Mengganti penggunaan AGP tidak bisa mengistimewakan satu lini saja, tapi keseluruhan. Pemangku kepentingan terkait pun wajib satu suara.
Pelarangan penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promoter – AGP) resmi diberlakukan mulai Januari silam. Namun demikian, dunia perunggasan masih saja merasa pemberlakuan keputusan tersebut mendadak. Peternak tak bisa lagi protes mengapa AGP dilarang, mau tak mau aturan ini mesti mereka jalankan.
Saat ini, peternak masih mencari formula yang tepat pengganti AGP. Sejumlah bahan alternatif pengganti yang tersedia di pasaran memang memberikan banyak pilihan, tetapi untuk mendapatkan yang tepat, peternak masih butuh pencerahan. Meskipun ongkos produksi jadi bertambah, Dudung Rahmat, peternak broiler asal Bogor berujar, peternak memerlukan peranan swasta dan pemerintah, baik peneliti maupun akademisi.
Menanggapi kegelisahan para pemangku kepentingan pascapenyetopan AGP, I Ketut Diarmita, DIrektur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, mengajak untuk menyamakan visi bersama ke depan. Ia menggarisbawahi, maju-mundurnya dunia peternakan di Tanah Air, bergantung pada semua pihak yang terjun di dalam bidang peternakan dan kesehatan hewan.
“Para peternak dan semua stakeholder perlu menyatukan visi. Memikirkan bersama bagaimana langkah strategis yang harus dilakukan demi menghindari dampak buruk akibat penggunaan AGP,” imbau Kepala Balai Besar Veteriner (BBVet) Denpasar periode 2010-2015 ini.
Demi Harga Diri
Kendati belum ada data yang menunjukkan penggunaan AGP berdampak pada unggas ke manusia, Ketut mengungkapkan, bahaya efek residu antibiotik pada pangan telah menjadi perhatian dunia. Mengutip hasil penelitian tenaga ahli dari organisasi kesehatan dunia (World Health Organization - WHO), Ketut menyebut hingga saat ini tidak kurang dari 700 ribu orang meninggal tiap tahun akibat resistensi terhadap antibiotik.
“Expert WHO sangat mengkhawatirkan terjadinya resistensi antibiotik pada manusia. Meskipun sampai hari ini sebenarnya belum ada referensi yang mengatakan bahwa dari daging ke manusia ada hubungan yang menyebabkan resistensi,” papar mantan Direktu Kesehatan Hewan ini.
Potensi terjadinya resistensi tetap ada. Jadi, untuk menghindari kemungkinan meluasnya resistensi antibiotik pada generasi mendatang, peternak diminta taat terhadap aturan penghapusan AGP sebagai imbuhan pakan. Ketut menegaskan, kebijakan pelarangan AGP ini guna terwujudnya pangan yang aman dan sehat bagi masyarakat. Ia juga mengajak semua pihak untuk senantiasa memperbaiki kualitas produk pangan asal ternak
“Kita juga ingin bangsa kita dihargai oleh bangsa lain. Jika produk kita aman, tentu produk kita juga dilirik oleh negara lain. Ayo ikut aturan internasional. Bangsa ini adalah bangsa yang sangat besar, bangsanya pejuang, dan bangsa yang disegani bangsa lain,” ajaknyanya.
Kenapa AGP?
Direktur Kesehatan Hewan, Ditjen PKH, Kementan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa mengatakan, antiboitk dalam peternakan Indonesia digunakan untuk pengobatan, pencegahan, dan pemacu pertumbuhan. Setelah berlakunya Permentan No. 14/2017 tentang klasifikasi obat hewan, antibiotik hanya boleh digunakan sebagai terapi (pengobatan).
Fadjar mengungkap, sebanyak 80% peternakan unggas di Indonesia menggunakan antibiotik. Sementara untuk ayam layer (petelur), antibiotik digunakan sebanyak 97,5% sebagai pengobatan, untuk pencegahan 50%, dan peningkatan produksi (AGP) sebesar 30%.
Dari sisi peternak, Dudung menyadari maksud baik diterbitkannya permentan tersebut. Namun demikian, Ketua Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN) ini berpandangan, industri perunggasan belum sepenuhnya siap memproduksi ayam dan telur tanpa AGP.
Dalihnya, masih banyak peternak rakyat, baik broiler ataupun layer, berbudidaya dengan kandang terbuka. Inilah yang mendasari mengapa antibiotik begitu penting karena peran besarnya mengurangi risiko kejadian infeksi pada masa produksi.
