. Tak lupa, Fadjar mengingatkan, menerapkan biosekuriti tiga zona. Setelah AGP dilarang, pemerintah terus mengawasi penggunaan antibiotik yang diperbolehkan dalam pakan terapi (medicated feed). 
 
 
Medicated Feed
 
Meskipun telah dilarang penggunaannya sebagai imbuhan pakan, antibiotik masih diperbolehkan sebagai pengobatan atau terapi. Antibiotik dicampurkan ke dalam sediaan pakan menjadi medicated feed (pakan terapi). Hal ini tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan No. 09111/KPTS/ PK.350/F/09/2018 tentang petunjuk teknis penggunaan obat hewan dalam pakan untuk tujuan terapi.
 
Fadjar mengatakan, juknis tersebut dikeluarkan sebagai dasar hukum bagi produsen pakan, peternak, dokter hewan, perusahaan obat hewan, pengawas obat hewan, pengawas mutu pakan dan dinas provinsi dan kabupaten/kota yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan dalam penggunaan obat hewan pada pakan untuk tujuan terapi.
 
Ruang lingkup juknis itu mencakup persyaratan pembuatan dan penggunaan medicated feed, tata cara pencampuran obat hewan dalam pakan, pengawasan, dan pelaporan. Juknis yang dibuat  agar tidak membingungkan para pelaku di lapangan ini merupakan turunan Permentan No.14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan.
 
Pencampuran antibiotik ke dalam pakan harus dilakukan di bawah pengawasan dokter hewan sebagai penanggung jawab teknis. Dalam hal dosis terapi dan aspek pengawasan, antibiotik yang ditentukan harus terjamin kandungan zat aktifnya dalam pakan minimal 80% dari yang dinyatakan pada label pakan dan homogenitas dengan rentang 80%-120%.
 
Jenis-jenis antibiotik yang dapat dicampur dalam pakan, yakni Avilamisin, Bacitracin Methylen Disalisilat (BMD), Zinc Bacitracin (ZB), Colistin, Enramisin, Kitasamisin, Lincomycin (HCl), Tiamulin, Tylosin, Virginiamisin, Tylvalosin, Lasalocid, Maduramisin, Monesin, Narasin, Salinomisin, Semduramisin. Dosis, lama pemberian, dan waktu henti penggunaan juga diatur dalam juknis tersebut.
 
Aplikasi antibiotik untuk tujuan terapi, baik melalui pakan maupun minum, paling lama tujuh hari dengan memperhatikan cara penggunaan obat hewan yang baik dan benar. “Apabila terjadi penyalahgunaan, sanksi yang diberikan berupa kurungan tiga bulan, maksimal sembilan bulan penjara dengan denda Rp75 juta,” Fadjar mewanti-wanti.
 
Sebelumnya, pencampuran antibiotik ke dalam pakan sudah jelas dilarang. Namun dengan adanya kebijakan yang diteken Dirjen PKH 10 September 2018 tersebut, pemakaian antibiotik diizinkan kembali lewat pakan sebagai pengobatan. Karena itu Wayan Wiryawan, Direktur Sevaka, menekankan, penggunaan antibiotik sebagai medicated feed perlu dibarengi dengan pengawasan yang sangat ketat di lapangan.
 
Yang lebih penting lagi, lanjut dia, perlu dikaji kembali kebaikan dan kelemahan dari kebijakan tersebut. Wayan menilai, tidak semua jenis antibiotik yang diizinkan pemakaiannya untuk pengobatan dapat diserap oleh usus dan bekerja secara sistemik dalam mengatasi infeksi agen penyakit. Terutama infeksi bakterial yang menimbulkan sepsis.
 
Kebijakan tersebut, ulasnya, jangan sampai menjadi bumerang terhadap pemerintah dan industri peternakan di Nusantara. Ia berpendapat, antibiotik yang digunakan harus sesuai dengan hasil diagnosis di lapangan, sebab tujuan pemberian antibiotik memang benar-benar untuk pengobatan. Diagnosisnya pun harus cermat, cepat, dan tepat dilakukan di lapangan.
 
Masih menurut Wayan, yang menjadi pertanyaan berikutnya terkait medicated feed adalah dalam hal pakan yang digunakan, terutama peternak pembibitan ayam (breeding farm) dan ayam pedaging yang kebanyakan menggunakan pakan pabrikan. Bila ayam didiagnosis terserang penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri tertentu, seperti Necrotic Enteritis, secara teknis penyakit tersebut harus segera ditangani di lapangan. 
 
“Apakah bisa dengan segera pula pakan diproduksi dan disediakan dengan kandungan antibiotik tertentu yang tepat untuk mengatasi problem Necrotic Enteritis oleh pabrik pakannya? Tentu akan ada pertanyaan lanjutan lainnya dari kondisi tersebut,” cetus Wayan.
 
 
Mengoptimalkan Potensi Genetik Ayam
 
Wayan menerangkan, yang utama dari konsep menjaga kesehatan dan performa ayam tanpa harus mengandalkan antibiotik adalah menjalankan good farming practices secara sungguh-sungguh. Mulai dari mempraktikkan biosekuriti secara konsisten dan memenuhi kebutuhan pokok ayam, seperti udara, air, serta pakan yang berkualitas.
 
