Potensi lahan masam untuk pengembangan agribisnis bisa ditingkatkan dengan menambahkan pupuk fosfat alam reaktif.
Indonesia mempunyai total luas lahan pertanian sekitar 148 juta ha. Sekitar 68%-nya atau 104 juta ha berupa lahan masam yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Lahan masam tersebut banyak dimanfaatkan untuk tanaman pangan seperti jagung dan kedelai. Sementara subsektor perkebunan banyak menanaminya dengan kelapa sawit.
Lahan masam tergolong tanah suboptimal karena tingkat kesuburannya rendah. Salah satu masalahnya adalah ketersediaan fosfat (P) dalam tanah. “Fosfat seperti dalam SP-36 atau TSP segera terjerap oleh besi (Fe) dan aluminium (Al) yang mendominasi tanah,” jelas Husnain, Kepala Balai Penelitian Tanah (Balittanah), Badan Litbang Kementan, pada acara Temu Lapang Petani di Way Jepara, Lampung (11/12). Karena itu, lanjut wanita yang akrab disapa Uut itu, diperlukan pupuk P yang bersifat lepas bertahap (slow release) dan reaktif.
Aplikasi di Lahan Jagung
Indonesia melalui Balittanah bekerja sama dengan Office Chérifien des Phosphates (OCP S.A., BUMN pupuk asal Maroko) melakukan penelitian jangka panjang. Penggunaan fosfat alam dari Maroko harus dikombinasikan dengan aplikasi pupuk berimbang. Wayan Sukade, petani jagung di Braja Harjosari, Braja Slebah, Lampung Timur mengakui adanya peningkatan hasil dengan aplikasi pupuk berimbang tersebut.
Pada proyek percontohan di Lampung, fosfat alam diaplikasikan di lahan petani seluas 50 ha milik 53 petani. Tanah para petani itu bertekstur liat berpasir, pH 4,5-5, kandungan bahan organik dan unsur NK rendah, dan unsur P-nya sedang. Pada percobaan ini, petani menanam benih jagung hibrida. Aplikasi pemupukan dilakukan dengan dosis fosfat alam Maroko sebanyak 1 ton/ha, dan NPK plus pupuk organik 2 ton/ha.
Selain itu, ada juga perlakuan super impose dengan mengaplikasikan 1 ton fosfat Maroko, 0,5 ton dolomit, 2 ton pupuk kandang, 0,4 ton urea, 25 kg SP-36, dan 0,1 ton KCl. “Hasilnya bagus, naik 20%-30%. Biasanya 5 ton, sekarang bisa mencapai 7-8 ton,” jelas Wayan.
Menurut Uut, penggunaan pupuk fosfat alam bisa menekan ongkos produksi. “Residu pupuk bisa bertahan sampai lima kali musim tanam. Efisiensi biaya hingga 30%,” paparnya. Selain di Braja Harjosari, penelitian juga dilaksanakan di Taman Bogo, Lampung dan Banyuasin, Sumsel. Hasil penelitian menunjukkan, produktivitas jagung rata-rata mencapai 8-9 ton/ha. Bahkan di Tanah Laut, Kalsel, bisa mencapai 10-12 ton/ha.
Percobaan di Lahan Sawit
Selain di lahan jagung, Balittanah juga menguji fosfat alam reaktif di perkebunan kelapa sawit yang banyak tersebar di lahan masam. Menurut Zulkarnain Harianja, Manajer Unit Usaha Bunut, Afdeling III, PTPN VI, kelapa sawit membutuhkan pupuk P. “Fosfat alam baik untuk memacu pertumbuhan akar, pembentukan bunga, dan mempercepat panen pada perkebunan kelapa sawit,” jelasnya saat membuka acara temu lapang di Desa Pinang Tinggi, Kecamatan Bunut, Muaro Jambi (13/12).
Percobaan di UU Bunut, Afdeling III berlangsung selama tiga tahun (2016-2018). Perlakuan pemupukan dilakukan 5 kali ulangan pada tanaman kelapa sawit berumur tiga tahun. Variasi perlakuan berupa dosis fosfat yang berbeda per tanaman, yaitu 750 g P-alam reaktivitas sedang, 1.500 g P-alam reaktivitas sedang, 1.500 g P-alam reaktivitas tinggi, 1.500 g P-alam reaktivitas rendah, dan 3.000 g P-alam reaktivitas sedang.
Sampai naskah ini diturunkan, penelitian masih terus berjalan, tetapi hasil sementaranya sudah menunjukkan peningkatan produksi. Sebelumnya, Balittanah pernah bekerja sama dengan perkebunan kelapa sawit milik PT CPKA di Kalsel dan lahan milik Grup Wilmar. Hasil penelitian menunjukkan peningkatan produktivitas tandan buah segar (TBS) sebanyak 15%-20% dengan efisiensi pupuk mencapai 25%.
Galuh Ilmia Cahyaningtyas