Dari segi kesehatan unggas, Bambang Sutrasno mengakui, dampak dicabutnya penggunaan AGP pada pakan akan menimbulkan masalah pada kesehatan unggas. Khususnya kesehatan organ pencernaan. “Kalau tidak diantisipasi dengan baik, pertumbuhan akan melambat (slow growth) dan akan timbul penyakit necrotic enteritis (NE), serta diare oleh bakteri oportunis di saluran cerna,” beber General Manager Marketing Area Lampung PT Charoen Pokphand Indonesia ini.
Dengan adanya tambahan AGP, pertumbuhan bakteri merugikan di dalam usus ayam dapat diminimalkan. AGP, imbuh Bambang, menjadi semacam pencegah wajib munculnya penyakit. Jadi wajar bila peternak merasa berat pada masa awal pelarangan AGP. Akan tetapi, peternak jangan pesimistis karena pengganti yang lebih baik pasti ada.
Senada dengan Bambang, Prof. Budi Tangendjaja mengatakan, kasus penyakit NE dan serangan bakteri Coli bisa menjadi masalah besar. “Selain ongkos produksi dan biaya pengobatan meningkat, peternak harus dibimbing untuk menggunakan antibiotik dengan benar. Penggunaan alternatifnya pun harus dijelaskan agar produksi dan produktivitas tidak menurun,” ucap Peneliti Utama bidang pakan dan nutrisi Balai Penelitian Ternak, Ciawi ini.
Sinergi Semua Lini
Dalam mengatasi produksi tanpa AGP, peternak tidak boleh memperhatikan sekadar pakannya atau satu sisi saja. Melainkan semua lini dalam berbudidaya harus menjadi lebih baik lagi. Di samping kerjasama multistakeholder, manajemen pakan (feed), kandang (farm), dan kesehatan (health) wajib saling menunjang satu sama lain.
Bambang menjelaskan, pascapelarangan, peternak harus kembali ke pedoman dasar dalam berbudidaya (back to basic). Yaitu manajemen pemeliharan yang baik, pembibitan DOC yang berkualitas, perhatikan kualitas pengolahan air (water treatment) serta menyiapkan manajemen pakan (feeding program) sebagai strategi pengganti AGP. Tak lupa mengontrol penyakit dan menjaga kondisi lingkungan kandang.
Dari segi produksi pakan, Budi menyarankan, sanitasi di dalam pabrik perlu diperketat. Untuk bahan baku, yang terseleksi harus berkualitas. Bahan baku sebaiknya dipilih yang tingkat kecernaannya tinggi. Dengan begitu, bahan sisa tak tercerna yang dimanfaatkan mikroba usus berkurang.
Formulasi pun harus dibuat seimbang sesuai dengan kebutuhan ayam. Jangan sampai kelebihan zat gizi karena akan dimanfaatkan mikroba patogen di dalam usus. Kandungan mikotoksin yang bisa mempengaruhi dinding usus dan kekebalan wajib turut dikendalikan.
Masukan lain Budi untuk pabrik pakan adalah dalam mencari pengganti AGP, bahan yang dipakai perlu terbuktikan melalui penelitian yang sudah dipublikasi dalam jurnal yang terakreditasi. Manfaat ekonomi dan risiko pun perlu diperhitungan. Sebab, menurut dia, pemakaian bahan pengganti harus dihitung. Seberapa besar nilai tambah terhadap hasil ternak dan risiko dalam proses, kekebalan, dan lainnya.
Bagi peternak, pakar nutrisi ternak ini menganjurkan, untuk mempertahankan kekebalan dan kesehatan usus ayam. Dimulai dari persiapan kandang dan litter sebelum anak ayam datang. Misalnya, istirahat kandang (minimal 14 hari), menjaga pemanas, ventilasi, kebersihan litter, tempat pakan yang cukup, dan air minum yang bersih.
Berikutnya, mencegah kontaminasi dan stres pada waktu pengangkutan anak ayam (DOC). Kontaminasi dan stres bisa terjadi dalam truk pengangkut dan lamanya perjalanan ke kandang. Kontaminasi juga bisa terjadi di penetasan atau saat diturunkan dari induk ayam.
“Pemberian pakan dan pellet berkualitas yang memperhatikan kandungan jenis fiber (serat). Diteruskan dengan vaksinasi yang baik dan pencegahan serangan koksi, sanitasi air minum, dan memperketat biosekuriti secara struktural dan operasional,” wanti-wantinya lengkap.
Try Surya Anditya, Syafnijal DS