“Selama masa brooding pun, anak ayam harus dikondisikan senyaman mungkin agar konsumsi pakan dan minumnya tetap baik. Sehingga pertumbuhan optimal dan status kesehatan anak ayam tetap prima,” imbuhnya.
 
Dari segi kesehatan, Wayan menganjurkan, vaksinasi harus diprogram sesuai kondisi dan tantangan penyakit di masing-masing lokasi peternakan. Sebagai perlakuan tambahan, dokter hewan lulusan Universitas Udayana, Bali, ini, menjabarkan, pastikan pakan yang dikonsumsi mudah dicerna ayam.
 
Di sisi lain, Fadjar Sumping mengingatkan, pakan dengan kualitas baik akan mempengaruhi proses kecernaan dan metabolisme ternak sehingga dapat menghasilkan produk daging dan telur sesuai potensi genetik ayam. Penggunaan antibiotik, menurut Fadjar, membuat potensi genetik ayam tidak optimal.
 
Sebab, banyak faktor yang harus diperhatikan dalam formulasi pakan agar pakan yang tersedia dapat dicerna dan diserap dengan baik nutrisinya.Pemberian imbuhan pakan seperti enzim dan imbuhan pakan non-AGP tertentu akan dapat membantu meningkatkan FCR. Dengan demikian, biaya pakan pun dapat ditekan.
 
Wayan menimpali, dalam meningkatkan kecernaan komponen-komponen nutrisi makro seperti protein, lemak, karbohidrat dan karbohidrat bukan pati (Non-Strach Polysaccharides - NSP), dan juga beberapa faktor antinutrisi (Anti-Nutritional Factors - ANF’s), dapat dibantu dengan aplikasi enzim eksogen tertentu melalui pakan atau air minum. Enzim berperan dalam mencerna komponen-komponen nutrisi tersebut agar lebih mudah terserap. Walhasil, nilai kecernaan dan penyerapan nutrisi pakan jadi lebih optimal.
 
 
 
Butuh Tambahan Enzim 
 
Pada waktu tertentu, bahan baku pakan konvensional, seperti jagung, dedak, dan bungkil kedelai yang umum dalam ransum pakan tidak tersedia dalam jumlah cukup. Praktis, harga pun cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Peternak dan pabrik pakan lalu mencoba menggunakan bahan baku alternatif untuk mengganti sebagian porsi bahan baku konvensional tersebut.
 
Hal itu berpengaruh pada kurang optimalnya ayam dalam mencerna nutrisi yang tersedia dalam pakan. Bahkan bahan baku utama seperti jagung, dedak, dan bungkil kedelai saja, jelas Wayan, mengandung faktor antinutrisi yang berbeda-beda. Tanpa dukungan enzim yang memadai, tingkat kecernaannya pun semakin kurang optimal.
 
Lebih jauh ia menjabarkan, ANF’s menjadi faktor pembatas maksimum ketika digunakan sebagai bahan campuran dalam memformulasikan ransum pakan. Faktor pembatas yang umumnya terkandung dalam bahan baku pakan tertentu, di antaranya trypsin inhibitor, tanin, alkaloid, cianidric acid,  dan NSP seperti selulosa, hemiselulosa, pectin, xylan, dan mannan. ANF’s dan NSP memberikan efek negatif menghambat kinerja enzim endogen, seperti lipase, amilase, dan protease.
 
Kinerja enzim endogen (enzim diproduksi sendiri oleh ternak) yang terganggu mengakibatkan nilai kecernaan nutrisi pakan berkurang. FCR pun membengkak, kekurangan energi yang dapat diurai, dan terjadi penurunan ketersediaan protein. Kondisi ini dapat memicu terjadinya problem wet dropping (mencret) serta gangguan pertumbuhan dan performa produksi yang tidak bisa optimal. “Ketersediaan enzim sangat membantu meningkatkan kecernaan nutrisi pakan dan mengurangi efek negatif dari ANF’s dan NSP yang terkandung dalam ransum pakan,” terang Wayan.
 
Enzim membantu dan mempercepat reaksi biologis dengan menguraikan nutrisi seperti karbohidrat berserat, protein dan lemak. Enzim banyak digunakan sebagai imbuhan yang dicampurkan dalam pakan ternak atau melalui air minum. Jenis enzim yang umum digunakan untuk hewan ternak, terutama monogastrik (unggas dan babi) adalah kelompok enzim endogen terutama yang ada di pankreas dan lambung, seperti amilase, lipase, tripsin, peptidase, dan laktase. 
 
Kemudian ada pula enzim eksogen yang tidak mampu diproduksi sendiri oleh ternak. Enzim ini ditambahkan melalui pakan untuk mencegah efek antinutrisional dari NSP dan ANF’s. “Tujuannya mengurangi efek negatif dari NSP dan ANF’s lainnya. Kemudian menjadikannya sebagai sumber nutrisi tambahan untuk ternak,” pungkas Wayan.
 
 
 
Try Surya Anditya

 
Agrina Update + Moment Update + Cetak Update +

Artikel Lain